secha maktah

aku seorang kapiten mempunyai pedang panjang kalau berjlan prok prok prok...

Selengkapnya
Navigasi Web
ndoro kanjeng 2

ndoro kanjeng 2

Perkembangan viktimologi dalam mempelajari permasalahan koraban dapat terjadi dalam tiga fase sebagaimana dikemukakan Separovic (1985: 29) yang dikutip oleh Ediwarman sebagai berikut: Pada awalnya viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja; Pada fase ini dikatakan sebagai Penal or special victimolog Pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan saja, tetapi juga meliputi korban kecelakaan; Pada fase ini disebut sebagai general victimology Fase ketiga viktimologi telah berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasan dan hak-hak asasi manusia, fase ini disebut new victimolog[34] Pandangan ini menunjukkan adanya perkembangan viktimologi dalam mempelajari pemasalahan korban; Pada mulanya pengkajian viktimologi hanya difokuskan kepada korban kejahatan, sedangkan pada fase kedua sudah agak meluas kajian viktimologi yaitu terhadap korban kecelakaan, dan pada fase ketiga kajian viktimologi sudah berkembang, yaitu sudah sampai pada pengkajian tentang permasalahan korban yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan hak asasi manusia, atau dengan kata lain viktimologi telah mempelajari permasalahan korban seluas-luasnya. Berkaitan dengan perkembangan viktimologi ini dikemukakan oleh Sahetapy sebagai berikut: Paradigma viktimologi tidak hanya berkaitan dengan kejahatan dalam artian klasik saja, tetapi juga menyangkut perbuatan-perbuatan lain di luar bidang hukum pidana; Abuse of power jelas mengindikasikan bahwa perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasan, berarti dapat juga dilakukan oleh suatu kekuasan yang sah; Itu berarti bahwa memiliki kekuasan tidak dengan sendiri berarti memiliki kebenaran; Jadi rakyat bisa saja dikorbankan untuk kepentingan penguasa atau kepentingan yang berkuasa tanpa memperhatikan atau mengindahkan atau menghormati norma-norma hukum dan atau moral[35] Pendapat Sahetapy ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Separovic bahwa kajian viktimologi dalam perkembangannya tidak hanya terbatas pada pengkajian terhadap korban kejahatan dalam lingkup hukum pidana saja, melainkan sudah berkembang hingga pengkajian korban dalam dimensi yang lebih luas, seperti koban tindak pidana lingkungan hidup (koban pencemaran lingkungan), korban ketidak adilan sebagai akibat tidak ditegakannya hukum dengan adil dan benar, sehingga viktimisasi itu dapat meliputi baik viktimisasi secara fisik, psikis atau mental berkaitan dengan berbagai perbuatan. Perbuatan yang dapat menimbulkan korban ini dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok tertentu atau komunitas tertentu, bahkan perbuatan ini dapat dilakukan oleh pihak penguasa; Bila viktimisasi ini dilakukan oleh penguasa, maka korban yang ditimbulkan dapat terdiri dari perorangan, beberapa orang atau kelompok orang tertentu Melihat demikian luasnya kajian viktimologi Sahetapy mengatakan bahwa viktimisasi meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Viktimisasi politik. Dalam katagori ini dapat dimasukkan aspek penyalahgunaan kekuasan, perkosaan hak-hak asasi manusia, campur tangan angkatan bersenjata di luar fungsinya, terorisme intervensi dan peperangan lokal atau dalam skala internasional; 2. Viktimisasi ekonomi, terutama dimana ada kolusi antara penguasa dan konglomerat, produksi barang-barang yang tak bermutu atau yang merusak kesehatan, termasuk di dalam aspek ini pencemaran lingkungan hidup dan rusaknya ekosistem; 3. Viktimisasi keluarga, seperti perkosaan termasuk diantaranya anggota keluarga, penyiksaan terhadap anak atau istri dan menelantarkan kaum manula atau orang tuanya sendiri; 4. Viktimisasi media, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan obat bius, alkoholisme, malpraktek di bidang kedokteran, eksprimen kedokteran yang melanggar (etik) prikemanusiaan; 5. Viktimisasi yuridis, dimensi ini cukup luas baik yang menyangkut aspek peradilan (dan lembaga pemasyarakatan) maupun yang menyangkut dimensi diskriminasi perundang-undangan termasuk menerapkan hukum kekuasaan, kematian perdata dan stigmatisasi kendatipun sudah diselesaikan aspek peradilannya.[36] Perlu ditegaskan juga bahwa masalah perlindungan korban, sebagaimana ditegaskan oleh Barda Nawawi, merupakan 2 (dua) dari 1 (satu) mata uang yang sama. Artinya lanjut Barda, kedua-duanya tidak bisa dipisah-lepaskan; Lebih lanjut Barda mengutip pernyataan Zvonimir-Paul Sparovic, “The rights of the Victim are a Componen part of the consept of huuman right” dalam bukunya (Victimology, 1985: 43); Jadi, masalah perlindungan hak korban ini pada hakikatnya juga merupakan bagian dari masalah perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)[37]

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post