Siti Hamidah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Guru Bagi Pahlawan dan Pahlawan Bagi Guru

Guru Bagi Pahlawan dan Pahlawan Bagi Guru

Peran dan jasa seorang guru ternyata tidak lepas implikasinya bagi aktualisasi dan eksistensi seorang Pahlawan, baik di masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Beberapa Pahlawan Indonesia ternyata ber profesi sebagai guru disamping memberikan karya dan pengorbanan terbesar dalam aspek kebangsaan, namun esensi keberhasilan nya tidak terlepas dari peran yang dijalankannya sebagai seorang pendidik dan pengajar. Beberapa Pahlawan yang sekaligus menjalankan peran sebagai guru antara lain:

KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. Di kalangan Nahdliyin (pengikut NU) dan para ulama pesantren, Kiai Hasyim dijuluki dengan sebutan Hadratusyeikh yang berarti mahaguru. Beliau memiliki kemampuan dalam bidang ilmu agama, dan hukum Belanda. Tak hanya gigih memimpin perjuangan melawan Belanda, Kiai Hasyim juga mengajarkan ilmu agama dan menanamkan jiwa nasionalisme kepada murid-muridnya. Pesantren yang ddirikan nya yakni Pesantren Tebu Ireng, di Jombang, Jawa Timur. Salah seorang putranya, KH Wahid Hasyim, adalah salah satu perumus Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Menteri Agama, sedangkan cucunya, KH Abdurrahman Wahid atau dikenal Gus Dur, menjadi Presiden ke-4 Reprublik Indonesia.

Jendral Sudirman memiliki kemampuan dalam strategi perang Gerilya. Sebelum dikenal sebagai ahli strategi, Sudirman pernah menjadi guru di sekolah perguruan Muhammadiyah dikenal memiliki kepribadian yang tegas dan disiplin. Kepribadiannya merupakan buah dari tempaan sistem perkaderan Hizbul Wathan, yakni organisasi kepanduan Muhammadiyah. Hizbul Wathan adalah salah satu organisasi otonom (ortom) di Muhammadiyah yang bertujuan untuk mempersiapkan kader-kader yang berdisiplin tinggi dan tegas dalam mengambil sikap.

Bung Karno. Perjuangan Kemerdekaan RI tak bisa lepas dari sosok Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno. Dalam riwayat perjalanan hidupnya, Bung Karno pernah menjadi guru di sebuah sekolah Muhammadiyah di Bengkulu. Profesi itu dia lakukan saat hidup dalam pengasingan Belanda. Saat itu, Bung Karno yang diasingkan Belanda aktif melakukan pertemuan dengan para pemuka Muhammadiyah Bengkulu. Pada suatu hari Hassan Din, Ketua Muhammadiyah Bengkulu saat itu mengajak Bung Karno untuk menjadi guru di sekolah rendah agama milik Muhammadiyah.

Kartini dikenal sebagai perempuan Indonesia yang memiliki gagasan modern tentang perempuan Indonesia. Gagasan Kartini diketahui luas setelah surat-suratnya kepada sahabatnya di Belanda, diterbitkan menjadi buku tahun 1911 oleh Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Perjuangan Raden Ajeng Kartini bukan dalam hal mengangkat senjata melawan penjajah, namun ide dan gagasannya saat itu, yang menginginkan kemerdekaan perempuan Indonesia dari larangan untuk mendapatkan pendidikan layak ikut mempengaruhi kondisi bangsa saat itu. Gagasan Kartini di buku itu cukup mengejutkan masyarakat pada masanya, dan sebagian besar masih relevan hingga hari ini, termasuk bagi generasi milenial yang sedang giat membangun karier atau merintis usaha. Tak hanya berjaung melalui tulisan-tulisannya, Kartini mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka

Ki Hajar Dewantara juga telah mengajarkan filosofi yang terkenal di dunia Pendidikan yakni “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” yang artinya “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dukungan”. Dari filosi ini, kita bisa mamaknai bahwa Pendidikan di Indonesia adalah Pendidikan yang memanusiakan manusia, untuk tujuan agar proses pengasuhan dan pendidikan anak yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa Indonesia, memiliki hati nurani, berkarakter kuat, saling mengingatkan dalam kebaikan hidup, serta mempunyai nilai jati diri kebangsaan.

Setelah Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara di Angkat menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Indonesia di kabinet pertama di bawah pemerintahan Persiden Ir. Soekarno. Dari salah satu perjuangannyalah melalui filosifi-filosinya itu, Pendidikan di Indonesia sempat menjadi sorotan dunia bahkan sampai saat ini. Ki Hajar Dewantara meramu dan mengkomper teori-teori Pendidikan barat, khususnya teori Pendidikan di eropa, yang disesuaikan dengan budaya multikultural di Indonesia yang lebih beradab. Namun, setelah dua tahun mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957, beliau wafat pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan di berikan gelar penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Nasional.

