Setiawan Hidayat

Guru Produktif Teknik Kendaraan Ringan (TKR) SMK Negeri 1 Gunungguruh Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Sehari-hari saya aktif mengajar dan berkebun di halaman rum...

Selengkapnya
Navigasi Web

Sedikit Catatan untuk Permendikbud No. 30 Tahun 2021

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) telah disahkan dan ditandatangani oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim pada tanggal 31 Agustus 2021. Hal ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melindungi civitas akademika dari fenomena kekerasan seksual yang marak terjadi khususnya dilingkungan kampus.

"Kita ini dalam fenomena gunung es, yang kalau tinggal kita garuk-garuk sedikit saja fenomena kekerasan seksual ini sudah di semua kampus sudah ada situasi ini. Dan itulah alasannya kita harus mengambil posisi sebagai pemerintah untuk melindungi mahasiswa-mahasiswa, dosen, dan pendidik kita dari kekerasan seksual," ujar Mas Nadiem (detik.com, 12/11/21).

Namun, benarkah dengan terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 menjadi solusi atas permasalahan kekerasan seksual saat ini? Nyatanya, kebijakan ini banyak menuai pro kontra dari seluruh elemen masyarakat tak terkecuali elit politik termasuk pejabat publik.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyambut baik aturan ini, beliau menyampaikan bahwa "Permen PPKS ini tentunya menguatkan upaya kami untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak-anak Indonesia sekaligus menjadi regulasi yang tepat untuk mencegah, menangani, dan mengurangi risiko berulangnya kekerasan seksual di kampus sembari terus memperjuangkan pengesahan regulasi dan sistem hukum penanganan sosial yang lebih komprehensif", (detik.com, 12/11/21).

Berbeda halnya dengan Ketua MUI Cholil Nafis yang menolak permen tersebut karena pasalnya bermasalah. Beliau menyampaikan bahwa "Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 pasal 5 ayat 2 tentang kekerasan seksual memang bermasalah karena tolok ukurnya persetujuan (consent) korban," (mediablora.com, 12/11/21).

Beberapa pernyataan diatas hanya contoh dari kontroversi permen ini. Masih banyak pendapat dan gagasan-gagasan lain yang pro-kontro mengenai hal ini. Namun, terlepas dari itu semuanya memang ada beberapa hal yang semestinya menjadi kajian bersama sebelum permen tersebut disahkan dan diterbitkan.

Sebagaimana tertulis dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Pasal 5 ayat 2 huruf i, Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban. Pada ayat tersebut sangat jelas ada frasa "tanpa persetujuan korban". Nah, pertanyaannya bagaimana kalau dengan persetujuan korban? Berarti jadi boleh ya. Betul tidak? Kan ini berlaku kebalikan.

Jika melihat kembali pada konsideran (acuan) "mengingat" pada permen ini, kita akan temukan poin 2 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita dan poin 3 yakni Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka permen ini memiliki basis filosofis yang sangat cacat. Mengapa? Karena jelas acuannya di poin 2 itu tentang kesetaraan gender dan poin 3 tentang HAM. Jadi, adanya frasa "consent" (persetujuan) pada permen tersebut adalah sebuah keharusan agar tidak bertentangan dengan 2 UU diatas, sehingga dikatakan kekerasan seksual jika tidak ada persetujuan dari korban, siapa? Pemilik tubuh, karena dalam HAM manusia dianggap memiliki kedaulatan terhadap tubuhnya sendiri. Jadi jelas jika ada persetujuan dari pemilik tubuh maka hal tersebut tidak bertentangan dengan kedua UU tersebut dan boleh dilakukan.

Ini jelas sangat mengerikan sekali. Bagaimana jika nanti ada dosen mengingatkan mahasiswanya agar tidak melakukan kekerasan seksual, tetapi ditentang oleh mahasiswanya karena dosen dianggap melarang mahasiswanya mengeksplorasi tubuhnya dan dosen tersebut telah menciderai hak mahasiswanya sebagai pemilik tubuh. Nah, jadi dalam permen tersebut, disebutkan termasuk kekerasan seksual jika tidak ada persetujuan korban. Kalau ada persetujuan maka tidak termasuk dalam kekerasan seksual. Dasarnya apa? Ya dua UU diatas. Ngeri sekali bukan?

Selanjutnya, ada pertanyaan yang justru ini sangat penting dan mendesak. Poin 4 pada konsideran "mengingat" yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada UU Sisidiknas tersebut siapapun pasti tahu terlebih para pendidik, bahwa tujuan diadakannya pendidikan adalah menjadikan peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini merupakan karakter yang ingin dibentuk oleh sistem pendidikan di negeri ini. Lalu bagaimana jika dikaitkan dengan permen ini? Mau dibawa kemana pendidikan kita dengan adanya permen ini? Karakter apa yang hendak dibangun melalui terbitnya permen ini? Mungkinkah karakter peserta didik yang beriman dan bertakwa bisa diraih dengan permen yang berpotensi melegalkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada seksualitas? Silahkan dipikirkan.

Dengan demikian, jelas sudah bahwa Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) ini cacat isinya bahkan sejak disusunnya seperti tergesa-gesa dan tidak mau melibatkan banya pihak alias senyap. Ingatlah bahwa Allah SWT telah mengharamkan segala tindakan yang berkaitan dengan aktivitas membuka aurat termasuk yang mengarah pada aktivitas seksual.

"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk". (TQS. Al-Isra' Ayat 32)

Mendekatinya saja tidak boleh apalagi melakukannya. Seharusnya aturan yang dibuat itu melibatkan banyak pihak khususnya kalangan ulama, cendikiawan, dan kaum intelektual. Jangan "riweuh" sorangan bari jeung teu bener.

Sampaikan saran kritik dan masukan di kolom komentar. Terimakasih sudah membaca.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post