Takdir Tak Selamanya Membahagiakan
Malam tahun baru telah datang, sekeluarga yang harmonis menikmati malam penuh cinta dengan bersenda gurau dan sambil menyantap hidangan khusus sebagai tanda bentuk syukur. Keluarga kecil yang saat ini beranggotakan empat orang. Ibu Astuti seorang Ibu yang bersahaja penuh kesederhanaan masih tampak dirundung sedih atas ditinggal oleh sang suami tercinta untuk menghadap sang Khalid tiga bulan lalu. Dia beranak dua orang, anak pertamanya Frenky, laki-laki yang sudah tumbuh dewasa dan bekerja pada perusahaan swasta nasional dengan jabatan cukup lumayan. Anak keduanya, perempuan berparas cantik dengan rambut terurai panjang, bernama Melan. Melan seorang janda beranak satu. beliau mengurus dan merawat anak semata wayangnya dengan penuh kasih sayang. Suaminya meninggal saat dirinya mengandung delapan bulan karena mengalami kecelakaan saat bertugas di tengah laut. Kapal yang dinahkodainya tenggelam dihantam gelombang laut saat badai. Hildan nama anak kecil menggemaskan ini telah berumur tiga tahun. Hildan menjadi anak periang dan cerdas. Wajahnya tampan seperti Ayahnya.
“Ibu, Aku ingin seperti Ayah kalau sudah besar”! kata Hildan sambil menunjuk foto Ayahnya dengan seragam pelaut yang gagah.
“Iya nak! Semoga kamu dapat menjadi seperti Ayahmu yang gagah, cerdas, lagi penyayang keluarga.
Hildan memeluk tubuh Ibunya, Dia mengusap pipi Ibunya.
“Bu, aku kangen Ayah …, Ayah sedang apa sekarang ini, kenapa Ayah tidak bersama kita …?” suaranya sendu bercampur penuh harap kepada Ibunya.
Melan berusaha tabah menghadapi anaknya yang membutuhkan kasih sayang seorang Ayah. Matanya menerawang sesaat dan tanpa disadarinya, dia menitikkan air mata. Air mata Melan jatuh di telapak tangan anaknya.
“Ibuuu! kok menangis, kenapa Buu …?’ tanya Hildan pada Ibunya.
Melan berusaha menguatkan diri lalu segera mengusap air matanya.
“Tidak nak, Ibu tidak menangis, Ayahmu akan bersama kita pada saatnya nanti.” Sahut Melan menenangkan perasaan anaknya.
“Ayo, kita makan kue-kue yang sudah dibelikan Pamanmu!” ajak Melan untuk mengalihkan pembicaraan.
Melan menuntun anaknya untuk memilih makanan yang tersaji di meja ruang tamu. Melan sampai saat ini, masih merahasiakan kematian Ayah bagi anaknya. Dia kawatir, anaknya akan terpukul dan sedih yang mendalam, apabila mengetahui Ayahnya telah tiada.
“Makanlah nak, ayo dimakan kue kesukaanmu ini!” memelas Melan kepada anaknya utuk memakan kue kesenangannya.
“Tidak mau, aku tidak mau, aku mau Ayah pulang …!” Merengek Hildan kepada Ibunya.
Melan berusaha menenangkan anaknya yang sedang dibuai rindu sosok Ayahnya.
“Iya nak, besok mungkin Ayahmu akan pulang …!” usaha Melan meyakini putranya.
Ibu Astuti yang sedari tadi sedang menonton TV pun ikut tergugah hatinya. Dia berusaha membantu putrinya untuk meredam kerinduan dasyat cucu satu-satunya.
“Sabar, ya nak! Ayahmu akan berkumpul bersama kita suatu hari nanti.” Ibu Astuti berusaha meredahkan keinginan cucunya.
“Iya Nek! Aku akan berkumpulkan dengan Ayah …” sahut Hildan penuh harap kepada Neneknya.
“Iya, nanti kita akan selalu bersama dengan Ayahmu …” penuh meyakini cucunya.
