Saroh Jarmin

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
PEMIMPIN PEMBELAJARAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA
Ilustrasi: foto koleksi pribadi

PEMIMPIN PEMBELAJARAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA

Teknologi adalah tools, hanya alat. Bukan segalanya. Kualitas pembelajaran dalam kelas, interaksi antara guru dan murid itu esensinya. (Nadiem Makarim)

Pendahuluan

Menurut Ki Hadjar Dewantara (KHD), maksud pendidikan itu adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.

Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit jagung yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.

Dalam proses ‘menuntun’ anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar atau mencapai merdeka belajar.

Lantas, bagaimana agar anak-anak tetap dituntun sesuai dengan kodratnya dan bagaimana seharusnya peran guru dan sekolah? Berikut elemen-elemen yang harus diperhatikan.

Nilai dan Peran Guru

Untuk mewujudkan maksud dan tujuan seperti yang diharapkan, diperlukan upaya dari berbagai pihak. Salah satu yang utama adalah guru. Sebagai ujung tombak keberhasilan, guru berperan penting dalam membawa murid ke arah tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, seorang guru diharapkan memiliki nilai-nilai dasar yang tertanam dalam dirinya untuk bisa memainkan perannya dengan sebaik-baiknya. Setidaknya, ada lima nilai yang harus dimiliki oleh seorang guru untuk bisa menggerakkan dirinya, para muridnya, dan lingkungannya. Nilai-nilai tersebut adalah mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid. Dengan memiliki nilai-nilai tersebut, seorang guru akan terus meningkatkan kompetensinya tanpa harus didorong dan dituntut oleh siapa pun, terus memperbaiki diri dengan kekurangannya, membuka diri untuk bekerja sama membuat perubahan, terbuka terhadap hal-hal baru dan berani membuat sesuatu yang baru dan positif bagi dirinya dan lingkungannya, serta menjadikan semua pengetahuan dan kompetensinya untuk kepentingan menuntun dan mengembangkan potensi murid-muridnya yang kelak akan menjadi bekal kebahagiaan hidup.

Selain memiliki kelima nilai dasar tersebut, seorang guru juga harus memainkan peran yang berimbang baik sebagai pamong, anggota komunitas, dan bagian dari sebuah manajemen. Ada lima peran penting yang secara ideal harus melekat dalam diri seorang guru, yaitu sebagai pemimpin pembelajaran, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antarguru, menggerakkan komunitas praktisi, dan mewujudkan kepemimpinan murid. Berdasarkan kelima peran tersebut, arah dari seluruh kompetensi yang dimiliki guru adalah untuk mewujudkan kepemimpinan murid. Bagaimana seorang guru bisa melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada murid, membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh rekan sejawat, mendorong terjadinya kolaborasi dalam komunitas guru untuk bersama-sama meningkatkan kompetensi agar bisa melaksanakan pembelajaran yang berdampak pada berkembanya potensi murid sesuai dengan kodratnya.

Visi

Bagaimana agar semua yang diharapkan dapat sampai pada tujuan? Visi jawabannya. Bukan sekadar visi biasa, tetapi sebuah visi impian bagi para murid yang dapat dilaksanakan oleh seluruh warga sekolah. Sebagai sebuah tujuan, visi adalah garis finish berisi gambaran yang dibayangkan oleh seseorang yang berada pada garis start. Visi yang dimaksud adalah visi yang mampu mengakomodasi ketercapaian tujuan pendidikan dan menjadikan sekolah sebagai rumah yang aman, nyaman, dan bermakna bagi murid. Visi yang dibuat juga harus menunjukkan adanya perubahan yang lebih baik dari kondisi saat ini yang akan dilakukan secara konsisten. Dalam mewujudkannya, para pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah. Budaya sekolah berarti merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan di sekolah. Kebiasaan ini dapat berupa sikap, perbuatan, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan warga sekolah. Dengan demikian, penting merumuskan visi sebagai langkah pertama untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diharapkan.

