Mudik
“Mas, lebaran ini pun kita tidak bisa mudik lagi?” tanya Retno, istriku. Aku hanya menggeleng. Aku sama sekali belum bisa menggambarkan apakah bisa atau tidak. Bukan karena semata larangan pemerintah, tetapi beban di balik mudik itu yang selalu kurasa berat. Ongkos perjalanan jauh, oleh-oleh, bekal selama mudik, mengarang cerita bahagia, berbagai alasan menolak saudara yang ingin ikut, dan isi amplop yang akan ditunda, sudah pasti tak akan mampu aku penuhi. Membayangkannya pun aku tidak sanggup. Penghasilanku sebagai buruh di tempat cuci motor hanya cukup untuk makan dan bayar sewa kontrakan.
“Mas, kalau kita tidak mudik lagi, ini berarti sudah empat tahun kita tidak pulang,” parau suara Retno. Aku menghentikan aktivitasku memperbaiki kipas angin di kamar kami dan segera mendekati Retno yang duduk di tepi dipan. Aku tidak punya pembelaan apa pun, selain memegang tangannya, sedikit memberikan harapan semoga besok atau lusa ada rezeki, dan memintanya lebih bersabar lagi menahan rindu untuk pulang. Retno hanya memalingkan muka, lalu merebahkan badannya, dan pura-pura tertidur. Padahal aku tahu, ia hanya mencari cara agar aku tidak bisa melihatnya menangis.
“Mas, besok kita mudik,” seru Retno sepulang aku bekerja. Aku mengerutkan kening. Lantas ia menjelaskan bahwa kakaknya mengiriminya uang untuk ongkos pulang dan mengabarkan bahwa ibunya sedang sakit keras. Ya, Tuhan, bukan mudik seperti ini yang aku harapkan, batinku.
Lebak, 07042021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar