Cuaca panas kota ini terasa sangat menyengat. Jaketku yang tebal pun tak kuasa menghalaunya. Bahkan malah membasuhiku dengan keringat. Segera kuturunkan risletingnya, sengaja menyediakan celah agar udara bisa masuk dan meluruhkan keringat. Sambil terus kukipas-kipaskan tanganku, aku memutarkan pandangan. Area seberang rumah sakit pemerintah ini tampak lengang. Beberapa orang kulihat keluar masuk minimarket, ada juga yang sedang bertransaksi dengan pedagang buah, dan beberapanya hanya lewat begitu saja. Sementara sebuah gerobak gorengan teronggok tanpa tuannya. Aku mendekati gerobak itu. Tiba-tiba seseorang menjelaskan bahwa pedagang gorengan biasanya buka setelah asar. Aku mengiyakan. Bersyukur atas informasi yang kuterima.

Pandanganku tak lepas dari pedagang gorengan itu. Seorang laki-laki setengah baya, bertubuh tinggi, berkulit sawo matang, dan bertopi. Dari kejauhan agak sulit bagiku bisa mengenali dengan jelas wajahnya. Ia tampak sibuk melayani pembeli yang datang silih berganti. Cukup ramai juga ternyata, pikirku. Dan itu berarti aku masih harus bersabar menunggu. Kulirik jam tanganku, lantas kuperhatikan jumlah gorengan di gerobak itu. Aku sedikit tersenyum sambil menuliskan pesan pendek di handphone.

Hampir jam dua belas malam aku menghampiri pedagang itu yang sudah ditemani istrinya. “Maaf, Bu, saya dan rekan saya harus membawa suami ibu,” jelasku sambil memegang erat tangan si pedagang. Istrinya tampak terhenyak. Ia baru tahu jika suami yang baru menikahinya sebulan yang lalu itu seorang buronan kasus penggelapan uang.

Lebak, 31032021