Habis Manis Sepah Dibuang
“Aku rindu sekali melihat matahari. Ratusan hari hanya berdiam di sini. Kamu juga, kan?” tanyanya sambil melirik kepadaku. Aku hanya menimpalinya dengan senyum. Tipis saja. Karena apa yang sedang dirasakannya juga sangat aku rasakan. Rindu. Tak hanya melihat matahari, tetapi juga bisa menikmati senja, dan bahkan merasakan getar tetesan air hujan yang membuatku basah kuyup, atau sekadar berlarian melewati pagi yang masih berembun.
“Dia sudah melupakan kita. Padahal kita masih baik-baik saja. Apa susahnya sih jika sekali-kali dia mengajak kita lagi? Jangan Si Itu saja,” gerutunya. Sedih, kecewa, dan cemburu yang bersatu padu. Lagi-lagi aku hanya meliriknya. Rasa itu sudah sangat kuhafal. Dulu, sebelum ia menjadi temanku, aku juga begitu. Merasa sangat tercampakkan karenanya. Berbulan-bulan larut dalam tanya yang sama sepertinya. Mencoba berdamai dalam hari-hari sepi di ruangan sempit ini. Dan kini kami merasakan betapa tidak nyamannya menjadi seonggok sepah yang dibuang.
Tiba-tiba pintu mendecit. Tampak Rangga yang membukanya dan memasukkan Si Itu yang selama ini menjadi kompetitor kami. Tak lama pintu ditutup. “Ma, sepeda sudah aku masukkan ke gudang. Kalau besok mau dibawa ke panti asuhan, boleh. Semuanya masih bagus kok. Lusa, saat ulang tahunku, Papa janji akan membelikan sepeda baru yang lebih besar,” suara Rangga terdengar nyaring. Kami hanya saling tatap.
Lebak, 29032021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar