Singa Bandung

IDENTITAS PENULIS Nama  ...

Selengkapnya
Navigasi Web
ARTIKEL PELINDUNGAN PROFESI GURU DI ERA DIGITAL

ARTIKEL PELINDUNGAN PROFESI GURU DI ERA DIGITAL

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini sering diberitakan kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, dan bukan hanya siswa yang menjadi korban tetapi guru pun telah banyak yang menjadi korban kekerasan. Padahal, guru menjalankan profesi yang sangat mulia, yaitu mendidik dan mengajar siswa di sekolah. Dalam Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 ditegaskan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Sejak dahulu, proses pendidikan dan pengajaran di sekolah tidaklah terlepas dari adanya tindak kekerasan. Secara umum, tindak kekerasan oleh guru adalah dalam rangka mendisiplinkan peserta didik. Di era tahun 1980 hingga1990-an, umumnya siswa tidak mempersoalkan hukuman keras yang diberikan oleh guru kepadanya. Mayoritas siswa menyadari dan bisa menerima segala hukuman yang diberikan oleh gurunya, seperti terungkap dalam ilustrasi berikut yang diupload di salah satu komunitas facebook.

Dengan penerimaan yang bijak oleh peserta didik seperti pada gambaran di atas, maka tindak kekerasan fisik maupun psikis (sebagai balasan) dari siswa atau orang tua/wali murid kepada guru minim terjadi atau tidak sesemarak di era digital saat ini. Di era itu rasa hormat kepada guru masih kuat dan belum mengalami pergeseran. Jika di rumah para siswa berusaha menghormati orang tua kandungnya, maka di sekolah mereka memposisikan guru sebagai orang tua pula yang dihormati hampir sama seperti mereka menghormati kedua orang tua kandungnya. Bila di rumah mereka tidak berani durhaka kepada orang tua, maka di sekolah mereka juga tidak berani durhaka kepada guru.

Kini dengan perkembangan ICT (Information and Communication Technology) yang sangat pesat serta banyaknya alternatif tontonan yang menuntun ke arah sikap dan perilaku negatif (terutama dari televisi dan sosmed), maka cara pandang dan budaya dalam memposisikan serta menghargai/menghormati guru pun menjadi semakin mengalami pergeseran. Boleh jadi saat ini siswa tidak lagi menganggap guru sebagai orang tuanya di sekolah, bahkan orang tua siswa pun menganggap guru hanya sebagai mitra dan tenaga bayaran untuk mengajarkan materi pelajaran kepada anaknya, tidak lagi memposisikan guru sebagai pengganti dirinya di sekolah.

Pergeseran budaya siswa dan masyarakat yang banyak dipengaruhi oleh ICT menuntut guru menjalankan tugas lebih profesional sesuai konteks perkembangan zaman. Upaya membelajarkan ataupun mendisiplinkan siswa dengan menggunakan kekerasan boleh jadi sudah tak relevan. Guru harus berupaya lebih kreatif dan inovatif dalam mendidik dan mengajar siswa. Diperlukan cara baru yang tepat dalam mendidik dan membentuk karakter siswa sesuai perkembangan zaman dan pergeseran budaya saat ini.

Terkait dengan pendidikan karakter (pendikar), guru memang memegang peran sentral dalam mendidik siswa di sekolah, namun untuk membentuk karakter positif yang kuat dalam diri siswa juga harus ditopang oleh kurikulum yang sarat dengan muatan pendikar, atau setidaknya jam pelajaran agama dan budi pekerti dilipatgandakan. Selain itu, karena karakter siswa juga banyak dipengaruhi oleh proses pendidikan informal di rumah dan lingkungan sekitarnya, maka rumah dan lingkungannya juga perlu dikondusifkan.

