septyana eka rahmawati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
BERKENALAN DENGAN KECERDIKAN VIRUS RABIES

BERKENALAN DENGAN KECERDIKAN VIRUS RABIES

Selama beberapa dekade terakhir, telah terjadi kemajuan luar biasa dalam memberantas anjing rabies di Amerika Latin. Komponen utama progam pencegahan rabies di Ameri Latin yang mengarah pada keberhasilan ini adalah pengawasan yang konstan dan intensif tanpa gangguan untuk anjing gila dan kampanye vaksinasi massal tahunan. Namun langkah – langkah penting untuk mengendalikan COVID-19 di Amerika Latin memiliki dampak negative yaitu penurunan cakupan vaksinasi anjing serta penurunan pengawasan yang mengakibatkan peningkatan tajam rabies pada anjing sehingga beresiko tinggi pula pada manusia (Raynor et al, 2020).

Di Indonesia, rabies juga menjadi penyakit prioritas pemerintah Indonesia karena 24 dari 34 provinsi di Indonesia merupakan wilayah endemic rabies, termasuk provinsi Sumatra Barat, Jawa Barat dan Bali ( Putri dan agus, 2020; Suardana et al, 2019; Hidayati et al, 2019). Tidak menutup kemungkinan yang adanya COVID-19 melonggarkan pengendalian terhadap rabies seperti yang terjadi di Amerika Latin. Oleh kaena itu penting untuk mengkaji infeksi ini mengingat, infeksi rabies merupakan salah satu penyakit ensefalitis zoonosis yang fatal dan disebabkan oleh virus neutropik pada genus Lyssavirus ,family Rhabdovirisae. Virus rabies unik karena bereplikasi di system saraf dan melepaskan dari air liur inangnya dirangsang untuk menggigit (Therizadeh et al, 2019).

Berikut beberapa kecerdikan dan keunikan virus rabies :

1. Virus menular melalui saliva atau air ludah

Hewan yang terinfeksi membawa virus di dalam air liur dan pada proses akhir dari penyakit ini, hewan tersebut akan menularkan virus sensitive lainnya ke hewan atau manusia melalui metode gigitan atau melalui kontak selaput lendir. Pada saat kontak dengan saliva ini, virus neutropik bereplikasi di jaringan otot dan jaringan perifer, sehingga virus tersebar di sepanjang saraf perifer dan medula spinalis menuju ke otak, kemudian terjadi diseminasi dalam SSP dan virus menyebar secara sentrifugal dari SSP menuju ke berbagai organ, termasuk kelenjar ludah (Therizadeh et al, 2019; WHO 2017; Imelda dan Anak, 2015).

2. Virus berproliferasi di otak tetapi dieksresikan dalam rongga mulut

Boonsriroj et al (2015) mengkonfirmasi jalur yang dilalui dimana virus rabies turun di sepanjang saraf wajah kemudian proliferasi di otak untuk mencapai neuron ganglion mandibular. Kemudian bergerak ke asinar epitel dan kelenjar ludah myopithelium. Proliferasi virus dan sitotosisitas tidak terjadi di duktus system tetapi sekresi yang mengandung virus rabies secara efisien dieksresikan ke dalam rongga mulut.

3. Respon imun yang tidak mampu me;awan virus akan menjadikan sel terinfeksi

Selama berlangsungnya pertentangan antara virus menghadapi system imun, secara terus menerus virus akan mendorong perubahan antigen permukaan sel yang terinfeksi. Sedang antigen permukaan tersebut lebih mempunyai arti penting terhadap system imun kalau dibandingkan terhadap antigen yang terdapat dalam virusnya sendiri. Respon imun terhadap virus dapat menyebabkan kerusakan sel inang melalui pembentukan imun kompleks (senyawa antigen virus dengan antibodi) pada permukaan sel, atau secara langsung terjadi kerusakan sel pada sel yang terinfeksi (Subowo, 2013).