Ki Hadjar Dewantara (KHD) membedakan kata Pendidikan dan Pengajaran dalam memahami arti dan tujuan Pendidikan. Menurut KHD, pengajaran ?(onderwijs) ?adalah bagian dari Pendidikan. Pengajaran merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan Pendidikan ?(opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi menurut KHD (2009), ?“pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya

Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan.

KHD menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: ?menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat?. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat ?menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki ?laku?nya (bukan dasarnya) hidup dan ?tumbuh?nya kekuatan kodrat ?anak”

Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit jagung yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.

KHD juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, “ ?waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu”. KHD menggunakan ‘barang-barang’ sebagai simbol dari tersedianya hal-hal yang dapat kita tiru, namun selalu menjadi pertimbangan bahwa Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar.

“Dalam melakukan pembaharuan yang terpadu, hendaknya selalu diingat bahwa segala kepentingan anak-anak didik, baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya, jangan sampai meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun zaman. Sementara itu, segala bentuk, isi dan wirama (yakni cara mewujudkannya) hidup dan penghidupannya seperti demikian, hendaknya selalu disesuaikan dengan dasar-dasar dan asas-asas hidup kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan” (Ki Hadjar Dewantara, 2009, hal. 21)

KHD hendak mengingatkan pendidik bahwa pendidikan anak sejatinya menuntut anak mencapai kekuatan kodratnya sesuai dengan alam dan zaman. Bila melihat dari kodrat zaman, pendidikan saat ini menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki Keterampilan Abad 21 sedangkan dalam memaknai kodrat alam maka konteks lokal sosial budaya murid di Indonesia Barat tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan murid di Indonesia Tengah atau Indonesia Timur.

Mengenai Pendidikan dengan perspektif global, KHD mengingatkan bahwa pengaruh dari luar tetap harus disaring dengan tetap mengutamakan kearifan lokal sosial budaya Indonesia. Oleh sebab itu, isi dan irama yang dimaksudkan oleh KHD adalah muatan atau konten pengetahuan yang diadopsi sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan konteks sosial budaya yang ada di Indonesia. Kekuatan sosial budaya Indonesia yang beragam dapat menjadi kekuatan kodrat alam dan zaman dalam mendidik.

KHD menegaskan juga bahwa didiklah anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri. Artinya, cara belajar dan interaksi murid Abad ke-21, tentu sangat berbeda dengan para murid di pertengahan dan akhir abad ke-20

Budi Pekerti

Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor).

Lebih lanjut KHD menjelaskan, keluarga menjadi tempat yang utama dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang anak. Keluarga merupakan tempat bersemainya pendidikan yang sempurna bagi anak untuk melatih kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individual).

Keluarga juga merupakan sebuah ekosistem kecil untuk mempersiapkan hidup anak dalam bermasyarakat dibanding dengan institusi pendidikan lainnya.

Alam keluarga menjadi ruang bagi anak untuk mendapatkan teladan, tuntunan, pengajaran dari orang tua. Keluarga juga dapat menjadi tempat untuk berinteraksi sosial antara kakak dan adik sehingga kemandirian dapat tercipta karena anak-anak saling belajar antara satu dengan yang lain dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, peran orang tua sebagai guru, penuntun, dan pemberi teladan menjadi sangat penting dalam pertumbuhan karakter baik anak.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Betul sekali semoga tetap semangat memajukan pendidikan di Indonesia

10 Nov
Balas

Terkait dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, pemanfaatan media televisi dapat dijadikan sarana untuk mengubah peringatan Hari Pahlawan yang bukan hanya upacara, tetapi bisa juga dijadikan wadah untuk mengadakan acara perlombaan-perlombaan yang berkaitan dengan Hari Pahlawan

10 Nov
Balas

Dengan peringatan hari Pahlawan Nasional mari kita wujudkan peran guru yang merdeka dalam tekad tetap semangat dan berinovasi dalam mendidik anak bangsa yang riang, merdeka dan berkarakter Pancasila

10 Nov
Balas

Dengan peringatan hari Pahlawan Nasional mari kita wujudkan peran guru yang merdeka dalam tekad tetap semangat dan berinovasi dalam mendidik anak bangsa yang riang, merdeka dan berkarakter Pancasila

10 Nov
Balas

Tetap mengobarkan semangat perjuangan

10 Nov
Balas



search

New Post