Gemericik hujan seakan tak lelah menyiram bumi, sejuk terasa menusuk sanubari, sekejap angan melayang pada puluhan tahun silam saat aku lulus dari kuliah dan berangan-angan kerja di ibukota Jakarta.

Perjalanan berawal dari meninggalkan kampung halaman meminta restu kepada ibu dan bapak untuk mengikuti suami yang berdomisili di Jakarta. Perasaan seakan terbelah saat harus memilih meninggalkan orang tua demi sebuah bakti sebagai istri dan ambisi mengejar cita-cita bekerja di kantoran saat itu.

Saat tiba waktunya untuk berangkat melangkah keluar dari rumah menuju stasiun kereta api sebagi kendaraan transportasi jarak jauh terdekat dari rumah, dengan berat kaki ini melangkah namun motivasiku mengalahkan perasaan mendayuh yang berkecamuk didada.

Gemerlap ibukota menanamkan motivasi pantang mundur di pikiranku untuk tetap melangkah kedepan yang seakan waktu itu terlihat cahaya terang dan menyenangkan.

Kami tiba di stasiun Babat pukul 13.40 dengan keberangkatan kereta tertera di kertas tiket yang kami pegang pada pukul 16.00, whaa rupanya masih lama ya kita harus tunggu kereta datang, ujar Mas El, kita tunggu di musholla saja yuk, iya deh kataku tanpa protes.

Usai shalat ashar kamipun duduk di teras musholla sambil berbincang santai. Yang... kita naik kereta ekonomi dulu ya Suatu hari nanti kita pasti bisa beli tiket eksekutif kereta Argo Bromo yang nyaman dan singkat perjalanannya. Aku balik bertanya; emang perbedaanya apa kereta Jayabaya dengan Argo Bromo? Maklum baru pertama naik kereta. Haha kamu ini lucu lihat dan baca tiketnya yang disitu ada tulisanya kelas kereta itu yang membedakannya.. oh.. kataku masih belum memahaminya

Pada saat kereta tiba kamipun masuk menempati nomor kursi sesuai yang tertera di tiket dan laju khas dari kereta pun membunyikan sirine tanda keberangkatan Tut tut Tut....

Awalnya aku semangat dengan pengalaman pertama naik kereta api Surabaya Jakarta ini. dengankami berbincang hal yang ringan-ringan sambil membuka bekel camilan yang kita beli di stasiun tadi.

Namun sesampainya di Jombang sekitar menjelang Maghrib hati ini mulai menggeliat dengan rona kegelisahan tatkala melihat siluet senja tanda malam akan tiba. Kamu kenapa sayang kelihatan tegang? ujar Mas El. Lho ditanya kok malah nangis! Ada apa coba sini, Mas El meraihku untuk duduk lebih dekat dan merangkul ku dalam pelukan hangat sambil menepuk-nepuk pundak.

Akupun mulai nyaman setelah Mas El menenangkan. Aku mulai bisa bicara bahwa kesedihan ini muncul saat inget kedua orang tua yang sudah rentah aku tinggalkan demi untuk meraih cita-cita bersamamu di Jakarta.

Sejenak Mas El terdiam dan mencium tanganku sambil senyum, kamu tahu burung?.. iya aku tahu emang kenapa?.. Burung itu saat kecil disuapin oleh induk di sarangnya dengan penuh hangat didekap induknya saat cuaca tak bersahabat sampai tumbuhlah menjadi besar dan sayapnya pun utuh penuh dengan bulu-bulu lengkap dan kokoh yang siap untuk diterbangkan.Saat burung sudah bisa terbang anak burung tersebut akan pergi mencari makan sendiri meninggalkan sarang dan induknya untuk membuat sarang baru. Seperti burung inilah yang kita lakukan kita berdua akan membuatt sarang sendiri yang hangat dan bahagia bersama....

Bersambung