Siti Khodijah Lubis, S.Pd.I

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
31. Komunikasi Adalah Kunci
Sumber: Tribunnews Jateng

31. Komunikasi Adalah Kunci

Ada dua film Bollywood (istilah untuk industri perfilman India, terutama yang berpusat di Delhi) yang selalu membuatku meneteskan air mata meskipun sudah menontonnya berulang kali. Film yang pertama adalah "Three Idiots" (2009) dan "Kabhi Khushi Kabhie Gham" (2001). Kali ini aku akan meresensi film yang terakhir disebut.

Film arahan Karan Johar ini bertema keluarga, bercerita tentang Yashvardhan "Yash" Raichand seorang pengusaha kaya raya, yang mengadopsi seorang anak bernama Rahul (Shah Rukh Khan). Sepulangnya Rahul dari kuliah di London, Yash menjodohkannya dengan Naina (Rani Mukerjee), putri dari temannya. Rahul yang tidak mengetahui hal ini jatuh cinta dengan Anjali (Kajol), seorang gadis dari kalangan biasa. Yash tidak merestui hubungan Rahul dengan Anjali. Saat ayah Anjali meninggal, Rahul menikahi Anjali tanpa sepengetahuan Yash. Marah, Yash mengusir Rahul dengan mengatakan bahwa Rahul bukan anaknya. Sakit hati, Rahul pergi meninggalkan rumahnya. Adik Rahul, Rohan (Hrithik Roshan) tidak mengetahui hal ini karena ia dikirim di sekolah asrama. Demi merekatkan kembali hubungan ayah dengan kakaknya, Rohan berangkat ke London demi menemui sang kakak.

Premis yang diberikan film ini nampaknya relevan dengan kultur kita sebagai orang Indonesia, bahwa orang tua biasanya jarang mau dibantah, meskipun ia salah. Ketika anak melakukan kesalahan, orang tua selalu marah yang kadang kemarahannya itu ia ekspresikan dengan kata-kata ataupun perbuatan yang mungkin menyakiti sang anak.

Saya jadi teringat dengan salah seorang siswa saya, sebut saja namanya Bunga. Bunga seorang gadis yang duduk di kelas 7 SMP. Hobinya balap liar motor. Saya kadang menasehatinya tentang bahayanya naik motor, apalagi balap liar, sedang umurnya masih 13 tahun.

Suatu hari Bunga berkata padaku, "Miss, besok aku nggak datang ke sekolah, ya?"

Aku bertanya, "Kenapa?"

"Aku diusir mamakku, Miss. Aku di tempat nenek. Aku nggak bawa baju," katanya polos.

Aku pun menasehatinya bahwa mamaknya tidak benar-benar bermaksud mengusirnya. Itu hanya pelampiasan kemarahan yang spontan dan tiba-tiba.

"Pulanglah, Bunga. Minta maaf sama Mamak," bujukku.

Bunga tetap bergeming dengan keputusannya. Esok ia datang ke sekolah. Ia tersenyum riang dan berkata, "Mamakku minta maaf sambil nangis nyuruh aku pulang, Miss."

Aku geleng kepala melihatnya. Kujelaskan bahwa suatu hari nanti, saat ia dewasa, pasti ia mengerti mengapa mamaknya berbuat begitu.

Terkadang, teori memang lebih mudah diucapkan dari pada dilakoni, apalagi jika sudah menyangkut hati. Seperti halnya Rahul. Ia tentu sudah dewasa dan punya anak pula, pasti mengerti rasanya jika orangtua marah kepada anak demi kebaikannya, tapi sang anak salah menanggapi, dan orangtua pun jadi bersikap over reaktif, sehingga anak menjadi sakit hati dan menyimpan dendam. Alih-alih menyampaikan alasan di balik kemarahannya, ego orangtua yang sering menganggap diri paling benar dan tahu yang terbaik untuk anaknya, mencegah mereka meminta maaf atas sikap overreaktifnya. Anak pun, yang merasa melakukan hal yang benar, enggan bertanya seharusnya ia bagaimana, karena terlanjur sakit hati duluan.

Di sini, aku tak sepenuhnya menyalahkan Yash, atau membela Rahul. Terkadang, komunikasi terbuka antar anak dan orang tua adalah kunci menyelesaikan suatu masalah. Orangtua seharusnya bisa menyampaikan maksudnya menyuruh atau melarang anak, anak pun seharusnya memyampaikan mau mereka. Baik argumen orangtua maupun anak, hendaknya harus disertai pandangan positif dan negatif dari masing-masing pendapat, agar kemudian diketemukan titik temu, dan tidak menjadi masalah yang akan disesali di kemudian hari.

Aku berusaha melakukan ini kepada kedua anakku, supaya mereka mampu menyampaikan pendapat mereka alih-alih memendam atau merajuk, agar tidak menjurus ke arah perbuatan negatif.

Banyak scene dari film ini yang memicuku meneteskan air mata, belum lagi backsound-nya yang menyedihkan, dan ekspresi kosong Nandini Raichand (Jaya Bhachan) yang menyiratkan luka yang mendalam akibat kehilangan Rahul sang putra kesayangannya. Cintanya sebagai ibu -meskipun bukan ibu biologis- sampai terasa ke hati penonton, begitu pula kesedihannya, meskipun tak banyak dialog ia ucapkan, her eyes said it all.

I would still watch this movie over and over again whenever it's played on tv, dan tak lupa, bawa benda wajib saat menontonnya: tisu atau sapu tangan, buat menyeka air mata yang siap-siap tumpah.

Tebing Tinggi, 06 April 2020

Tantangan Menulis Hari ke-31

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post