4. Memiliki tiga reseptor virus yang meiliki tugas strategis

Reseptor virus rabies memiliki peran dalam fungsi sel normal dan reseptor ini yang dirusak oleh virus untuk dapat masuk ke sel. Ada tiga reseptor virus rabies, yaitu reseptor NAChR yang merupakan reseptor virus rabies pertama yang diidentifi kasi dan dianggap penting untuk mendapat akses ke SSP sepanjang saraf perifer bagi penyebaran virus dari NMJ di perifer, reseptor NCAM yang merupakan glikoprotein sel adhesi dari superfamili imunoglobulin pada permukaan sel, dan reseptor NTR P75 yang dapat terlibat dalam jalur sensorik virus rabies (Imelda dan Anak, 2015)

5. Memiliki strategi menghindari system kekbalan tubuh

Virus Rabies (RABV) sangat neutropik dan menggunakan strategi untuk menghindari system kekebalan tubuh. DC (Dendritic cell) memungkinkan RABV lolos dari sitem pengwasan kekebalan tubuh dan menfasilitasi penularan virus ke sel saraf. Setelah penyerapan CVS (challenge virus standard) patogenik, DC yang belum matang tidak memproses antigen virus dengan benar seperti yang ditunjukkan dengan kurangnya expresi MHC I dan II. DC dapat mengirimkan RABV ke sel saraf oleh sel ke sel dan gudang cahaya baru pada strategi penghindaran kekebalan yang digunakan oleh virus mematikan ini. Selain itu berkurangnya ekspresi MHC I berakibat terhindarnya pembunuhan sel terinfeksi virus oleh sel TCD8+, tetapi berubah sasaran sel-sel NK (NKC) (Senba et al, 2013; Subowo, 2013).

6. Virus mampu secara khusus menghambat aktivasi IRF3, IRF7 dan IFN-β

RABV mampu secara khusus menghambat aktivasi IRF3, IRF7 dan IFN-β selain mengganggu jalur pesinyalan terkait IFN lainnya dan stuktur nuclear body PML. Protein RABV P mampu menghambat dimerisasi IRF3 dan respon imun bawaan dan adaptif berikutnya. Melalui interaksi langsung dengan IRF3 menghasilkan berkurangnya respon host terhadap infeksi. Penghambatan fosforilasi IRF3 terbukti efektif dalam cara bergantung pada dosis, dimana strain SAD yang dimodifikasi mengekspresikan jumlah P yang rendah sehingga tidak dapat mencegah produksi IFN-β , berbeda dengan strain tipe liar yang menghapus ekspresi IFN-β (Scott dan Louis, 2016). Barkhouse et al (2015) dalam percobaan model hewan sebelumnya telah menunjukkan korelasi antara expresi interferon gamma (IFN-γ) dan kelangsungan hidup dari infeksi dengan virus rabies yang dilemahkan (RABV) dan pegurangan sisa gejala neurologis. Selain itu penelitian berikutnya menunjukkan produksi IFN-γ memiliki efek antivirus pada rabies, sebagian besar disebabkan oleh induksi interferon tipe I.

7. Virus Rabies menyebabkan kematian sel karena apoptosis atau nekrosis

Virus neutropik ini juga menyebabkan kematian sel karena apoptosis atau nekrosis. Apoptosis adalah mekanisme pertahanan utama melawan sel yang terinfeksi serta dapat mencegah virus menyebar. Apoptosis sel yang terinfeksi virus diarahkan oleh sel T sitotoksij dan sitokin seperti TNFα, perforin, granzim dan reaksi Fas-FasL (Fas Ligand). Namun apoptosis berfungsi segaia imunstrategi yaitu RABV menghambat apoptosis (Taherizadeh et al, 2019).

Model yang menunjukkan pergerakan antigen virus rabies dari system saraf pusat ke jaringan limfoid dan kemudian efektor kekebalan (kemokin, antibodi dan sel plasma) kembali ke system saraf pusat. Inset 1 menunjukkan bagian otak yang terinfeksi RABV yang diwarnai antibodi antinukleoprotein. Pewarnaan coklat menunjukkan akumulasi nukeloprotein di dalam sel saraf. Inset 2 menunjukkan bagian limpa murine yang diwarnai anti CD3 untuk sel T (pewarnaan biru) dan anti IgD untuk sel B naïf (pewarnaan coklat). Lokasi GC (Germinal cnterl) ditunjukkan. Tanda panah menunjukkan pergerakan antigen ke jaringan limfoid dan efektor kekebalan kembali ke CNS. Rute yg pasti , dalam konteks ini belum pasti. Surat menandakan area untuk penelitian mada depan. J : Identifikasi terapeutik yang membatasi replikasi dan penyebaran RABV antar neuron. Secara kritis,strategi antivirus seperti itu harus bekerja di dalam SSP dan tanpa toksisitas. B : diselidiki mekanisme dimana antigen RABV mencapai antigen yang mempresentasikan sel baik secara in situ atau melalui keluar dari SSP. Terapi yang mempercepat proses ini harus membantu perkembangan respon imun terhadap infeksi. C : pengembangan metode yang meningkatkan akses antivirus dan efektor kekebalan (sitokin, antibodi dan sel) ke dalam SSP (Johnson dan adam, 2015).

