Siti Fatimah

Alumnus PPS UNNES bekerja di SMP 2 Kudus sejak tahun 1995 Mata Pelajaran IPA...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kenangan Terakhir Bersama Ibu

Kenangan Terakhir Bersama Ibu

Kenangan Terakhir Bersama Ibu

Oleh: Siti Fatimah

Darsih. Itulah nama ibuku. Dia sosok wanita desa yang lugu dan baik hati. Ibu dipersunting Bapak ketika usianya masih sangat belia, yaitu 12 tahun, terpaut 10 tahun dengan usia Bapak. Diusianya yang sangat belia, dia belum mengenal apa-apa tentang arti rumah tangga. Ibu hanya patuh dijodohkan dengan Bapak oleh nenek. Tapi walaupun begitu Ibu tunbuh menjadi seorang istri dan ibu yang sangat baik. Dia mendampingi Bapak hingga tutup usia, dan membesarkan keenam putra-putrinya. Saya adalah putri bungsunya.

Sebagai putri bungsu, dengan lima orang kakak, saya merupakan putri yang paling disayang. Mungkin karena saya putri kecilnya yang penurut, rajin belajar, dengan tubuh yang kerempeng, lemah, dan sering sakit-sakitan saat kecil. Saking sayangnya, hingga saya tumbuh dewasa bahkan menua pun, saya tak sekali pun dimarahi oleh Ibu. Ibu selalu memberikan kepercayaan kepadaku, sehingga aku tumbuh menjadi gadis yang mandiri.

Sebagai anak ragil, saya digadang menjadi orang yang sukses dan menjadi tumpuan hidupnya ketika usianya senja. Tapi terkadang, rencana tidak sesuai dengan kenyataan. Saya yang dijadikan tumpuan hidup harus bekerja di luar kota, meninggalkan kampung halaman, dan meninggalkan kedua orang tua. Akhirnya Ibu tinggal dengan Bapak di Kampung, tanpa seorang anak pun yang menemani. Yah, itulah kenyataan yang banyak dialami oleh orang tua, ditinggal putra-putrinya bekerja, mengikuti suami, atau alas an lainnya, sehingga akhirnya, orang tua tinggal berdua seperti dulu ketika mereka belum punya anak. Suasana rumah menjadi sepi, kerinduan pun membalut hatinya, jerit dan gelak tawa yang selalu didambakan seolah sirna. Hanya doa yang selalu mengalir dari bibirnya yang keriput di sepertiga malam, untuk keselamatan, kebahagiaan, dan kesuksesan putra-putrinya.

Masih segar dalam ingatanku kenangan manis dan menyenangkan bersama Ibu. Saat pergi ke sungai untuk mencuci baju dan mandi, ibu selalu menjagaku agar tidak tenggelam. Ibu dengan sabar menemani dan menungguku ketika saya sedang asyik bermain gedebog pisang, berenang, dan berselancar di sungai. “Wow…sungguh menyenangkan mandi dan bermain di sungai saat itu.” Terima kasih Ibu.

Saat puasa tiba, Ibu selalu memasak makanan sesukaanku, sayur asam yang pedas dan ikan pindang goreng. Walaupun kami tidak makan bersama di satu meja, maklum kami orang desa, tidak terbiasa makan bersama seperti orang kota, apalagi seperti priyayi, akan tetapi rasa nikmat sayur asem ala Mak tetap paling nikmat. Saya bisa nambah hingga tiga kali, sampai-sampai ibu memperingatiku “Ojo kuaregen Nduk, mengko mundak wetenge lara. “

Hehehe, dasar anak kecil, buka puasa seperti orang balas dendam, makan banyak tapi seperti tak pernah kenyang.

Maafkan saya Ibu, karena saat itu saya jarang membantu Ibu memasak. Apalagi saat sahur, Ibu selalu menyiapkan makanan untuk kami sendirian, saya dan kakak-kakak kau biarkan tertidur pulas. Setelah semua siap Ibu bangunkan kami untuk makan, dan Ibu pun makan setelah kami semua makan. Yah, itulah kasih sayang Ibu pada kami, putra-putrinya, walaupun dia lelah tetap saja dia berusaha membahagiakan buah hatinya. Emang benar jika dikatakan kasih Ibu itu tiada batas.

Ibu, masih banyak kenangan yang kulalui bersamamu, kenangan yang selalu melekat di hati anakmu. Anakmu ini sangat menyesal karena tidak dapat menunggui ketika Ibu dalam menghadapi sakaratul maut. Anakmu tidak dapat memelukmu ketika Ibu menghadap Sang Pencipta. Anakmu hanya bisa menangis dan mendoakan di dekat keranda Ibu yang sudah terbungkus. Yah, hanya doa yang selalu terlantun dari bibirku untuk mengantarmu menghadap Sang Khalik. Anakmu selalu berdoa semoga Ibu mendapatkan ampunan dan ditempatkan di surga-Nya.

Saat itu dunia ini seperti terguncang, seperti batinku. Anakmu ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya memanggil namamu “Ibuuuu….” Kenapa begitu cepat meninggalkanku. Kenapa engkau pergi tanpa meninggalkan pesan secuil pun untukku. Yah, Ibuku pergi menghadap yang Sang Mahakuasa tanpa menunjukkan tanda-tanda, semoga itu menandakan husnul khatimah. Ibuku saat itu dalam kondisi sehat, hanya penyakit anehnya saja yang selalu menemaninya. Saya katakan sakit aneh, karena ketika diperiksakan ke dokter semua baik-baik saja, tidak ada penyakit apapun. Gejala penyakitnya juga aneh, Ibu di saat pagi hari sehat seperti tidak menderita sakit apapun. Sehingga saat pagi hari Ibu beraktivitas seperti biasa, memasak, menyapu, dan bercanda dengan cucunya. Akan tetapi ketika siang dan tengah malam tiba, rasa panas merambat di bagian perut bagian dan panggulnya. Rasa panas itu seperti membakar bagian perut dan panggulnya. Ibu hanya terdiam menahan rasa panas itu. Untuk menghilangkan rasa panas yang membakar, Ibu kemudian mengguyur sekujur tubuhnya, dan rasa panas itu pun menghilang. Yah, begitulah Ibuku menjalani penyakit anehnya hingga puluhan tahun.

Satu bulan sebelum kepergian Ibu, seperti biasanya saya dan anak-anak menengoknya. Kondisi Ibu masih seperti biasanya, tubuhnya terasa terbakar di kala siang dan tengah malam. Badannya semakin kurus, akan tetapi Ibu tetap melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal. Ketika saya menjenguknya Ibu menceritakan bahwa beberapa hari ini susah buang besar, dan meminta kepada saya untuk membelikan obat agar bisa buang air besar. Saya hanya mengiyakan saja permintaannya. Kucoba memeriksa perutnya yang kerempeng, kuraba dan kutekan sedikit dengan telapak tanganku. Saya sangat kaget ketika meraba perut Ibu. Perutnya keras sekeras batu, dan tergambar jelas lekukan usus besar di permukaan perut Ibu. Sambil terus mengelusnya, saya menangis tertahan. Air mata keluar begitu saja tak bisa kutahan. Kemudian kupeluk erat Ibuku dengan hati yang berasa hancur berkeping-keping melihat penderitaannya. Ibu pun memelukku erat sambil berkata “Aku ora papa, Nduk. Wetengku kaya ngene mergane ora iso memburi pirang-pirang dina.

Dalam hati kuberkata “Ibu sudah ketahuan sakit begini, masih bilang enggak apa-apa.”

Mungkin seperti itu semua orang tua, tidak ingin membuat anaknya khawatir.

Saya melepaskan pelukan dan kuciumi tangannya yang keriput. Kami pun bercerita tentang anak-anak, tentang kesehatan Ibu, dan tentang kondisinya selama tinggal dengan Kakakku. Hampir satu jam saya bercengkerama di kamar Ibu. Saya masih membayangkan kondisi perut Ibu yang keras. Pikiran itu selalu terbawa ke mana pun saya pergi. Dan untuk memenuhi permintaannya, sebelum saya kembali ke luar Kota, kubelikan pesanannya, yaitu obat yang dapat memperlancarkan buang air besar. Setelah kuberikan obat itu, terpancar wajah berseri dan senyuman kecil dari bibirnya. Rasa senang dan juga rindu tergambar di wajahnya. Mungkin Ibu masih kangen denganku, tetapi karena liburku hanya dua hari, saya hanya dapat menemaninya dua hari.