Budaya Positif Sekolah

Budaya positif di sekolah ialah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat, dan bertanggung jawab. Dalam mewujudkan budaya positif ini, guru memegang peranan sentral. Guru perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya positif baik lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga diperlukan karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Ada dua konsep yang menjadi landasan dari budaya positif sekolah, yaitu posisi kontrol guru dan disiplin positif.

Terdapat lima posisi kontrol guru, yaitu guru sebagai penghukum, guru sebagai pembuat rasa bersalah, guru sebagai teman, guru sebagai pengontrol, dan guru sebagai manajer. Untuk menumbuhkan disiplin pada diri murid secara intrinstik, guru perlu berperan pada posisi kontrol manajer yang bertanya dan membuat kesepakatan kelas bila murid melakukan kesalahan atau pelanggaran, bukan menuduh, memberi hukuman atau sebagai teman yang membiarkan murid melakukan kesalahan atau pelanggaran. Hal ini dilakukan karena pendidik sebagai pamong yaitu “menuntun” atau memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak diberi kebebasan, namun perlu diberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Oleh karena itu, pada kesehariannya, pamong juga berperan sebagai pengontrol untuk mengingatkan murid jika berada dalam bahaya. Pada kesempatan lain, guru juga dapat berperan sebagai teman ketika berinteraksi agar dapat memahami murid dan membangun kedekatan.

Setelah menerapkan posisi kontrol sebagai manajer, untuk mewujudkan budaya positif di sekolah, guru harus menerapkan disiplin positif selama proses pembelajaran. Disiplin positif yang dimaksud dapat dimulai dengan secara bersama-sama dan konsisten melaksanakan kesepakatan kelas yang telah dibuat. Jika ada pelanggaran, guru tidak memberikan hukuman, melainkan mengajak murid berdiskusi dan menyampaikan konsekuensinya. Sebagian besar orang memandang bahwa hukuman adalah bentuk yang sama dengan proses pendisiplinan dan memberikan hukuman sebagai salah satu langkah dalam proses disiplin murid. Padahal, disiplin dan hukuman memiliki arti yang berbeda dan memberikan efek yang sangat berbeda dalam pembentukan diri murid.

Pembelajaran Berdiferensiasi

Menuntun murid sesuai kodratnya merupakan cara agar murid dapat menemukan kemerdekaan dalam proses belajarnya. Kemerdekaan ini tentu saja dilakukan dengan tetap mengacu pada semua komponen pembelajaran yang harus dikuasai. Salah satu bentuk implementasinya adalah dengan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi.

Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid. Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi, tersusunnya kurikulum yang memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas, penerapan penilaian berkelanjutan, menanggapi atau merespons kebutuhan belajar murid, menyesuaikan rencana pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid, dan terwujudnya manajemen kelas yang efektif. Inti dari proses pembelajaran berdiferensiasi adalah bagaimana guru menciptakan prosedur, rutinitas, metode yang memungkinkan adanya fleksibilitas. Namun juga struktur yang jelas, sehingga walaupun mungkin melakukan kegiatan yang berbeda, kelas tetap dapat berjalan secara efektif.

Selain itu, dalam menciptakan proses pembelajaran, guru perlu mempertimbangkan kebutuhan murid, yang terdiri atas tiga aspek, yaitu kesiapan belajar murid, minat murid, dan profil belajar murid. Dengan mempertimbangkan tiga aspek tersebut, secara kreatif dan inovatif, guru akan menentukan metode, media, model, dan bahan pembelajaran yang paling relevan dengan kebutuhan murid-muridnya, sehingga pembelajaran bisa mengakomodasi keragaman murid dalam satu kelas.