Sumber refernsi

· Taherizadeh Mahsa, Rouzbeh Bashar, Mahsa Golahdouz, Behzad Pourhossein and Maryam Fazeli. 2019. Rabies wonderful Strategies to Escape the Immune System. Research Article. Volume 11 Nomor 1. Hal. 1-4.

· Barkhouse Darryll A., Samantha A. Garcia, Emily K. Bongiorno, Aurore Lebrun, Milosz Faber,, D. Craig Hooper. 2015. Expression of Interferon Gamma by a Recombinant Rabies Virus Strongly Attenuates the Pathogenicity of the Virus via Induction of Type I Interferon. Journal of Virology. Volume 89 nomor 1. Hal 312-323.

· Scott Terence P. and Louis H. Ne. 2016. Subversion of the Immune Response by Rabies Virus. Viruses. Volume 8. Hal. 231-247.

· Senba Kazuyo, Takashi Matsumot, Kentaro Yamada, Seiji Shiota, Hidekatsu Iha, Yukari Date, Motoaki Ohtsub and Akira Nishizono. 2013. Passive carriage of rabies virus by dendritic cells. SpringerPlus. Volume 2. Hal 419-432.

· Subowo. 2013. Imunologi Klinik Edisi 3. Jakarta . Sagung Seto. Hal. 305-313.

· Imelda Yuliana Monika dan Anak A. Raka Sudewi. 2015. Patogenesis Rabies – Aspek Neurotransmiter. CDK-225/ vol. 42 no. 2. Hal 87-93.

· Boonsriroj Hassadin, Daria Llenaresas Manalo, Kazunori Kimitsuki, Taichi Shimatsu, Nozomi Shiwa, Harumi Shinozaki, Yurika Takahashi1), Naoto Tanaka, Satoshi Inoue And Chun-Ho Park. 2015. A pathological study of the salivary glands of rabid dogs in the Philippines. J. Vet. Med. Sci. Volume 78 Nomor1. Hal. 35–42

· Hidayati Fitri,Etih Sudarnika, Hadri Latif, Denny Widaya Lukman, Yusuf Ridwan, Abdul Zahid, Ardilasunu Wicaksono. 2019. Intervensi Penyuluhan Dengan Metode Ceramah Dan Buzz Untuk Peningkatkan Pengetahuan Dan Sikap Kader Posyandu Dalam Pengendalian Rabies Di Kabupaten Sukabumi. Jurnal Penyuluhan. Vol. 15 No. 1.

· Suardana Ida Bagus Kade, Ida Bagus Oka Winaya, Desak Wiga Puspita Dewi, I Nengah Sudarmayasa, Kadek Karang Agustina. 2019. Respons Imun Protektif Pada Anjing pascavaksinasi Rabies Di Desa Buduk, Mengwi, Badung, Bali). Jurnal Veteriner. Voume 20 Nomor 2. Halaman 264-268.

· Putri Shila Rahmafia dan Agus Setiyono. 2020. Pengendalian Penyakit Rabies melalui Media Komunikasi, Informasi, dan Edukasi kepada Masyarakat di Kota Padang. Jurnal Pusat Inovasi Masyarakat. Volume 2 nomor 2. Hal. 182–186.

· Raynor, B., Díaz, E. W., Shinnick, J., Zegarra, E., Monroy, Y., Mena, C., & Castillo-Neyra,R..2020. The impact of the COVID-19 pandemic on rabies reemergence in Latin America: the case of Arequipa, Peru. MedRxiv : The Preprint Server for Health Sciences. Volume 2. Hal 1 – 16.

· Johnson Nicholas dan Adam F Cunningham. 2015. Interplay between rabies virus and the mammalian immune system. World J Clin Infect Dis Volume 5 Nomor 4. Hal. 67-76.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan yang inspiratif dan bermanfaat bu. Sehat dan sukses selalu

24 Feb
Balas

Inggih terimakasih mohon saran dan kritik nya nggih pak

24 Feb

Komplit bu.komprehensif sekali tulisannya. Bravo dokter hewan Indonesia. Salam literasi

25 Feb
Balas

Nggih terimakasih dok. Salam literasi dan sehat selalu

25 Feb



search

New Post