Sehidup Sematematika
4 tahun berkutat dengan materi matematika, aku rasa cukup sebagai bekal ku mengajar. Sekarang aku menjadi guru matematika di sebuah sekolah dasar swasta. Sekaligus menjadi wali kelas anak-anak gadis yang sedang beralih menjadi seorang dewasa.
Terasa sekali perbedaan ketika saya sekolah dulu, persis seusia anak-anak saya ini. Seingat saya dulu membuat perencanaan diakhir sebelum pengumuman kelulusan. Saya kuliah di mana, jurusan apa, abis kuliah kerja di mana. Siswa saya sekarang sudah lihai membuat rencana-rencana 10 tahun ke depan dalam bentuk mind mapping. Begitu cepat rasanya waktu berlalu, alias terasa semakin tua.
Mereka menentukan cita-citanya, memetakan usaha-usaha yang akan ditempuh. Membayangkan kira-kira nanti kesulitan di mana, lengkap dengan bagaimana mengatasinya.
Menarik membaca mind mapping mereka satu persatu, membayangkan nanti akan bertemu dengan mereka 10 tahun ke depan. Mulai dari profesi dokter, pilot, polisi, tentara, sampai menjadi seorang animator.
Dalam hati aku bertanya, mengapa mereka tidak ada yang ingin jadi guru seperti ku. Cepat-cepat ku sudahi membaca, karena jadwal mengajar ku segera di mulai.
Hari itu saya coba berdiskusi ringan dengan mereka, sambil menunggu mereka dijemput orangtua. Tia memulai pembicaraan dengan memastikan kepada ku bahwa cita-citanya bebas dari matematika. Tia memang kurang bersahabat dengan Matematika. Aku melebarkan senyuman sambil menggeleng.
"Sudah ketemu pekerjaan apa yang nggak ada matematikanya?" tanyaku merespon pernyataannya. Dia menggeleng, mungkin karena memang belum menemuka jawabannya. "Desainer kan butuh skill menggambar dan imajinasi Bu, gak ketemu sama rumus luas segitiga, rumus kecepatan, volume." Timpalnya sedikit kesal.
Buru-buru Aku buka google, menunjukkan kepada Tia apa saja skill yang dibutuhkan sebagai seorang Animator. Tia makin kesal setelah itu, dia pun berlalu setelah berpamitan denganku. "Tia... Mau kemana... Belum selesai..." Panggil ku, tapi Tia berlalu karena mungkin tidak puas dengan apa yang sudah dilihatnya.
Esok nya aku berkesempatan membahas cita-cita mereka disela pembelajaran. Ku mulai dengan menuliskan cita-cita mereka satu persatu di papan tulis, dengan judul besar "Matematika dan Cita-Cita".
Seperti yang kuduga mereka bereaksi, ada yang protes, ada yang bertanya apa hubungannya, ku biarkan sejenak mereka berkomentar. "Baik, anak-anak hari ini Ibu akan sampaikan seberapa dekatnya hubungan kita dengan matematika." Sambungku mengakhiri celotehan anak-anak ku.
"Matematika itu ada di mana-mana, mau jadi apa saja anak-anak nanti matematika pasti akan selalu ada, walaupun mungkin tidak sebanyak yang sudah anak-anak dapatkan di sekolah." Penjelasan menimbulkan pertanyaan yang sama dari anak-anak, "masa sih?"
"Yuk kita cek sama sama, biar jelas dan tidak ada lagi yang berusaha menghindar dari matematika ya..." Ku nyalakan laptop dan ku arahkan infokus ke papan tulis yang bersih dari tulisan. Gambar pertama yang muncul pada slide adalah profesi yang digemari hampir separuh anak-anak di kelas ku, yaitu Dokter. Anak anak yang bercita-cita menjadi dokter protes dan setuju pelajaran penting menjadi seorang dokter adalah IPA.
Slide berikutnya muncul, tertera di situ bahwa syarat untuk seseorang yang akan tes masuk fakultas kedokteran adalah memiliki nalar dan logika yang sistematis. Beberapa terdiam dan lainnya bertanya apa maksudnya.
"Menjadi seorang dokter itu nggak segampang yang kita lihat di sinetron atau di film kebanyakan, pasien datang, konsultasi, periksa, tulis resep, selesai. Ada hal penting yang tidak terlihat oleh kita, bagaimana Dokter memutuskan pasien A sakitnya apa, menular atau tidak, membahayakan nyawa atau tidak, sebab kalau salah menulis diagnosa, kira-kira apa yang terjadi? Nah itulah gunanya belajar nalar dan logika, dan anak anak tahu? nalar dan logika itu ada di dalam matematika." Penjelasan ku cukup membuat kelompok calon dokter itu terpana, entah apa yang mereka pikirkan.
"Oh iya, sebelum lanjut setelah penjelasan selesai, anak-anak jangan buru-buru mengganti cita-citanya dengan yang lain ya. Jadikan ini sebagai pandangan anak-anak seperti apa matematika yang akan di butuhkan dalam mewujudkannya." Tegas ku sebelum melanjutkan slide berikutnya.
