Untuk ke sekian kalinya aku bersitegang dengan Emak. Lagi-lagi karena lemari. Lemari usang itu selalu menyulut perbedaan pendapat yang ujungnya membuat Emak sedih. Sebagai orang yang lebih muda dan hidup di zaman yang berbeda dengan Emak, aku menganggap lemari itu hanya merusak pemandangan di kamar Emak. Aku berniat menggantinya dengan lemari baru yang lebih bagus. Tapi, dengan alasan kenangan yang terukir di dalamnya, Emak bersikukuh untuk tetap menyimpan lemari itu di kamarnya. Buat Emak tidak masalah jika lemari itu sudah lapuk, kayu-kayunya mengeropos, pintunya sudah tidak bisa ditutup, bahkan sangat sulit meski untuk sekadar digeser. Emak tetap mempertahankan lemari itu.

“Kalau kamu mau membeli lemari baru, silakan saja,” kata Emak. “Tapi lemari Emak yang ini jangan dibuang,” lanjutnya. Bingung, pikirku. Zaman sudah berubah, waktu terus berlalu, kenangan perlahan berganti, tapi Emak tidak bisa lepas dari lemari itu. Akhirnya aku memberanikan diri menyampaikan keluh kesahku tentang lemari itu. Aku mencoba membuat Emak mengerti tentang fungsinya yang sudah tidak maksimal ataupun tampilannya yang sudah ketinggalan zaman. Emak hanya terdiam. Nada bicaraku yang tinggi mungkin telah melukai hatinya. Dan lagi-lagi pembicaraan tentang lemari itu tidak sedikit pun berakhir pada satu keputusan tepat tentang nasib lemari Emak. Hanya menggantung seperti yang sudah-sudah.

“Lemari ini memang tidak ada artinya bagi kamu, tapi lemari ini harta pertama yang Emak miliki bersama almarhum bapakmu,” ucap Emak sambil terisak.

#Pentigraf

#Pertemuanke-1

#Harike-3

#TemaBenda

#MenduniaBersamaSLI

#SLISiapMeliterasikanDunia