Hari pun berganti. Kujalani aktivitas seperti biasanya yaitu mengajar. Ketika sedang mengajar di kelas 8E, gawaiku yang tergeletak di atas meja guru berdering. Kulihat tulisan di gawai, tertera Ulfah. Dia keponakanku yang tinggal di Semarang. Dia memberi kabar kalau saya disuruh pulang, karena Ibu meninggal. Mendengar kabar itu, saya yang saat itu sedang mengajar langsung duduk terdiam. Murid-muridku spontan memandangiku. Air mata mengalir begitu saja tanpa diperintah. Muridku pun bertanya “Bu, ada apa?”

Kutarik napas panjang, saya mencoba menjawab pertanyaannya “Ibu saya meninggal, Nak. Ibu minta maaf ya, karena harus meninggalkan kelas. Sekarang kamu lanjutkan belajar sendiri. Teruskan membaca bagian yang belum dibahas. Saya minta hadiah suaratul Fatihah untuk Ibu saya. Kalian mau khan? Mendoakan, semoga Ibu diberikan husnul khatimah, diberikan ampunan atas semua khilaf dan dosanya, diterima semua amal kebaikannya, dilapangkan kuburnya, dan ditempatkan di surga-Nya.”

Dengan air mata berurai, saya memimpin doa untuk Ibu bersama murid-murid. Saya bergegas meminta izin kepada pimpinan untuk pulang lebih awal, dan beberapa hari tidak masuk. Kujemput kedua anakku dari sekolahnya, dengan mengendarai motor saya melaju menempuh perjalanan dari Kudus ke Rembang. Sesampai di rumah Kakak, kudengar suara lantunan tahlil dikumandangkan ibu-ibu jam’iyyah, kulihat banyak pelayat memenuhi rumah, dan kulihat jenazah ibu sudah diletakkan dalam keranda. Saya langsung berlari menuju ke jenazah Ibu, duduk bersimpuh. Saya tak bisa berucap apapun. Mulut ini seolah terkunci. Air mata mengalir deras tak terbendung. Tapi saya teringat wejangan dari para ustad, jika ada keluarga kita kembali menghadap Sang Pencipta, kita boleh bersedih karena kehilangan, tapi tidak boleh berlarut-larut karena justru akan membuat sedih orang yang meninggal, dan menghambat kepergiannya menghadap Sang Khalik. Aku coba menenangkan diri, kuambil buku Yasin-tahlil. Kubacakan surat Yasin untuk Ibu dengan harapan Ibu mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Saya yakin Ibu pasti melihatku hadir memeluknya untuk yang terakhir kali, dan mengantarkan kepergiannya ke pemakaman. Saya yakin Ibu pasti tersenyum melihat putra-putrinya berkumpul mendoakan kepergiannya. Ibu, ternyata pelukanmu sebulan yang lalu merupakan pelukan terakhirmu untukku. Terima kasih Ibu, doaku akan selalu menyertaimu. Semoga Ibu mendapatkan kenikmatan surgawi dan bertemu dengan Bapak di alam yang baru. Aamiin.

Cikfat. 14 Februari 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga ibunda mendapat tempat terbaik di sisinya Bu Fatimah...Jadi sedih...Hiks..hiks...Barakallah....

14 Feb
Balas

Amin. Terima Bu Rini. Terima kasih Bu selalu setia berkunjung ke rumah saya. Barakallah

16 Feb

Ibu,,, ibu,,, ibu,,, Menangis ku membacanya bu Makasih ceritanya

14 Feb
Balas

Iya sama-sama. Terima kasih telah berkunjung ke rumah saya. Semoga sehat dan sukses selalu.

16 Feb



search

New Post