Peran komunikasi dan kerja sama pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat sekitar sangat diperlukan untuk menciptakan dan menjaga suasana lingkungan yang kondusif. Ponsel dan media sosial elektronik semisal facebook, WA, BBM, twitter, instagram, dan sebagainya dapat digunakan sebagai sarana komunikatif antar pihak dalam menciptakan dan mengontrol suasana lingkungan yang kondusif untuk menunjang program pendikar di sekolah dan di rumah.

Selain kerja sama peran sekolah dengan orang tua dan masyarakat, diperlukan pula peran pemerintah yang strategis. Peran yang dimaksud ialah wujud kontrol pemerintah terhadap siaran, serta bentuk maupun konten dari hiburan/tontonan. Pemerintah perlu lebih ketat lagi mengsensor film dan sinetron karena tontonan film dan sinetron disinyalir banyak mempengaruhi sikap dan perilaku remaja yang mayoritas masih duduk di bangku sekolah. Penulis pernah menyaksikan ada sinetron menampilkan sosok guru pria yang menggunakan anting-anting. Bukankah itu contoh sikap dan perilaku tidak baik dari guru bagi muridnya? Berapa banyak remaja (baca: siswa) yang menyaksikan sinetron tersebut, dan berapa banyak pula yang menirunya? Bukankah remaja mudah meniru dan suka ikut-ikutan teman/kelompoknya? Belum lagi berderet contoh sosok para siswa yang dikisahkan berpenampilan tak elok (terkesan ‘alay’) dan kurang menghormati guru dalam sinetron.

PEMBAHASAN

Semua sekolah berusaha berperan aktif menyukseskan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun sayangnya, masih banyak terjadi penyimpangan di sekolah dalam bentuk tindak kekerasan.

Berbagai tindak kekerasan yang terjadi di sekolah, khususnya yang menimpa guru, seringkali dipicu oleh upaya pendisiplinan oleh guru terhadap siswa yang dinilai melakukan pelanggaran. Oleh karenanya dalam artikel ini penulis tawarkan beberapa usaha preventif dan solutif agar kekerasan di sekolah tidak lagi berulang, atau setidaknya akibat fatal atas adanya kekerasan di sekolah dapat dicegah. Beberapa alternatif solusi yang penulis tawarkan adalah sebagai berikut :

1. Pendikar dini baik di sekolah maupun di rumah

Pendidikan anak usia dini sebagai strategi pembangunan sumber daya manusia haruslah dipandang sebagai titik sentral dan sangat fundamental serta strategis mengingat usia dini merupakan masa keemasan (the golden age) sekaligus periode yang sangat kritis dalam tahap perkembangan manusia. Saat usia dini penting sekali untuk memperkenalkan dan menanamkan akhlak yang baik (dalam Islam dikenal sebagai akhlakul karimah) dan mulia. Ini dapat kita lakukan terhadap anak yang masih duduk di TK dan SD. Hal itu dimaksudkan agar akhlak (karakter) mulia tertanam kuat sejak dini dan kelak bisa bersifat persistent (berlangsung lama) pada diri anak bahkan berakhir hanya ketika ia meninggalkan dunia ini.

Proses pendidikan karakter secara dini tentu tak bisa hanya dilakukan di sekolah. Memerlukan upaya terpadu dengan orang tua di rumah. Umumnya sebagian besar anak menggunakan waktu lebih banyak di rumah daripada di sekolah sehingga tumbuh kembang anak (termasuk pembentukan karakternya) lebih banyak terpantau dan dalam kontrol kedua orang tuanya. Di sinilah peran vital dan strategis dari orang tua dalam membentuk akhlak atau karakter anak. Salah satu akhlak/karakter yang harus ditanamkan ialah menghormati orang tua dan guru.

2. Penambahan jam pelajaran agama

Jam pelajaran agama perlu dilipatgandakan agar memberi kesempatan lebih luas bagi guru agama dalam menanamkan moral yang bersumber dari nilai-nilai agama. Sangat tidak seimbang manakala kita menghendaki penguatan pendikar tetapi jam pelajaran agama minim (misalkan hanya dua jam per pekan).