Pembelajaran Sosial dan Emosional

Untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan yang dimaksud dalam tujuan pendidikan, murid harus diarahkan untuk memiliki kecakapan paripurna dalam dirinya. Tidak hanya kecakapan secara kognitif, tetapi juga memiliki karakter sesuai harapan yang termaktub dalam Profil Pelajar Pancasila. Dalam mewujudkannya, langkah yang paling tepat adalah mengarahkan mereka untuk memiliki kecakapan sosial dan emosional. Selain menerapkan pembelajaran berdiferensiasi, sebagai pihak yang sangat berperan penting dalam mengoptimalkan kecakapan sosial dan emosional murid, seyogyanya guru juga mampu mengintegrasikan kecakapan sosial dan emosional ini dalam pembelajaran.

Pembelajaran sosial dan Emosional adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional. Pembelajaran sosial dan emosional bertujuan untuk (1) memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi, (2) menetapkan dan mencapai tujuan positif, (3) merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain, (4) membangun dan mempertahankan hubungan yang positif, serta (5) membuat keputusan yang bertanggung jawab. Pembelajaran sosial dan emosional dapat diberikan dalam tiga ruang lingkup, yaitu (1) kegiatan rutin yang dilakukan di luar waktu belajar akademik, seperti kegiatan membaca bersama, ekstrakurikuler, perayaan hari besar, acara sekolah, apel pagi, kerja bakti, senam pagi bersama, seminar atau pelatihan, dan sebagainya, (2) terintegrasi dalam pembelajaran sebagai strategi pembelajaran atau diintegrasikan dalam kurikulum, seperti melakukan refleksi setelah menyelesaikan sebuah topik pembelajaran, membuat diskusi kasus atau kerja kelompok untuk memecahkan masalah, dan lain-lain, dan (3) protokol sebagai budaya atau aturan sekolah yang sudah menjadi kesepakatan bersama dan diterapkan secara mandiri oleh murid atau sebagai kebijakan sekolah untuk merespon situasi atau kejadian tertentu, seperti menjaga ketenangan di ruang perpustakan, berdoa di musala sekolah dengan khidmat, dan lain-lain.

Coaching

Proses menuntun murid adalah upaya mengarahkan mereka untuk menemukan jati diri dan melejitkan potensi mereka. Salah satu keterampilan yang diperlukan oleh guru adalah keterampilan coaching. Coaching diperlukan karena murid kita adalah sosok merdeka. Sosok yang dapat menentukan arah dan tujuan pembelajarannya, serta meningkatkan potensinya sendiri. Mereka hanya memerlukan dorongan dan arahan dari guru sebagai pemimpin pembelajaran untuk melejitkan potensi mereka. Tentunya ini bukan hal yang mudah karena sebagai pemimpin pembelajaran terkadang guru tergoda untuk berupaya membantu permasalahan murid secara langsung dengan memberikan solusi dan nasihat, karena coaching berbeda dengan konseling dan mentoring. Dengan keterampilan coaching, diharapkan murid-murid menjadi lebih terarah dan dapat menyelesaikan masalahnya sendiri yang pada akhirnya dapat meningkatkan potensi mereka.

Coaching didefinisikan sebagai bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif. Terdapat tiga prinsip dalam coaching, yaitu (1) Kemitraan, yaitu hubungan coach dan coachee adalah hubungan kemitraan yang setara. Untuk membantu coachee mencapai tujuannya, seorang coach mendukung secara maksimal tanpa memperlihatkan otoritas yang lebih tinggi dari coachee; (2) Memberdayakan. Proses inilah yang membedakan coaching dengan proses lainnya. Dalam hal ini, dengan sesi coaching yang ditekankan pada bertanya reflektif dan mendalam, seorang coach menginspirasi coachee untuk menemukan jawaban-jawaban sendiri atas permasalahannya; dan (3) Optimalisasi. Selain menemukan jawaban sendiri, seorang coach akan berupaya memastikan jawaban yang didapat oleh coachee diterapkan dalam aksi nyata sehingga potensi coachee berkembang.

Di sekolah, praktik coaching dapat dilakukan dengan Model TIRTA yang merupakan akronim dari empat tahapannya, yaitu (1) Menetapkan Tujuan yang ingin dicapai dari proses coaching; (2) Melakukan Identifikasi terhadap permasalahan dan potensi coachee; (3) Membuat Rencana Aksi yang akan dilakukan oleh coachee setelah mendapat gambaran solusi sesuai dengan potensi yang dimilikinya; dan (4) Tanggung Jawab atau Komitmen yang bisa dilakukan oleh coachee agar rencana aksinya berjalan efektif dan sesuai rencana. Praktik coaching ini bisa digunakan oleh guru baik kepada murid maupun kepada rekan sejawat untuk mendapatkan solusi dari sebuah permasalahan atau untuk meningkatkan kompetensi dan potensi coachee.

Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran

Sebagai seorang pemimpin pembelajaran, penting bagi guru memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan yang tepat. Dalam proses pembelajaran atau dalam interaksi bersama komunitas, sangat mungkin terjadi permasalahan yang menuntut seorang guru harus membuat sebuah keputusan. Keputusan yang dimaksud tentu saja harus etis dan memberikan dampak positif. Namun, ada kalanya guru juga menghadapi dilema ketika akan mengambil sebuah keputusan. Untuk itu, diperlukan pengetahuan sebagai landasan dalam pengambilan keputusan.

Untuk memandu guru dalam mengambil keputusan dan menguji keputusan yang akan diambil

dalam situasi dilema etika ataupun bujukan moral, ada sembilan langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut.

1. Mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan.

Penting bagi guru untuk mengidentifikasi masalah yang sedang dihadapinya dan untuk memastikan bahwa masalah yang dihadapi memang betul-betul berhubungan dengan aspek moral, bukan sekadar masalah yang berhubungan dengan sopan santun dan norma sosial.

2. Menentukan siapa yang terlibat.

Dengan mengetahui siapa yang terlibat dalam situasi dilematis, guru akan lebih merasa terpanggil dan memiliki rasa kepedulian yang tinggi untuk bisa mengambil keputusan yang tepat.

3. Kumpulkan fakta-fakta yang relevan.

Dengan mengetahui data-data dan fakta penting akan menjelaskan alasan seseorang melakukan sesuatu dan bisa juga mencerminkan kepribadian seseorang dalam situasi tersebut. Guru juga harus bisa menganalisis hal-hal apa saja yang potensial yang bisa terjadi di waktu yang akan datang.

4. Pengujian benar atau salah.

Pengujian benar atau salah didasarkan pada lima uji yang mendasar, yaitu uji legalitas, uji regulasi, uji intuisi, uji publikasi, dan uji tokoh idola.

5. Pengujian paradigma benar lawan benar.

Ada empat paradigma yang harus diidentifikasi dalam situasi dilematis yang dimaksudkan untuk memberikan penajaman bahwa situasi yang dihadapi benar-benar mempertentangkan antara dua nilai kebajikan yang sama-sama penting. Keempat paradigma tersebut adalah individu lawan masyarakat (individual vs community), rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyality), dan jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term).

6. Melakukan prinsip resolusi.

Ada tiga prinsip yang bisa dilakukan atau dipakai, yaitu berpikir berbasis hasil akhir (ends-based thinking), berpikir berbasis peraturan (rule-based thinking), dan berpikir berbasis rasa peduli (care-based thinking)

7. Investigasi opsi trilema.

Dalam mengambil keputusan, seringkali ada dua pilihan yang bisa dipilih. Namun, terkadang perlu mencari opsi di luar dari dua pilihan tersebut. Yang dapat dilakukan adalah bertanya pada diri sendiri apakah ada cara lain untuk berkompromi dalam situasi yang sedang dihadapi. Hal inilah yang kemudian memunculkan sebuah penyelesaian yang kreatif dan tidak terpikir sebelumnya.

