Shilakhul Muzaddin

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
BU GENDONG BAGUS OKA

BU GENDONG BAGUS OKA

Ibu Gedong Bagoes Oka Pengalaman sangat berharga bagi saya dilibatkan dalam penulisan tokoh-tokoh bangsa yang mengembangkan gagasan dan mengupayakan berbagai usaha untuk perdamaian. Saya menyadari memiliki banyak keterbatasan, tetapi mendokumentasikan gagasan para tokoh, apalagi tokoh perempuan, menurut saya pekerjaan yang sangat berharga bagi generasi yang akan datang. Ini bukan semata tentang seseorang, melainkan bagaimana kehidupan bersama pada suatu masa hendak dikelola oleh seorang tokoh melalui gagasan yang dikembangkan dalam pergumulan dengan konteks jaman, tentang bagaimana pergumulan gagasan tersebut melahirlkan gerakan untuk menjawab persoalan bersama dan tentang bagaimana nilai-nilai dihidupi untuk menghadapi setiap kendala. Semua ini adalah pelajaran hidup konkret. Saya mendapat bagian menulis tentang Ibu Gedong Bagoes Oka, tokoh pembaharuan spiritulai yang mengembangkan gagasan dan gerakan perdamaian dengan dasar-dasar pemikiran holistik dan direalisasikan antara lain melalui pendidikan, konservasi lingkungan hidup dan dialog antaragama. Keterbatasan saya yang paling jelas adalah penguasaan ajaran Veda-Vedanta, karena saya hanya mendapatkan sedikit pengantar pada masa kuliah di fakultas Ushuludin di mata kuliah Sejarah Agama-agama, bacaan terkait spiritulitas Hindu khususnya yang ada di nusantrara, ketika menjadi penyelaras bahasa penulisan buku-buku terkait ajaran-ajaran agama atau dalam pergaulan dengan beberapa sahabat. Dalam keterbatasan ini saya berharap akan ada pendokumentasian lebih lanjut. Selebihnya, saya membaca surat al fatihah, mengaktifkan daya untuk memahami, berharap dimudahkan mendapatkan hikmah kebijaksanaan dan merangkai kembali kalimat-kalimat yang saya temukan dari pemahaman. Pengalaman batin yang terasa hangat adalah, saya ‘tidak merasa berada di rumah orang lain’. Bagian kecil dari gagasan Ibu Gedong yang ingin saya bagi di sini, bahwa menguapayakan perdamaian tidak cukup dari segi pengelolaan perbedaan kelompok agama, etnis, sosial-ekonomi, gender atau golongan-golongan. Membangun perdamaian dan mencegah konflik, perlu dimulai dari cara pandang bahwa segala yanga ada dalam hidup memiliki keterkaitan dan saling menjadi bagian satu sama lain. ‘Kamu/ mereka yang berbeda, adalah aku/ kami dalam wujud yang lain’, inilah kesetaraan fundamental yang memungkinkan ‘mencintai semua yang ada di bumi, maka yang di langit pun akan mencintaimu/ kita’. Inilah filosofi tat twam asi yang menjadi perspektif dalam memahami berbagai persoalan hidup, mendasari kesetaraan dan solidaritas semesta Dalam konteks kekinian, ajaran-ajaran ekstrim yang menghalangi toleransi yang berkembang dalam berbagai kelompok masyarakat tidak dapat hanya diselesaikan dengan moderasi ajaran agama, peningkatan ekonomi rumah tangga,.. tetapi juga harus diperhatikan bagaimana situasi hulu yang dapat menghadirkan kesenjangan global, kerusakan lingkungan hidup, perasaan kesepian dan terasing akibat penggunaan teknologi komunikasi yang masif dan berbagai macam diskriminasi. Oleh karena itu Ibu Gedong memiliki kritik atas ilmu pengetahuan modern yang reduktif dan segregatif, melakukan perlawan atas gaya hidup konsumtif maupun ketidakadilan global dampak feodalisme dan kolonialisme, dengan tanpa kekerasan, yaitu dengan gaya hidup bersahaja. Inilah mengapa Gus Dur pernah menyampaikan rasa hormatnya pada Ibu Gedong, kepada Th. Sumartana, 'Satu hal yang belum saya sampai adalah kebersahajaannya'. Mereka yang memilih hidup dengan zuhud, ugahari, bersahaja adalah mereka yang telah selesai dengan dirinya sendiri, telah mampu merdeka dari kemelekatan. Dalam hal ini seven sosial sins, tujuh dosa sosial dari Mahatma Gandhi (kekayaan yang diperoleh tanpa bekerja, kenikmatan tanpa kesadaran dan hati nuarani, pendidikan tanpa karakter, perdagangan yang tidak menggunakan moralitas, pengembangan ilmu pengetahun tanpa nilai-nilai kemanuisaan, beragama tanpa kesedian berkorban dan berpolitik tanpa prinsip), menjadi rambu-rambu agar dalam memilih cara hidup tetap selaras dengan filosofi tat twam asi. Dasar pemikiran ini juga yang menggerakkan usaha-usaha pendidikan melalui asham, dengan berbagai metode pendidikan, antara lain dengana penanaman nilai-nilai Ahimsa (emoh kekerasan), Satya (berprinsip pada kebenaran), Asteya ( tidak mencuri atau mengambil keuntungan yang bukan haknya, atau mendapatkan kekeyaan tanpa bekerja) Brahmacharya (menjaga kesucian lahir maupun batin), Asangraha ( tidak melekat) , Sharira shrama (ringan hati untuk melakuka kerja tangan), Satvardharma samanatva ( menghormati agama lain), Sparsha bhavana (rendah hati), Swadesi ( kemandirian), Sarvatra bhayavarjana (terbebas dari rasa takut). Bagaimana dengan membangun perdamaian melalui dialog antaragama, pandangan ekonomi dan lingkungan hidup? Dasar-dasar pemikiran seperti apa sebagai turunan dari filosofi tat twam asih? Selebihnya mari, untuk yang berminat dan ada waktu hadir dalam diskusi nanti malam. Terimakasih untuk anda yang berkenan memberi kritik dan masukan 144144 31 Komentar 8 Kali dibagikan Suka Komentari Bagikan
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post