Mencintai Luka
Tergesa aku keluar dari kantor tempatku bekerja. Entah sudah berapa kali aku melihat arloji di tanganku. Aku sudah berjanji jika kali ini, pada momen spesialnya, aku akan hadir. Melihatnya berdiri penuh senyum kebanggaan seperti yang selama ini hanya bisa kulihat dalam foto-fotonya. Aku semakin gelisah ketika ojek online yang kupesan belum juga menjemputku. Lima belas menit lagi. Semoga masih cukup luang untuk aku bisa datang tepat waktu.
“Ma, semoga Mama bisa datang pada hari kelulusanku ya. Lusa. Aku sayang Mama,” tulisan dalam pesan singkat itu tiba-tiba menjelma running text di benakku. Berseliweran memenuhi mataku. Ada gemuruh sesal yang menggelegak di dada. Betapa ia tidak kuasa menyampaikan pesan itu secara langsung kepadaku. Hanya melalui pesan singkat, padahal sangat sering kami bertemu. Bahkan di setiap ruang di rumah yang sama-sama kami tempati. Ah, ibu seperti apa aku, gumamku dalam hati yang kian basah.
“Ma, terima kasih Mama sudah mau datang. Aku bahagia karena Mama tidak menyuruh Bi Ijah untuk menggantikan Mama. Aku sayang Mama,” ucapnya sambil memelukku. Erat sekali. Ia yang lahir dari rahim perempuan yang teramat kubenci. Ia juga bayi perempuan yang dulu dibawa suamiku sebagai anak kandungnya. Dan luka ini, kini harus bisa aku peluk dan aku cintai.
Lebak, 26062021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mencintai luka, lebih dari sesuatu banget ini. I really feel it, Bun.
Terima kasih, Bun. Salam literasi.