Sejak desas-desus itu merebak, aku memilih menyepi dan lebih banyak menyendiri. Sesekali aku masih bertemu dengan teman-temanku, tapi kami harus benar-benar berjaga dan waspada. Pertemuan pun kami lakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak sebebas dulu. Kami lebih banyak diam dan hanya saling berbicara lewat mata dan gerak tubuh. Aktivitas kami pun menjadi terbatas. Tidak leluasa mencari makanan dan saling berbagi. Kami seakan sedang bergerilya menjauhi musuh yang entah siapa dan atas alasan apa yang sama sekali belum kami ketahui.

Sejak desas-desus itu merebak pula, Bi Asti jadi lebih rajin. Jika biasanya pagi-pagi hanya menyapu dan mengepel lantai, akhir-akhir ini aku perhatikan ia jadi sering membersihkan dinding dan langit-langit rumah dengan sapu ijuk yang diberi gagang lebih panjang. Bi Asti tampak lebih cermat dan telaten membersihkan setiap sudut rumah. Dan aku terpaksa harus bermain petak umpet dengan sapu-sapu Bi Asti. Sejak itu pula, aku tak lagi berani bersuara.

“Bohong ternyata! Katanya harganya mahal, ternyata malah tidak ada harganya!” gerutu Mang Usman penuh amarah sambil membanting karung yang dibawanya. Lelaki setengah baya yang berprofesi sebagai penjual kodok itu, tampak dikerumuni banyak orang yang menatapnya penuh tanya. Dengan bertolak pinggang dan mata yang memerah ia mengatakan bahwa tidak ada orang di pasar yang menawar tokek-tokek yang dibawanya dengan harga mahal seperti kabar yang pernah ia terima. Jangankan puluhan juta, setengah juta pun tidak ada. Aku yang mengintip dari balik jendela kamar Bi Asti hanya bisa tersenyum.

Lebak, 06042021