Langit kian pekat, sepi pun menyeruak di bilik kecil tempat aku bersandar pada kursi tua yang pudar tak jelas rupanya. Lembaran kertas yang tadi pagi dibawa bapak dari tempatku biasa menimba ilmu masih terdampar berserakan.

Sejak ada gawai pemberian ibu, aku sudah tidak lagi menumpang belajar di rumah temanku. Nyaris saja aku tak pernah bertemu dengan Nindi, teman satu kelasku yang rumahnya hanya berjarak dua ratus meter saja dari rumahku. Akan tetapi bapak hanya mampu mengisi kuota begadang yang harganya memang sangat terjangkau. Alhasil, saat sepi seperti ini aku baru bisa membuka media belajar grup wa kelasku. Ditemani dewi malam yang tak bulat sempurna, aku mencoba menyelesaikan tugas dari lembaran modul dengan pesan suara dari guruku di grup wa sebagai panduan.

Aku memang bukan termasuk anak yang berkategori pandai, walaupun begitu aku berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugas dari lembaran kertas semampuku.

Bapak dan ibuku tak memungkinkan untuk menemani bahkan membimbing aku untuk sekadar berbagi ilmu yang telah diperolehnya saat mereka duduk di bangku yang sama dahulu.

Ku tengok sejenak kaca jendela di sebelahku, kain lusuhnya tersingkap tak mampu menutup sempurna. Tampak sekelebat bentuk tanpa rupa dibaliknya. Sejenak dadaku terkesiap, mataku terkesima, warna putihnya mengingatkan aku pada rupa yang sering membuat ketakutan, kain kafan.

Meong! Akhirnya aku pun dapat bernafas lega, ternyata itu makhluk kecil tunawisma yang terkadang mampir ke rumahku untuk sekadar menghabiskan remah-remah sisa.

Vivipar, aku isi nomor terakhir pertanyaan dari lembar modul yang tadi sempat tak aku hiraukan.