Ini bukan sebuah cerpen dengan cerita yang berakhir bahagia dan sedih. Inilah ceritaku, sepenggal kisah di kamis nanar. Panas membuat gelisah dan kerongkongan sesak seolah ingin menenggak secangkir robusta agar hilang kantukku. Tepat hari ini ada pelatihan menulis, apa sih itu menulis? Yang aku tau sedari kecil tulisanku selalu dicap "Ceker Hayam", tapi bagiku menulis menjadi rutinitas memadu syahdu. Walau ku tau tulisanku tak seindah kata-kata dalam puisi karya Sapardi Djoko Damono. Disini ku dapat satu ilmu tentang menulis, kalau Chairil Anwar menulis untuk memuaskan ide-idenya, aku menulis untuk menghilangkan sesak. Bukan, bukan sesak nafas, bukan pula sesak dengan kehidupan, bagiku menulislah agar apa yang akan kau sampaikan bisa kau katakan dengan tulisan.

Ya maklumlah, aku kan pemalu jarang sekali berbicara maka tulisanlah yang akan mewakiliku untuk berbicara.

Tapi menurut Jalaludin Rumi "...tanah yang rendah, kesanalah air mengalir. Jika kau ingin kasih mengalir padamu, rendahkanlah hatimu". Lho ini kan gak ada hubungannya dengan menulis? Ada ko, dalam tahap menulis itu yang kita jangkau bukan kepuasan tangan yang pegal mengetik QWERTY handphone atau laptop. Jadi menulis itu harus seperti air, mengikuti alur kemana arah tangan ini akan menulis dan mendedikasikannya.

Jadi, sekali lagi ini bukan cerpen. Jangan dibaca nanti ketagihan.