3. Integrasi nilai-nilai agama ke dalam seluruh mapel bagi sekolah yang berbasis agama

Nilai-nilai agama dapat diintegrasikan ke dalam seluruh mapel sebagai bagian dari penguatan pendikar. Seluruh guru perlu menguasai dengan baik ajaran agamanya agar mampu mengintegrasikan ajaran agama dengan mapel yang diampunya. Dengan demikian proses pendikar dapat berlangsung secara terpadu dan dilakukan oleh semua guru di sekolah.

4. Pemberian sanksi yang wajar, tidak tergolong sebagai kekerasan, dan bersifat mendidik

Guru dalam memberikan sanksi kepada siswa harus memilih sanksi yang tidak tergolong sebagai tindak kekerasan (baik yang bersifat fisik maupun psikis), serta bersifat mendidik supaya sesuai dengan Pasal 39 Ayat 1 dalam PP Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru. Selain itu, pemberlakuan sanksi yang wajar bisa mencegah budaya kekerasan. Jika guru masih menggunakan cara-cara kekerasan dikuatirkan sama dengan mengajarkan kekerasan kepada siswa. Upaya ini juga untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan (baca: balasan) dari siswa kepada gurunya.

5. Menjalankan program pembiasaan akhlak dan ibadah

Pembiasaan akhlak dan ibadah dapat dijadikan penguat pendidikan karakter. Di sekolah berbasis agama, program ini lebih mudah dilaksanakan. Bagi sekolah umum maka program seperti ini dapat dikoordinir oleh guru agama dengan persetujuan kepala sekolah.

Contoh pembiasaan akhlak : bersalaman dengan guru di pagi hari dan saat akan pulang dengan menunduk dan penuh rasa hormat. Ada pula yang menerapkan jabat tangan dengan prosedur menempelkan tangan guru di kening antara guru laki-laki dengan murid putra serta cara yang sama dilakukan antara guru wanita dengan murid putri.

Contoh pembiasaan ibadah : bagi murid muslim dapat dibiasakan untuk sholat berjamaah di sekolah sehingga pengaturan jadwal pelajaran juga disesuaikan dengan waktu sholat. Di pagi hari siswa juga bisa dibiasakan untuk melaksanakan sholat dhuha dan membaca Al Qur’an ataupun ditambah dengan program hafidz Qur’an sebelum melakukan aktivitas lainnya di sekolah. Selain itu, dapat pula ditambah dengan pembiasaan puasa senin – kamis dan sesekali siswa diajak buka puasa bersama dengan didahului pemberian siraman rohani.

Kedua contoh di atas dapat diterapkan dengan tujuan membentuk karakter yang mulia pada diri siswa. Pembiasaan ibadah sebagai upaya menguatkan habluminallah ( hubungan antara siswa dengan Allah) dan pembiasaan akhlak untuk menguatkan habluminannas (hubungan sesama manusia) khususnya antara guru dan siswa. Apabila pembiasaan seperti itu dilakukan terus menerus, diharapkan siswa memiliki kemampuan self control yang baik serta menjaga adab ketika berhadapan dengan guru. Bahkan dengan pembiasaan itu dapat pula berimbas positif ketika siswa berada di rumah dan lingkungan masyarakat.

6. Pembinaan ruhani guru untuk penguatan self control dan menjadikan guru teladan

Guru harus bisa dijadikan teladan sehingga untuk menjaga integritas guru perlu dilakukan pembinaan ruhani berkelanjutan. Bagi guru muslim secara kolektif bisa membuat kesepakatan merancang program pengajian untuk menguatkan dan menjaga ruhiyahnya. Dengan cara ini kita harapkan guru memiliki mental yang kuat dan self control yang baik pula terutama ketika menghadapi siswa bermasalah.

Bukan hanya program pengajian yang bisa dibuat oleh guru muslim secara kolektif, pembiasaan ibadah harus pula diprogramkan agar ada keseimbangan dengan program yang dibuat untuk siswa. Pembiasaan ibadah guru akan membentuk pribadi guru yang dapat diteladani oleh siswa dalam beribadah dan guru bisa membersamai siswa dalam pelaksanaan pembiasaan ibadah.

Di sekolah yang memiliki guru non muslim atau mayoritas gurunya non muslim, maka bisa membuat program peribadatan bagi guru sesuai agama yang dianut. Boleh jadi program yang dibuat menyatu dengan program peribadatan bagi siswa sehingga guru bisa menampilkan keteladanan dalam ibadah dan mengukuhkan kebersamaan atau menguatkan hubungan sosial guru – siswa.

7. Menjalankan program ekstrakurikuler yang sarat dengan muatan pendidikan karakter

Berbagai program ekstrakurikuler atau jenis/program ekstrakurikuler tertentu dapat dijalankan di sekolah untuk memperkuat program pendidikan karakter. Sebagai contoh ialah pelaksanaan program kepramukaan. Dalam program tersebut banyak karakter positif yang ditanamkan dalam diri siswa seperti ketakwaan, saling menghormati, kasih sayang, cinta tanah air (nasionalisme), patriotik, disiplin, kerja sama, empati (solidaritas), dan sebagainya.

8. Sosialisasi UU tentang guru dan dosen serta PP tentang guru

Masih banyak pihak yang belum memahami isi undang-undang tentang guru dan dosen, serta peraturan pemerintah tentang guru. Sosialisasi UU dan PP tersebut diperlukan untuk membuat semua pihak memahami kedudukan dan peran masing-masing dalam mengawal pelaksanaan pendidikan.

Guru dan masyarakat (khususnya orang tua/wali murid) harus memahami bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, guru memiliki payung hukum. Pada Pasal 40 Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 ditegaskan bahwa Guru dan Tenaga Kependidikan berhak memperoleh pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual. Sementara dalam PP No. 74 Tahun 2008 Pasal 39 Ayat 1 dijelaskan bahwa Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Guru harus mengacu pada undang-undang tersebut dalam bekerja secara profesional, dan masyarakat (baca: orang tua/wali murid) memahami bahwa guru memiliki kebebasan memberi sanksi (yang diatur selanjutnya dalam pasal 39 ayat 2). Jadi orang tua/wali murid tidak boleh serta merta naik pitam ketika mengetahui anaknya mendapat sanksi dari guru. Justru orang tua harusnya berterima kasih ketika anaknya didisiplinkan oleh guru.

Pelindungan profesi guru menjadi tanggung jawab bersama juga harus difahami semua pihak sesuai tuntutan undang-undang. Dalam UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen ditegaskan bahwa Pemerintah, Pemda, Masyarakat, Organisasi Profesi, dan Satuan Pendidikan wajib memberikan pelindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas. Orang tua murid sebagai bagian dari masyarakat harus turut memikul tanggung jawab dan kewajiban seperti tertuang dalam UU tersebut.

9. Optimalisasi peran wali kelas dalam membantu program BK dan bina ruhani siswa

Diharapkan wali kelas berperan optimal dalam mengawal program bimbingan atau konseling (BK) dan pembinaan ruhani siswa. Hal ini dimaksudkan agar persoalan dan perkembangan perilaku siswa terkontrol dengan baik oleh wali kelas dan bila ada temuan bisa segara diatasi secara baik. Dengan kontrol yang baik dari wali kelas, besar harapannya perilaku menyimpang dan tindak kekerasan di sekolah dapat tercegah.

10. Menyusun berbagai Prosedur Operasional Standar (POS)

Operasional yang dijalankan di suatu sekolah perlu dibuatkan panduan POSnya. Ini untuk memberikan jaminan mengenai sistem yang berlaku di sekolah. Termasuk standar operasional dalam menangani siswa bermasalah agar tidak melanggar undang-undang dan hukum. POS yang telah disusun dan disepakati di internal sekolah harus disosialisasikan kepada orang tua murid dan pihak terkait.

11. Menyusun Tim Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Sekolah (Tim Pantirasko)

Sebagai langkah antisipatif terjadinya kekerasan di sekolah, kepala sekolah dapat membentuk tim atau satgas yang difungsikan untuk menangani munculnya kekerasan di sekolah baik yang menimpa siswa maupun menimpa guru. Tim yang dibentuk terdiri dari guru, wakil siswa, dan perwakilan dari komite sekolah. Tim inilah yang akan mengambil langkah penanganan jika terjadi tindak kekerasan di sekolah, mulai dari langkah preventif hingga pelaporan ke pihak berwajib jika kondisinya darurat.

12. Jalin kerja sama dengan aparat keamanan setempat

Pengelola sekolah, khususnya Tim Pantirasko perlu menjalin kontak dengan satuan aparat keamanan setempat agar jika sewaktu-waktu terjadi tindak kekerasan di sekolah dan sulit diatasi secara kekeluargaan, ataupun kondisinya bersifat darurat pengamanan, maka tim bisa segera meminta bantuan kepada aparat keamanan.

Jalinan kerja sama menjaga keamanan juga bisa diperluas, bila di sekitar sekolah terdapat instansi aparatur pertahanan biasanya dengan senang hati membantu jika dihubungi. Hal ini pernah penulis alami sendiri bersama teman-teman guru di sekolah. Pada tahun 2013 pernah terjadi amuk massa terhadap dua orang suami istri yang tiba-tiba masuk kelas dan sang suami memukul seorang siswi kami. Korban ketika itu langsung menghubungi keluarganya via ponsel dan dalam waktu singkat keluarga beserta warga lain dari kampungnya berbondong-bondong mendatangi kantor kami. Kontan warga yang berdatangan langsung memukuli kedua pelaku kekerasan bertubi-tubi. Ketika itu berhubung guru yang hadir selain penulis adalah ibu-ibu, maka penulis sendirilah yang berusaha melerai dan mendinginkan suasana namun sangat sulit meredakan emosi warga. Akhirnya kami mengontak aparat keamanan, namun sayangnya hingga dua instansi kami hubungi tak ada satu personelpun yang datang, sementara layangan tinju masih terus diarahkan ke pelaku. Dikarenakan pihak berwajib tak kunjung tiba sementara kami takut terjadi korban jiwa, beberapa teman pun berinisiatif menghubungi Koramil, Alhamdulillah tidak sampai 15 menit Danramil beserta seluruh anggotanya tiba di sekolah kami untuk membantu mencairkan suasana serta menjadi mediator dalam penyelesaian kasus secara kekeluargaan. Penulis ketika itu sangat lega dan hanya tinggal membuat konsep surat pernyataan bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.

13. Kerja sama dan komunikasi intensif dengan wali murid

Satu hal yang tak boleh terlupa ialah hubungan sosial dan komunikasi yang baik antara pihak sekolah dengan orang tua atau wali murid. Hubungan komunikasi yang baik bisa meminimalisir kesalahpahaman. Media sosial dapat digunakan untuk menunjang komunikasi. Sarana sosmed seperti BBM, WA, Facebook, Twitter, dan Instagram bisa dipakai untuk mengkomunikasikan berbagai hal terkait sekolah atau peserta didik, baik secara pribadi ataupun dalam komunitas/grup wali murid. Namun penggunaan sosmed juga perlu kehati-hatian, jangan sampai justru hal yang kita sampaikan menimbulkan mis persepsi yang berujung pada keretakan hubungan.

14. Melaksanakan program PLS bagi ortu

Hendaknya sekolah tak hanya menyelenggarakan kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) bagi calon siswa di tahun ajaran baru, namun perlu juga diadakan PLS bagi calon wali murid baru. Kegiatan PLS tersebut dimaksudkan sebagai upaya mengsosialisasikan sistem dan operasional yang dijalankan oleh manajemen sekolah agar difahami dengan baik oleh para orang tua.

