Tradisi Tiban Masyarakat Tulungagung Meminta Hujan
Tradisi dapat dimaknai dengan adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan dan dilestarikan oleh masyarakat. Dalam setiap daerah tentunya memiliki tradisi budaya yang memilki arti dan tujuan tersendiri, salah satunya adalah tradisi tiban di Kabupaten Tulungagung. Berasal dari kata Bahasa Jawa “Tiba” yang berarti “jatuh” di dalam konteks ini menunjuk ke hujan, yaitu mengharap turunnya hujan atau jatuhnya air hujan. Oleh karena itu dapat diartikan jika tradisi Tiban adalah tradisi masyarakat di Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung yang bertujuan untuk meminta hujan pada saat musim kemarau panjang. Tradisi kesenenian Tiban yang dilestarikan oleh masyarakat mengandung nilai nilai budaya sebagai gabungan dari unsur seni bela diri, agama, dan juga harapan masyarakat untuk kelangsungan hidupnya, salah satunya adalah masyarakat di desa Wajak Kidul ,Boyolangu, Tulungagung yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jenis tarian yang dilakukan adalah dengan cara adu kekuatan daya tahan tubuh dan menggunakan cambuk yang berasal dari lidi daun aren diiringi dengan alunan suara gamelan Jawa yang disebut kentrung. Sebelum tarian ini dimulai, para peserta Tiban tersebut dibacakan mantra atau doa dari sesepuh. Sejarah munculnya tradisi Tiban Di Tulungagung ini dimulai pada masa pemerintahan Tumenggung Surontani yang merupakan seorang Tumenggung Mataram yang dasingkan ke Jawa Timur.

Berikut ini merupakan Ritual yang dilaksanakan dalam tarian Tiban :
a. Warga desa mengadakan selamatan/slametan Bersama sebagai wujud rasa syukur atas hasil bumi/panen, dan biasa dilakukan diLapangan desa agar semua warga bisa berkumpul.
b. Sebelum tarian dimulai, cambuk atau pecut yang terbuat dari lidi aren dengan ukuran 2 meter itu diberi mantra atau doa oleh sesepuh atau yang memimpin tiban. Biasanya ada 4 sesepuh yang berasal dari berbagai daerah.
c. Para pemain tiban diberi bacaan atau mantra oleh sesepuh yang berisi Bahasa campuran antara Bahasa islam dan kejawen (biasanya diawali dengan bacaan Basmalah-Mantra Jawa dan daikhiri dengan bacaan 2 kalimat syahadat). Peserta bebas tidak menentukan usia, rata rata 20-40 tahun.
d. Umumnya pakaian yang digunakan hanya memakai celana panjang bagian tubuh atas tidak memakai baju atau telanjang.
e. Ketika acara dimulai dilanjutkan dengan pemukulan gong diiringi alunan musik gamelan Jawa.
f. Sebelum bertanding, peserta meminum air dari kendi lalu memulai tarian. Jika ada peserta yang terluka, mereka akan disembuhkan oleh sesepuh tersebut.

Jalan Permainan
Para pemain. Harus mengikuti peraturan yang berlaku, yaitu sasaran cambukan tidak sembarangan karena mereka dilarang mencambuk kaki dan kepala lawannya. Pada saat tarian dimulai, iringan tetabuhan dari gamelan segera berbunyi. Dua orang menempati posisi masing masing yang saling berhadapan. Kedua jago ini tampil, saling bersalaman dan wasit menyerahkan cambuk dan tiap peserta memilih cambuk yang sudah disiapkan. Lalu dipertimbangkan berapa kali lecutan dilakukan berdasarkan kedudukan (junior atau senior) serta kondisi fisik peserta tersebut. Sasaran lecut adalah punggung dan badan bagian depan diatas pusar. Daerah larangan adalah bagian pusar kebawah dan kepala. Setelah dilakukan “sut” yaitu mengundi dengan mengadu jari untuk menentukan siapa yang melecut terlebih dahulu, maka mulailah permainan. Meskipun tarian tiban terlihat bersifat “sadistis”, namun tidak seorang pun dari peserta yang menampilkan diri sebagai seorang sadis penuh dendam amarah. Semua menampakkan wajah cerah gembira sekalipun lecutan mengena menimbulkan rasa nyeri. Memang adakalanya wajahnya bersungguh-sungguh untuk konsentrasi pikiran mencari sasaran yang tepat. Demikian seterusnya sampai batas beberapa lecutan yang ditentukan selesai. Mereka yang lebih banyak terkena lecutan, yang tampak jelas terkena lecutan bekasnya dinyatakan kalah. Namun pernyataan kalah menang ini tidak ada kaitanya dengan hal hal yang bersifat lomba, karena tiban adalah tradisi tarian yang mengarah ke upacara ritual. Landasan prinsipnya adalah Kebanggaan.Di akhir laga, wasit meminnta para pemain untuk berjabat tangan agar tidak ada dendam ataupun rasa permusuhan.
Dengan ini saya menyatakan ucapan terima kasih kepada Ibu Afrida BR., Dra., MS atas ilmu dan bimbingan yang telah diberikan serta dorongan dalam penyelesaian artikel ini.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar