Siti Alimah Sofyan

Siti Alimah saat ini bertugas sebagai guru di SDN Kelapa Dua Wetan 04 Pagi, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur sejak tahun 2013. Tahun 1997 - 2013 bertugas...

Selengkapnya
Navigasi Web
Merasa Belum Dipanggil
Hajj 2019

Merasa Belum Dipanggil

Hari ke-46

Merasa Belum Dipanggil

“Dan umumkanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji! Niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Al-Hajj: 27)

Ketika melepas sanak saudara beribadah ke tanah suci, biasanya orang berpesan,”Panggil namaku saat di sana.”

Banyak pendapat menyatakan, orang yang berangkat ke tanah suci, baik itu umroh maupun haji, adalah mereka yang sudah “dipanggil’ oleh Allah. Dulu aku pun menganggap demikian. Dalam pandanganku orang yang pantas pergi haji hanyalah mereka yang kaya dan mempunyai kedudukan tinggi. Kalau bukan orang kaya mesti dia orang pintar dan berilmu sehingga bisa berangkat karena jasa atas kepintarannya.

Ternyata pendapat itu salah. Sesungguhnya kita semua telah dipanggil melalui firman Allah dalam QS Al Hajj ayat 27. Semua muslim yang telah memenuhi syarat mempunyai kewajiban beribadah haji karena Allah telah memanggil. Masalahnya, apakah kita peka terhadap panggilan itu?

Ada orang berlimpah harta, terpandang, dan gelarnya berderet, namun belum ada keinginan ke tanah suci. Salah satu alasan adalah merasa belum punya bekal ilmu agama. Terkadang ada ketakutan mendapat “balasan” di tanah suci atas perbuatan dosa mereka. Padahal justru kita bisa menjadikan ibadah ke tanah suci sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri.

Banyak kutemukan kisah mereka yang bisa melaksanakan haji atau umroh meskipun bukan orang kaya atau mempunyai kedudukan. Bagi mereka, pergi ke tanah suci adalah cita-cita tertinggi. Dengan ijin Allah, mereka mampu mencapainya. Allah selalu punya cara untuk memberangkatkan hambaNya yang “mau”, bukan hanya mampu.

Pada beberapa kesempatan aku bertemu banyak orang sederhana dengan kisah luar biasa. Contohnya Ibu Ngasiyah. Bu Ngasiyah seorang asisten rumah tangga. Selama dua puluh tahun, Bu Ngasiyah bertugas memasak dan mengasuh anak majikannya sejak bayi. Majikannya sangat sayang dan memperlakukan dirinya layaknya saudara. Mungkin karena kesabaran dan kerja kerasnya dia diberi hadiah. Bu Ngasiyah didaftarkan haji oleh majikannya pada tahun 2012. Untuk persiapan ilmunya, Bu Ngasiyah diberi kesempatan menimba ilmu di masjid dekat rumahnya, Masjid Nurul Iman Cilangkap.

Qodarullah, setahun sebelum pemberangkatan sang majikan perempuan wafat. Namun keluarga majikannya tetap mengupayakan Bu Ngasiyah yang kini berusia 65 tahun berangkat meski tanpa didampingi sang nyonya. Bu Ngasiyah mengingatkanku pada ibuku allahuyarham. Beliau sangat gesit di usia yang tak muda lagi. Tabaarakallah.

Ada lagi Bu Tati yang bekerja sebagai penjual nasi uduk di sebuah sekolah di Bekasi. Bu Tati menjalani kehidupan yang sangat keras. Menjanda sejak muda, Bu Tati bekerja keras membesarkan anak laki-lakinya seorang diri. Beliau menabung beberapa tahun sampai uangnya terkumpul dan mendaftar haji beberapa tahun lalu. Di usia 71 tahun, beliau nampak sehat meski cepat lelah saat berjalan.

Aku bertemu dengan beliau berdua pada beberapa kali pertemuan manasik. Tak butuh waktu lama kami langsung akrab. Alhamdulillah, kami bisa satu rombongan sekaligus satu regu. Bu Tati dan Bu Ngasiyah mengalami kesulitan menggunakan smartphone yang dibelikan anaknya. Padahal sanak kerabat sering mengirim pesan untuk menanyakan kabar. Aku berinisiatif membuatkan grup whatsapp untuk keluarga Bu Tati dan keluarga Bu Ngasiyah. Secara berkala aku mengirim foto dan kegiatan kami sehingga keluarga beliau berdua tenang dan selalu mendapat kabar terbaru.

Beberapa kali pertemuan manasik, aku mendapati kisah mengharu-biru. Ada pasangan suami istri yang sejak awal rajin mengikuti manasik. Namun pertemuan berikutnya sang suami sendirian. Istri tercinta wafat empat bulan sebelum keberangkatan. Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Semoga niat sang istri tercatat sebagai amal kebaikan.

Pada suatu pertemuan kulihat seorang wanita duduk di kursi roda. Aku mendekatinya. Belum sempat menyapanya, dia langsung menundukkan diri dan badannya seperti meringkuk. Belakangan aku baru tahu bahwa beliau menderita sakit yang membuatnya takut bertemu dengan orang banyak. Lho, bukannya di tanah suci akan bertemu jutaan manusia? Entah bagaimana beliau nanti menjalani ibadah. KIsah tentang beliau akan kuceritakan dalam bagian lain di bab ini, bersama dengan kisah-kisah inspiratif yang kutemui saat di tanah suci.

Dari pertemuan dengan banyak calon jamaah, kudapati banyak kisah yang membuktikan bahwa semua orang bisa dan berhak menunaikan ibadah haji. Mereka yang fisiknya tampak lemah tidak menyerah dengan keadaannya untuk beribadah. Mereka yang bukan kalangan berpunya butuh waktu lama untuk menabung mewujudkan cita-citanya. Apa pun kondisi mereka tak jadi halangan. Hakikatnya mereka inilah yang siap menyambut panggilan Allah, sebagaimana jutaan manusia dari penjuru dunia yang menanti di tanah suci.

Cileungsi, 29 Februari 2020

Siti Alimah Sofyan

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga tercapai impiannya bun

01 Mar
Balas

Mantul

29 Feb
Balas

Terimakasih Pak Ustadz

29 Feb



search

New Post