PLANNING SI BUYUNG
Sepulang mengaji dari musholla yang tak jauh dari rumah, Buyung kelihatan sedih. Kerut di keningnya seolah ingin menyampaikan sesuatu. Tebakanku pasti ingin membeli mainan baru, atau pensil baru, sepatu baru, atau apalah asal membeli.
“Bapak mana, buk?” Tanyanya sambil menggelongsorkan tubuh gempalnya di tikar plastik bergambar upin-ipin.
“Ada di dalam, lagi buat PR,” kataku. Memang bapaknya anak-anak suka mencatat beberapa kegiatan yang telah dan akan dilakukan setiap hari.
“Oooo.” katanya sambil berdiri lalu menarik sebuah kursi plastik warna hijau, meletakkan di depan lemari piring, lalu menaikinya. Tangannya meraba-raba bagian atas lemari, seperti mencari--cari sesuatu.
“Buyung cari apa, Nak?
“Cari korek api, Bu.”
“Untuk apa korek api malam-malam begini?”
“Lilin lebaran tahun lalu kan masih ada, buyung mau main lilin dulu”
“Besok saja nak, ini kan sudah malam, lagi pula PR untuk besok sudah selesai atau belum?”
“Sudah, Buk, mana korek api yang warna merah yang biasanya ada di sini buk, ooo ini ada, udah ketemu.” Katanya lalu turun, mengambil lilin dan mencoba menyalakannya. Sekali dua kali dipetiknya korek api warna merah tersebut tapi belum bisa juga. Diambilnya kembali kursi plastik warna hijau, lalu menaikinya, tangan gempalnya kembali meraba-raba di bagian atas lemari. Kali ini kakinya juga turut berjinjit, tak lama setelah itu dia duduk. Lama kutunggu, lilin yang berserakan di dekat pintu masuk tak jua disentuhnya. Kumenoleh ke belakang, ternyata sii Buyung asyik memandangi sebuah kotak kecil berwarna putih.
Deg, dadaku berdebar agak kencang dari biasanya. Buyung menemukan rokok bapaknya yang sengaja diletakkan di tempat yang agak tinggi, biar gak ketahuan anak-anak kalau masih merokok. Maklum, anak kami yang sulung sangat marah jika tahu bapaknya masih merokok.
“Bu, ini rokok bapak, ya? tanya si buyung penuh selidik.
“Ooo, itu rokok teman kantor bapak yang tadi berkunjung, ketinggalan, jadi disimpan dulu, besok waktu bapak kerja, baru dikasih,” kataku sembari membersihkan sampah yang ada di kolong meja. Berusaha menyembunyikan wajah, biar ggak ketahuan kalau aku berbohong.
“Jadi temannya bapak masih merokok ya, Buk, apa bapak juga masih merokok, Bu?
“Bapak sekarang ndak merokok lagi nak, gak boleh, nanti sakit,” timpal si bapak dari ruang tengah.
Ya iyalah sekarang gak merokok, takut dimarahi anak-anak, tapi kalau lagi di luar rumah kan masih merokok, ujarku dalam hati.
“Katanya merokok gak boleh, kenapa teman bapak masih merokok?” si Buyung berusaha mencari pembenaran.
“Teman bapak itu sudah besar, sudah dewasa, dan sudah berkerja, jadi sudah punya uang sendiri,” kata Bapaknya panjang lebar.
“Bapak kan sudah besar, sudah dewasa, dan sudah berkerja, jadi sudah punya uang sendiri, kenapa tidak merokok?”
“Bapak dilarang merokok oleh atasan bapak, takut nanti kantor terbakar.”
“Bukannya rokok ini kepunyaan teman kantor Bapak?”
“Iya, tapi teman bapak itu lebih sering jadi sopir kepala kantor bapak.”
“Ooo, berarti Buyung besok kalau sudah besar, sudah dewasa, buyung jadi sopir saja ya, Pak, jadi boleh merokok, kan sudah punya penghasilan sendiri,” katanya sambil ngeloyor masuk ke kamar. Tidur.
Si bapak, melongo, kehabisan kata-kata. Dasar si Buyung.
***
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
hahaha... dasar si buyung ,,, smanagat bun...