sholikul Hardy Girinatakusumadihard

sholihul Hardi gurunatakusuma_ tukang pijat alternatif dan spiritual hubungi 082325958964...

Selengkapnya
Navigasi Web
mengenal diri sendiri

mengenal diri sendiri

Mengenali Diri, Menghargai Kebinekaan Keragaman manusia Indonesia sesungguhnya nyata. Negeri ini memiliki 483 etnik dan 719 bahasa. Setiap etnik kemudian membangun identitas berbeda. Keberagaman agama dan keyakinan menambah warna. Hingga kini, masih banyak orang menggunakan keberagaman ini sebagai penyekat. Lahirlah sederet tragedi kemanusiaan, sebagaimana terjadi dalam dua dekade terakhir. Riset Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016 juga menunjukkan, benih- benih intoleransi masih bisa ditemui di sekolah. Riset ini menemukan, dalam memilih ketua OSIS atau bahkan berteman, masih didasarkan pada kesamaan agama dan etnis. Jelas bahwa negeri ini belum selesai dengan persoalan keberagaman. Padahal, di balik keberagaman identitas ini ternyata terdapat irisan dan pembauran di masa lalu. Narasi tentang keberagaman, sekaligus pembauran asal-usul manusia Indonesia ini disampaikan oleh Herawati Sudoyo, profesor genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, kepada para guru peserta ”Sekolah Guru Kebhinekaan” yang diadakan oleh Yayasan Cahaya Guru, Sabtu (8/7). Dia memulainya dengan mempertanyakan ke-Jawa-annya sendiri. ”Ibu saya asli orang Pare, Jawa Timur. Namun, haplogrup saya B1. Ini adalah motif genetik orang Khasi yang tinggal di Maghalaya, di India timur laut, dekat Himalaya. Lalu, saya orang apa?” tanya Herawati. Kelas itu diadakan di Museum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diikuti 34 guru sekolah dari Jawa Barat, Banten, dan Jakarta. Herawati menjelaskan komposisi genetik orang Jawa yang lebih dominan unsur Austroasiatik dan Austronesia, selain Sino-Tibet, Hmong-Mien, dan Tai-Kadai. Dia kemudian memaparkan empat gelombang migrasi leluhur manusia Indonesia. Gelombang pertama bermigrasi dari Afrika dan tiba di Papua sekitar 50.000 tahun lalu. Jejak genetik Papua ini ditemui sebagian besar di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, hingga pada orang Bugis dan Bajo. Gelombang kedua terjadi di akhir Zaman Es, 11.000-6.000 tahun lalu. Meski akarnya juga dari Afrika, nenek moyang mereka pernah lama menetap di Asia daratan. Saat inilah diperkirakan masuknya penutur Austroasiatik yang selain ditemukan di Jawa dan Sunda, juga di masyarakat Dayak, Melayu, Batak, Karo, Toraja, dan Manggarai. Gelombang migrasi berikutnya ditandai dengan kedatangan penutur Austronesia dari Taiwan pada 4.000-5.000 tahun lalu. Kelompok ini terutama ditemui di hampir semua etnis di Indonesia, dari timur hingga barat. Migrasi tahap keempat terjadi di era sejarah seiring dengan intensifnya perdagangan antarbenua. Dari jalur barat datang pelaut-pelaut Arab dan India, dan berikutnya Eropa. Sementara dari timur datang pelaut Tiongkok. Setiap gelombang migrasi ini membawa pengetahuan dan juga kebudayaan yang jejaknya masih bisa dilihat hingga kini. Misalnya, rumah honai di Papua dan Timor yang serupa dengan di Afrika. Juga variasi motif dan teknik tenun di Indonesia yang jika dirunut berakar pada tradisi di Asia daratan. Selain ciri khas setiap etnik ini, sebenarnya terdapat beberapa contoh pembauran kebudayaan lintas etnis. Contoh paling mudah, bahasa Austronesia yang dituturkan sebagian besar orang Indonesia saat ini. Contoh lain adalah tradisi mengunyah sirih dan pinang yang ditemui dari Papua hingga Aceh, menjadi salah satu contoh adanya pembauran, atau setidaknya pertemuan kebudayaan, bahkan ternyata juga genetika di masa lalu. Sekalipun sumbangannya bagi genetika manusia Indonesia relatif paling kecil, migrasi keempat sebenarnya yang paling mempertajam perbedaan identitas, terutama dengan dibawanya agama baru. Dari India datang Hindu dan Buddha. Dari Arab datang agama Islam. Dari Eropa datang Kristen dan Katolik. Agama-agama baru ini, dan beberapa variannya, kemudian bertemu dengan kepercayaan lokal yang ribuan tahun telah berkembang di Bumi Nusantara. Kompleksitas manusia di Nusantara semakin rumit, seiring dengan politik pecah belah yang dibangun kolonial Belanda. Konsep pribumi dan pendatang terutama berkembang pada era ini. ”Kalau dari sisi genetik, tidak ada orang Indonesia asli yang berhak mengklaim paling pribumi,” ujar Herawati. Pada dasarnya orang Indonesia berasal dari banyak campuran leluhur, yang asalnya kalau dirunut lebih jauh akarnya dari Afrika juga. ”Bahkan, genetika telah menemukan leluhur semua manusia modern dari Afrika

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post