Siti Bahriah

Belajar membaca & menulis lagi dan terus... bismillah! ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Halimi dan Ajo

Tidak ada kaitan antara 2 nama ini. Tak ada hubungan juga dengan profesi kita dan profesi-profesi lain. Tetapi mereka berdua memiliki media yang mengukur kedekatan pada ketaatan. Maka kelebihan mereka saya utarakan.

Kebiasaan unik saya bersama suami, selalu berkolaborasi dalam menyiapkan kuliner made-home. Mulai belanja hingga mengolah masakan di dapur. Romantisnya saya ya di sini, wkwkwk.

Ketika beraksi hendak membuat rendang misalnya, saya bantu menyiapkan (mengupas&membersihkan) bawang merah, bawang putih dan cabe sejumlah porsi yang sudah beliau takar. Suami siap memblender lalu mengolahnya hingga selesei. Dominasi suami, saya hargai sebab beliau lebih menikmati proses dan perubahan struktur daging/lauk yang diolah, diperhatikannya selagi di atas api kompor dari mentah hingga matang.

Kami belanja mingguan terhitung 1x dalam sepekan, dan sudah punya titik target dan langganan yang kami tuju. Yang paling menyita waktu adalah ketika belanja ikan. Mengapa? Bagi yang sering ke pasar pasti tahu. Pertama, harus tanya harga. Kedua, harus pilih yang segar dll. Ketiga, boleh minta tolong dipotongin hingga dibersihkan sekedarnya.

Terjadi dialog akrab antara suami dan penjual ikan, Halimi.

"Berapa harga 1 kg ikan mas, Mi?" Tanya suami.

"Sekarang Rp 35.000 Pak Haji." Jawab Halimi.

Suami pilih ikan sebanyak 2 kg dan minta dibersihkan. Lalu Halimi mengerjakannya. Setiap akan memulai pegang ikan dan ekskusi, dia ucap lafaz basmalah dengan tulus. Demikian selalu terngiang di telinga kami.

Ikan jadi lembut, nurut dan tuntaslah satu demi satu dengan bismillah. Sekarang kami kehilangan, Halimi ngga jualan lagi, dia pergi ke Pakistan kabarnya ikut kajian.

Tukang ikan langganan kami ini memiliki habbit yang luar biasa. Ramah, penuh senyum dan sering menyapa kalau salah satu dari kami tidak nampak.

Kami jarang sekali berwisata kuliner, kecuali atas request anak-anak. Paling banter jajan sore/malam ke tukang sate Padang. Langganan kami si Ajo asli Pariaman. Pernah kami mencar si Ajo ketika ia tidak di bascampnya. Waktu sholat 'Isyak, yang nampak hanya gerobag satenya saja.

"Si Ajonya kemana, ya?" "Apa ga takut gerobagnya hilang?" Bisik hati saya, dan lama juga kami menatap gerobagnya.

"Sambil nunggu si Ajo datang, lebih baik kita masuk masjid dulu untuk panggilan Allah!" Ajak suami.

Subhanallah, ternyata Ajo sudah di dalam. Iman si Ajo lebih dulu terpanggil dari pada kami. Malu deh, sebab kami ke masjid karena si Ajo. Bersyukur pada si Ajo, akhirnya peristiwa saat itu jadi teguran dan kenangan.

Kisah Halimi dan si Ajo semoga menjadi pelajaran ya temans 😊

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa bapak Halimi dan bapak Ajo

02 Feb
Balas

Iya bu Endah, mksh ya

02 Feb

Betul..mantap tulisannya. Sy sdh follow ibu. Kita alumni sagusabu tangsel. Follow back ya bu..hehe

03 Feb
Balas

Siap bu Yayah, sy jg pny nm panggilan yg sama di keluarga

03 Feb

Lanjut, Bu Hj.

21 Mar
Balas

Masya'Allah... Hidayah dan nasehat itu bisa datang darimana saja....

02 Feb
Balas

Bahkan di setiap langkah... Ni

02 Feb

Great bu beri. Jgn lihat siapa tapi lihat apa. Apa yg d perbuat & apa yg d ucap.

02 Feb
Balas

Betul Miss...

02 Feb
Balas



search

New Post