Suasana kembali mencair dan mengalir damai penuh ketenangan. Melan hanya bisa pasrah dan berusaha meredahkan harapan anaknya untuk bertemu Ayahnya. Dia berharap, ketika waktunya sudah tepat, dia akan menceritakan tentang Ayah bagi anaknya. Sang Kakak, Frenky hanya bisa tertunduk lemah dan memendam kesedihan yang sama seperti keponakannya. Malam pun telah larut, bulan purnama bersinar terang menembus kaca ruang tamu. Melan mengajak anaknya untuk tidur.
“Nak, mari kita tidur! hari sudah malam, jadikan kita berenang besok?” ajak Melan kepada Hildan untuk tidur.
“Jadi dong Bu …, aku ingin berenang dan bertemu teman-teman di kolam renang!’ rengek Hildan kepada Ibunya.
Ayam berkokok tanda matahari ingin terbit dari singgasananya. Melan sudah mulai sibuk menyiapkan makanan yang akan dibawa olehnya pergi ke kolam renang bersama anak tercinta belahan jiwanya. Hildan pun telah bangun dan Ibu Astuti mengajak cucunya untuk berbenah, mandi, serta merapikan pakaian cucunya. Hildan meminta pakaian pelaut yang baru saja dibelikan oleh Ibunya sebagai hadiah ulang tahunnya.
“Nek, aku ingin pakai pakaian seperti Ayah dibelikan Ibu!” pinta cucunya kepada Ibu Astuti.
“Ya nak, ayo pakai! semoga cucuku yang ganteng akan menjadi seperti Ayahnya.” Kata Ibu Astuti membantu mengenakan pakaian kepada Hildan.
Setelah semuanya beres dan rapi, tidak ada yang tertinggal, Melan pun menggandeng tangan anaknya keluar rumah untuk menuju kolam renang. Dia pun tidak lupa berpamitan kepada Mamanya. Hildan pun sempat melampaikan tangan kepada Neneknya yang mengantarkan sampai teras rumah.
“Daaag Nek, aku pergi berenang ya! Kiss … Nek!” salam Hildan kepada Neneknya sambil memegang tangan Ibunya.
“Ma, aku pergi ke kolam renang ya, saya mohon Mama jangan banyak termenung memikirkan Papa!” pinta Melan kepada Mamanya.
Sesaat kemudian, Melan dan anak kesayangan pelipur lara hatinya telah sampai di kolam renang yang dituju. Mereka membayar tiket masuk dan langsung ke kamar ganti untuk mengganti pakaian. Mereka bermain bersama, tampak anaknya bergembira menikmati suasana. Sekira satu jam lamanya berenang dan bermain, mereka menyudahi dan bergegas membersihkan diri dan berganti pakaian karena hari sudah mulai hujan diiringi angin kencang. Mereka berjalan keluar arena kolam menuju parkiran. Pada saat yang bersamaan, sebuah pohon tumbang dan mengenai keduanya. Mereka mengalami peristiwa naas, kecelakaan yang sungguh menyedihkan telah merubah kegembiraan antara Ibu dan anak terkasihnya.
Masyarakat yang kebetulan dekat mereka, berusaha untuk menolong dan membawanya ke rumah sakit terdekat untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang tidak sadarkan diri. Sungguh menyedihkan bagi Melan, Melan tertolong walaupun harus melewati masa kritis selama seminggu dan dia baru sadar setelanya. Hildan meninggal dan tidak tertolong karena luka di kepala dan tubuhnya yang sangat serius. Singkat cerita, setelah sepeninggal anaknya. Melan menjadi pemarah dan suka marah-marah atau sebaliknya, suka menangis meraung-raung, memukul apa saja, baik kepada dirinya sendiri maupun orang yang ditemuinya. Perabotan rumah tangga pun hancur dilempar, dibanting, dan ditendang. Semua yang ditemuinya seakan-akan menjadi musuhnya. Entah itu orang maupun benda di sekitarnya.
“Ma! di mana Hildan anakku, ma? tanya Melan kepada Ibu Astuti sambil mengacak-acak rambutnya yang panjang.
“Melan … yang sabar nak, tabahkan hatimu … Anakmu telah pergi dengan tenang menyusul Ayahnya!” lirih suara Ibu Astuti berusaha mendamaikan hati anak perempuannya.
“Tidakkkkk, anakku tidak boleh pergi meninggalkan Ibunya…. Hildan…. ke mana kamu nak! Ibu sayang dan rindu padamu …!’teriak Melan dengan sekeras-kerasnya.
“Sabar dan tabahkan hatimu, Dik …” pinta Frenky kepada Adiknya.
Tubuh Melan tak terawat kotor dan bau, dia tak cantik dan wangi seperti kemarin. Sejak ditinggal meninggal anak kesayangan belahan jiwa menyusul Ayahnya. Melan menjadi berubah total. Hingga, Mama dan Kakaknya memutuskan membawa Melan ke rumah sakit jiwa untuk penyembuhan mentalnya yang drop bak jatuh terjun bebas dari ketinggian yang sangat.
Frenky dan Mamanya senantiasa menjenguk Melan di rumah sakit. Mamanya pun, sudah tampak sakit-sakitan, sehingga Ibu Astuti tidak bisa setiap saat mengunjungi Melan. Frenky dengan kasih sayang kepada Adiknya, berusaha tabah dan pasrah menerima takdir. Dia merawat Adiknya penuh kasih sayang. Tiap hari, dia menjenguk Melan dan berusaha membagi waktu kerjanya dengan meminta izin kepada atasan di perusahaannya bekerja.
Tiga bulan berselang, Melan kembali ke rumah. Dirinya sudah mulai tenang dan siap menerima kenyataan hidup yang harus dialaminya.
“Ma …, Kak …., maafkan anakmu dan adikmu ini, sungguh aku telah membuat Mama dan Kakak sedih ….” lirih dan bergetar suara Melan mengatakan kepada Mama dan Kakaknya.
“Sabar dan kuatkan hatimu, nak! semua ini sudah kehendak takdir Yang Maha Kuasa, kamu harus ikhlas dan tabah menerimanya!” pinta Ibu Astuti kepada Melan.
“Badai ini tak selamanya, mari kita songsong hari esok dengan penuh keyakinan dan pengharapan yang baik kepada Tuhan Yang Maha Kuasa! kasih sayang-Nya senantiasa menyertai kepada hamba-hamba-Nya yang bertawakal dan sabar ketika menerima cobaan!” Menenangkan penuh motivasi Ibu Astuti kepada anaknya.
“Ya, Ma…, terima kasih Mama telah menemani Melan pada titik nol sebagai manusia.” sahut Melan kepada Mamanya.
Sejak saat itu, Melan pun dikatakan oleh Dokter telah sembuh. Mentalnya sudah menguat kembali. Melan menjalani aktifitas kehidupannya dengan menata dari awal dan berusaha melupakan kejadian pilu masa lalunya. Dia menyibukkan diri dengan bekerja sebagai perias dan tata rambut di rumahnya. Keterampilan tersebut dia dapatkan ketika saat bersekolah.
Sampai jumpa di cerita yang berbeda.
Salam perkuat karakter dan literasi.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren cerpennya pak. Sehat, bahagia, dan sukses selalu pak Seno.
Wow, cerita yang menyentuh hati. Sukses selalu dan barakallahu fiik
Semoga demikian harapannya Bu, terima kasih sudah mampir di post saya dan tanggapannya menjadi hal pembangun. Salam hormat saya kepada Ibu.
Terima kasih Bunda atas tanggapannya, semoga Bunda sehat, bahagia, dan sukses selalu. Salam hormat saya kepada Bunda.
Aamiin, Bang Dul, inilah salah satu cara sapa saya kepada teman sejawat. Salam hormat saya kepada Bang Dul...
Bisa jadi novel nih pak
Mantaaap pak Seno, semoga tambah sukses lagi.