Dalam program PLS wali murid memungkinkan juga disosialisasikan UU dan PP tentang guru, pelindungan terhadap guru, serta UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Pelindungan Anak. Dengan demikian bisa sejak awal menyamakan persepsi dan memulai membangun hubungan komunikasi serta memahami peran dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam mengawal proses yang berlangsung di sekolah.

15. Mengedepankan penyelesaian secara kekeluargaan terhadap kasus kekerasan

Apabila suatu saat terjadi kasus kekerasan oleh guru dan siswa beserta orang tua atau keluarganya menuntut, hendaklah diselesaikan secara kekeluargaan, bukan langsung mengajukan tuntutan di meja pengadilan. Apalagi jika kasus kekerasan yang terjadi masih tergolong ringan, bahkan mungkin hal itu dilakukan guru semata-mata hanya untuk mendidik dan mendisiplinkan siswa. Oleh karenanya sebagai langkah aman bagi guru dan manajemen sekolah, ketika ada siswa bermasalah yang sulit ditangani cukuplah dikembalikan kepada orang tuanya. Manajemen sekolah punya hak dan kewenangan untuk itu, dan hal itu biasanya telah disepakati sejak awal ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah. Dengan langkah itu tak perlu seorang guru melakukan kekerasan saat mendisiplinkan siswanya.

16. Sensor ketat terhadap produksi, peredaran, penyiaran, dan penayangan produk hiburan

Berbagai produk hiburan dan perfilman banyak yang kontennya berpengaruh negatif terhadap pola pikir, sikap, perilaku, dan budaya siswa serta masyarakat umum. Dalam hal ini, pemerintahlah melalui lembaga sensor yang paling berwenang menanganinya. Sensor ketat penting dilakukan agar siswa dan masyarakat tidak ‘keracunan’ konten negatif dari berbagai tontonan yang dinikmatinya melalui berbagai media. Jika ini tak segera diupayakan oleh pemerintah maka semakin berat guru menghadapi merebaknya arus budaya negatif baru yang dilakukan oleh siswa dan bisa menimbulkan kerawanan dalam bentuk kekerasan oleh guru ketika mendisiplinkan. Degradasi rasa hormat siswa kepada guru akibat meniru dari tontonan juga senantiasa menggejala . Sungguh sangat berbahaya jika dampak buruk dari hiburan dibiarkan.

PENUTUP

Paradigma masyarakat antara dulu dan sekarang terhadap guru rupanya sudah banyak mengalami pergeseran. Dulu guru dianggap sebagai pengganti orang tua di sekolah untuk mendidik anak, sedangkan sekarang seolah guru hanya dianggap sebagai tenaga kerja bayaran semata, bukan lagi dianggap sebagai orang tua. Perubahan paradigma itu membuat saat ini sering terjadi guru dipidanakan oleh wali murid hanya karena sedikit menindak keras anaknya agar disiplin.

Diperlukan berbagai langkah preventif yang terpadu dan komprehensif terhadap kekerasan di sekolah. Berbagai solusi preventif yang dimaksud antara lain penambahan jam pelajaran agama, penguatan pendikar, pembiasaan akhlak dan ibadah (baik untuk guru maupun siswa), sosialisasi UU dan PP pelindungan anak dan guru, PLS bagi orang tua murid, membentuk tim penanganan kekerasan, menjalin kerja sama dengan aparat keamanan, memanfaatkan medsos dalam menjalin komunikasi dengan wali murid, serta penyelesaian kasus kekerasan secara kekeluargaan. Secara khusus pemerintah dapat membantu pencegahan dengan cara mengsensor ketat dunia hiburan untuk meminimalisir dampak negatif hiburan/tontonan. Konten tontonan yang tidak edukatif bisa mempengaruhi paradigma, sikap, dan perilaku siswa di sekolah.

REFERENSI

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Pelindungan Anak

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti

Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post