“Iya, Ma, sebentar lagi Papa pulang. Lagi dengerin Sheila nih,” jawab Pak Arman. Dan klik, telepon ditutup. Seketika Bu Rina terhenyak. Kakinya lemas. Sheila. Nama itu disebutnya berulang-ulang dengan suaranya yang bergetar. Terus, mengapa juga suaminya menutup telepon begitu saja. Semua tanya menggantung bersama bayangan buruk yang membuat dadanya terasa sesak.

Bu Rina melihat kembali jam dinding yang kali ini detaknya terdengar lebih keras. Bahkan seperti memukuli hatinya yang kalut. Seharusnya suaminya sudah pulang dari setengah jam yang lalu, pikirnya. Pun tidak biasanya suaminya terlambat. Segala tanya menggelinding dalam benak. Semakin dicari jawabannya, semakin berat beban di kepalanya. Ia hanya mondar-mandir, menghitung tiap detik yang berlalu dalam prasangka. Pasti ini karena si Sheila itu, batinnya. Tiba-tiba muncul bayangan sebuah kisah sinetron yang membuatnya ingin bernyanyi “Ku menangis ...”.

“Papa jahat! Papa tega mengkhianati aku!” teriak Bu Rina sambil meninju-ninju dada suaminya. Pak Arman yang baru saja pulang keheranan melihat tingkah istrinya. Setelah menenangkan istrinya, akhirnya Pak Arman menjelaskan bahwa sebelum pulang ia membeli martabak pesanan Bu Rina. Karena antre, jadi agak lama. Pak Arman juga meminta maaf karena handphone-nya lowbatt dan mati. Saat itu, di mobil ia sedang mendengarkan lagu-lagu Sheila on 7. Lagu-lagu kenangan ketika dulu mereka berpacaran. Mendengar itu, Bu Rina hanya tersipu malu.

Lebak, 10042021