Setelah para calon dokter mulai berdamai dan menerima penjelasan ku, aku pun melanjutkan slide ke-dua. Gambar itu berisi 2 profesi berbeda yaitu polisi dan pilot. Belum aku mulai menjelaskan, Seorang anak berkata "Saya tau Bu, pasti mereka ini juga harus bisa matematika" disambut dengan ekspresi heran anak-anak di kelas.
"Betul betul betul, pekerjaan mereka cukup berat. Polisi tak bisa sembarangan menangkap orang, harus tetap tenang dan menggunakan logikanya dalam menyelesaikan banyak kasus. Pilot juga begitu, dia harus mampu memperkirakan, kapan waktunya menambah kecepatan pesawat, agar penumpang selamat sampai tujuan."
Lagi-lagi ku temui wajah heran anak anak usai penjelasan ku, mungkin mereka kira aku hanya mencocok-cocokkan saja. Agar terlihat berbeda ku ganti ke slide berikutnya. Gambar seorang arsitektur, desainer, dan animator. Tia mulai gelisah, karena cita-citanya akan dikupas.
"Kalau ada yang pilih salah satu diantara profesi ini, sekilas yang terlihat adalah kemampuan menggambar. Kita cek arsitektur. Berapa banyak gedung megah, tinggi sampai tak terlihat ujungnya dari bawah, berapa banyak bangunan asimetris yang kokoh namun tetap indah, berapa banyak jembatan layang, patung besar, tugu. Itu semua butuh Skill gambar. Seandainya seorang arsitektur nggak mendalami konsep bangun ruang, atau dimensi tiga, wah susah tu bakal jadi bangunan yang indah. Oh iya di pelajaran menggambar juga pasti harus bisa bangun ruang juga kan ya, Matematika..." Wajah para arsitek itu sepertinya sedikit kecewa.
"Oke next desainer dan animator, wah ini yang pinter banget bikin baju kekinian, bikin desain web menarik atau desain interior, anak anak perlu keahlian seperti mengukur, menghitung, membuat rasio, agar nantinya karya anak-anak bagus dan sempurna. See? Who you are, you need math skill" ujar ku kepada mereka.
"Bu... Susah kayaknya cita-cita itu, saya tukar aja Bu, saya mau jaga toko kelontong punya ayah saya aja Bu." Ujar Shaski dari belakang. Sambil tersenyum ku hampiri Shaski, segera ku usap kepalanya, sambil berkata "Ini ni yang perlu di tiru, anak anak tau justru jadi pedagang itu skill hitung-hitungnya sudah tingkat tinggi. Pernah lihat video pedagang viral tempo hari? Yang menghitung belanjaan tanpa kalkulator, dan dengan bahasa inggris lagi... Keren gak tuh... Nah pedagang tu harus sudah keren berhitungnya. Kaya Shaski ini... Ngitung berapa barang yang sudah terjual, yang akan datang bisa diselesaikan Shaski tanpa kalkulator" Shaski geleng-geleng mendengar penjelasan ku, bersamaan dengan tepuk tangan dari teman-temannya.
Memang tidak semua yang tidak bersahabat dengan matematika. Ada juga yang terlihat bahagia, karena merasa senang matematika itu dibutuhkan. Merasa bahwa seharusnya matematika tidak ditakuti lagi.
"Masih butuh bukti lagi gak kalau matematika itu dekeeet banget sama kita. Apa yang pertama kali nanti kita lewati di Padang Mahsyar? Iya.. yaumul hisab... Perhitungan seberapa banyak amal baik dan yang tidak baik, yang kita perbuat selama di dunia. Itu matematika kan ya, dan yang kita lakukan dari bangun tidur sampai kita tidur lagi, itu seharusnya mengumpulkan kebaikan-kebaikan, pemberat timbangan kita. Matematika nya Allah itu gak sama seperti matematikanya kita, coba deh kalau kita baca Al-Qur'an berapa pahala yang kita dapat? 1 huruf Alif saja bernilai 10 pahala, dan kalau kita baca satu baris, setengah halaman, satu surat, 1 juz total berapa dong? Masya Allah... Dan pasti banyak lagi matematika dalam Al-Qur'an, tinggal kita mau mencarinya atau tidak " Seketika kelas yang semula heboh, jadi sunyi dan khidmat.
Ku tutup sesi hari ini dengan berkata, "Semoga Allah jadikan anak-anak kesayangan ibu insan pembelajar, yang siap mencari sebanyak-banyaknya ilmu yang Allah bentangkan di dunia ini.
Tidak ada satupun ilmu yang tidak bermanfaat. Saat ini boleh jadi ilmu yang anak-anak dapatkan tidak terasa gunanya, percayalah suatu hari nanti anak-anak akan beruntung, karena pernah mendapatkannya di sini. Wallahu'alam bi shawwab..."
Apa yang aku harapkan dari statement ku hari ini? Mereka berubah jadi pro matematika? Tentu tidak semudah itu, paling tidak aku sudah memberi pandangan berbeda kepada anak-anak. Urusan seberapa besar dampaknya bagi mereka, biar waktu yang menjawab.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar