Aku menghardik. Cuaca panas dan kemacetan membuatku tak lagi punya cukup kesabaran untuk diam. Iring-iringan mobil tampak rapat. Bahkan dibarengi dengan lengkingan bunyi sirene. Targetku untuk cepat sampai ke rumah, meleset. Pastilah molor lebih dari tiga puluh menit, pikirku sambil melirik jam tanganku. Seperti kendaraan lain yang ada di depanku, aku pun membunyikan klakson berkali-kali. Berharap iring-iringan panjang mobil itu bisa sedikit menepi dan memberikan jalan kepada kami. Bunyi klakson semakin riuh.

Tapi aku merasa ada yang aneh dari iring-iringan mobil ini. Tampak paling depan mobil pengawal polisi, di belakangnya ada mobil jenazah. Dan di belakang mobil jenazah itu ada belasan mobil mengiringinya. Orang-orang di dalamnya tampak bersedih. Mereka tidak saling berbicara. Hening. Seketika, aku turut merasakan suasana duka.

Aku menghentikan kendaraanku ketika iring-iringan mobil ini berhenti tepat di pintu gerbang pemakaman umum. Kulihat keranda itu diturunkan dari mobil jenazah. Seorang perempuan berkerudung hitam yang membelakangiku terlihat tak kuasa menahan kesedihan. Sapu tangan yang dipegangnya basah. Orang-orang berusaha menguatkannya. Saat jenazah selesai dimasukkan ke liang lahat, sambil tersedu-sedu ia berkata, “Mas, aku ikhlas, meskipun sangat berat melepas kepergianmu. Aku juga akan belajar memaafkan mereka yang tega mencelakaimu”. Suara perempuan itu terdengar sangat mirip dengan suara istriku. Aku merangsek mendekatinya. Di depanku, Intan, istri yang sangat kucintai menangis di depan nisan yang bertuliskan namaku.

Lebak, 25042021