8. Buat keputusan.

Setelah tujuh langkah yang dilalui, pada akhirnya akan sampai pada satu titik untuk mengambil keputusan yang membutuhkan keberanian secara moral untuk melakukannya.

9. Lihat lagi keputusan dan refleksikan

Ketika keputusan sudah diambil, lihat kembali proses pengambilan keputusan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus selanjutnya.

Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

Untuk memunculkan kekuatan yang ada dalam diri murid atau sebuah komunitas, sebagai seorang pemimpin pembelajaran, seorang guru harus terampil dalam mengelola sumber daya yang ada. Dalam mengelola sumber daya, seorang pemimpin harus menekankan pada potensi yang dimiliki baik oleh muridnya maupun lingkungannya. Pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan berpikir berbasis aset (asset-based thinking) yang merupakan cara praktis menemukan dan mengenali hal-hal yang positif dalam kehidupan, dengan menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir, memusatkan perhatian pada apa yang bekerja, yang menjadi inspirasi, yang menjadi kekuatan ataupun potensi yang positif. Dengan menggunakan pendekatan berpikir berbasis aset, guru tidak akan menjadikan kelemahan sebagai masalah yang harus dicari solusinya, tetapi akan fokus pada aset yang bisa dikembangkan dan dikelola menjadi sumber daya untuk melejitkan potensi murid.

Salah satu modal penting dalam pengelolaan sumber daya di sekolah adalah murid dan lingkungannya. Guru sebagai pemimpin pembelajaran berperan penting untuk dapat mengelola sumber daya yang ada pada murid dan mengoptimalkan lingkungannya sebagai pendukung proses pembelajaran. Guru harus memandang murid sebagai aset yang dapat menghasilkan potensi dan kekuatan yang beragam melalui program-program atau kegiatan-kegiatan yang berpihak pada murid.

Selain menggunakan pendekatan berpikir berbasis aset dalam menemukan, menggali, dan memetakan potensi yang ada, pengelolaan sumber daya juga secara praktis dapat dilaksanakan dengan pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA). Sebagai sebuah paradigma, IA menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan. IA juga dikenal sebagai salah satu model manajemen perubahan di sekolah yang dapat diterapkan melalui tahapan yang disebut dengan BAGJA (Buat Pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana, Atur Eksekusi).

Dalam praktiknya, guru bisa membuat pemetaan terhadap aset yang ada, menggali potensi dan kekuatannya, kemudian membuat perencanaan melalui sebuah program atau kegiatan yang dapat diimplementasikan dengan menggunakan tahapan BAGJA. Sasarannya adalah terjadi perubahan secara positif dalam suatu komunitas atau kelas yang kemudian mengarah pada pencapaian tujuan menuntun kekuatan kodrat yang ada pada murid.

Kesimpulan

Untuk mencapai tujuan pendidikan seperti yang diungkapkan oleh KHD, diperlukan konsep pendidikan yang sejalan untuk memerdekakan dan menghamba pada murid, guru yang memiliki nilai-nilai dan mengimplementasikan perannya demi keberpihakan pada murid, keselarasan visi dan misi yang sesuai dengan kodrat murid, budaya positif yang menghargai eksistensi murid, proses pembelajaran yang mengakomodasi kebutuhan belajar murid, pembelajaran sosial dan emosional yang dapat mengarahkan kecakapan batiniah murid, proses menuntun murid menemukan jati dirinya melalui coaching, pengambilan keputusan yang dilakukan oleh guru secara etis dengan mengutamakan kepentingan murid, dan adanya pengelolaan sumber daya untuk menemukan kekuatan pada diri murid. Keseluruhan proses yang dilakukan tersebut akan membawa murid pada keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai manusia dan anggota masyarakat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren bunda ulasannya

31 Oct
Balas

keren, terimakasih ilmunya

11 Oct
Balas

Keren banget artikelnya, semoga selalu sehat dan sukses.

13 Oct
Balas



search

New Post