Ketika Harus Mulai
Kenan meringis menahan sakit yang sangat. Nyeri menusuk sendi yang terlindung tempurung lutut kanan. Linu berdenyut tak tertahankan, sehingga ia terguling rebah. Tongkat penyangga jatuh menimpa jidatnya.
"Aduh!" pekiknya pelan. Bukan karena tongkat itu, melainkan nyeri di sendinya makin berdenyut.
Kenan berusaha untuk bangkit, meski harus menahan nyeri yang amat sangat. Kali ini sakitnya benar-benar luar biasa. Sampai-sampai wajahnya tampak pucat pasi menahan rasa sakit.
Tongkat yang menopangnya selama ini diraihnya. Ia berusaha bangkit untuk berdiri. Akan tetapi apa yang terjadi. Nyeri ini masih saja ada. Tapi ia berusaha bangkit.
"Aku harus bisa!" katanya dalam hati. Ya, ia harus bisa bangkit, karena saat ini ia dalam posisi sendiri. Tak ada yang bisa membantunya.
Seandainya saja ada Tomi di sisinya, pasti Tomi membantunya dengan senang hati. Tomi adalah sahabat karibnya.
Sedetik Kenan teringat akan sahabatnya, Tomi. Persahabatan yang terjalin sejak SMP membuat mereka seperti saudara, di mana ada Kenan pasti di situ ada Tomi. Ada sesuatu yang hilang saat Kenan mengingat semua itu.
"Kenan, masih belum bisa jalan? Merangkak aja!" mungkin begitulah gadis itu akan mengejeknya disusul tawa yang mengikik. Tapi bukan Tomi namanya jika tak punya alasan 'bagus' untuk kelakuannya itu.
"Psikologi terbalik namanya, pemalas!" katanya sambil mencubit hidung Kenan.
Mendengar suara Hitomi, semangat Kenan tiba-tiba membuncah. Bak ada uang jutaan di depan mata, Kenan pun dengan cepat meraih tongkatnya dan berdiri. Rasa nyeri hilang dengan tiba-tiba.
“Dasar cewek tomboy, makanya tuch … teman-teman lebih suka memanggilmu, Tomi!” hardik Kenan sambal sedikit bersungut-singut. Padahal dalam hatinya, merasakan kebahagiaan yang meluap-luap karena kehadiran Tomi yang tiba-tiba.
"Kenan, kakimu kenapa?"
"Tomi, kapan kamu pulang? Mengapa tak memberi kabar?" Kenan bukannya menjawab pertanyaan Tomi, akan tetapi malah balik bertanya. Setelah sekian tahun tak bertemu, ada sesuatu yang berubah pada diri Tomi. Ya, Nana Hitomi, teman masa kecilnya, datang tiba-tiba ke tempat ini. Kebetulan Kenan baru saja jatuh dari sepeda motor, bahkan sempat menginap di rumah sakit satu minggu lamanya. Beruntunglah tidak begitu parah lukanya. Hanya kaki yang masih butuh terapi.
Dengan langkah tertatih tatih tongkat itu di genggamnya dengan langkah terburu-buru Kenan menghampiri Tomi, namun tiba tiba "aaakkhh...!" ujung tongkat Kenan menyangkut kaki meja di depannya. Tak ayal tubuhnya limbung terhuyung-huyung dengan cekatan Tomi menangkap tubuh Kenan dg kedua tangannya. Sedetik tubuh mereka merapat dan.... Ada desir halus mengalir
"Hayooo! Ngapain kalian berdua!" Pak Yanto menyela. Fisioterapis sekaligus pelatih atletik Kenan mendadak nongol dari pintu kantor, dan tangan Tomi buru-buru melepas pegangannya pada tubuh Kenan.
Kenan kembali limbung dan terjatuh.
"Sorry!" ujar Tomi. Namun senyum nakal di bibirnya menunjukkan bahwa ia tak sungguh-sungguh dengan ucapannya itu.
"Huuhhh ... awas kamu! Senang ya melihatku kesakitan," ujar Kenan bersungut-sungut. Tomi pun nyengir kuda.
"Malu kan dilihat Pak Yanto?" sahut Tomi sambil menyerahkan tongkat Kenan yang sempat terlepas dari tangannya.
"Iya ... iya ... tapi jangan diulang lagi ya. Sakit tahu!" sela Kenan merajuk.
Persahabatan mereka yang telah lama terjalin, membuat mereka demikian akrab. Tomi yang dulu tomboi, kadang-kadang membuat Kenan merasa bersahabat dengan teman cowok. Tetapi, saat mereka lama tak bertemu, ada yang berbeda dalam diri Tomi.
"Hem, apakah karena Tomi bertambah cantik?" Dengan penampilan sedikit girly, sekarang Tomi sedikit berbeda. Demikian pula sebaliknya, Tomi merasa bahwa Kenan menjelma menjadi seorang pemuda yang gagah. Berbeda dengan yang dulu, agak culun dan hitam. Meskipun sekarang juga masih tetap hitam, hanya sedikit bersih. Mungkin Kenan sekarang sering mandi. Batin Tomi sambil tersenyum simpul.
"Eh, ngapain kamu senyum. Emang aku badut?" tanya Kenan.
"Maaf..!" sahut Kenan sambil gelagapan, mata indah Hitomi mengerling jenaka. Namun itu yang membuat Kenan semakin salah tingkah, tak mengerti ia dengan perasaan yang menjalar di hatinya. Sejurus kemudian tangan Hitomi membimbing tubuh Kenan menuju ruang Fisioterapi. Dimana pak Yanto telah menunggunya untuk menjalani terapi kaki Kenan. Sebelum sampai di pintu ruang terapi Hitomi menghentikan langkahnya, dan berbalik ke arah tubuh Kenan sambil berbisik " Kenan, cepatlah pulih aku pulang untukmu."
‘Penyiksaan’ itu dimulai lagi. Tibia kanannya mengalami fracture tapi hanya retak rambut dan berkat obat-obat penguat tulang yang diberikan dokter sudah mulai tertutup oleh jaringan tulang rawan. Terjadi dislokasi pada femur dan patella yang segera direlokasi. Kenan setengah sadar saat itu. Sebenarnya ia inginnya sepenuhnya pingsan, tetapi toh ia masih memiliki kesadaran, dan ingat betapa kerasnya lolongannya saat tulang paha dan tempurung lutut kanan digerakkan paksa agar kembali ke tempat semula. Kaki kanannya masih berdenyut karena ligamennya banyak yang rusak. Itulah yang sedang dikerjakan oleh pak Yanto.
“Otot-ototmu harus dikembalikan dan dilatih lagi. Bulan depan kamu mau ikut 10K, nggak?” sambil menekan dan mengurut kaki kanannya, sama sekali tak mempedulikan desis kesakitan Kenan yang terlalu malu untuk berteriak, apalagi meneteskan air mata. Rasanya ia ingin menendang pak Yanto, kalau saja kakinya tak bengkak dan nyeri.
Edisi penyiksaan usai sudah. Kenan keluar dari ruang Fisioterapi dengan raut muka yang masih menahan rasa nyeri, efek dari sentuhan tangan ajaib Pak Yanto.
"Syukurlah sudah selesai. Aku cemas menunggumu nggak keluar-keluar. Masih parahkah kondisinya?" tanya Hitomi sambil sedikit berlari ke arah Kenan.
"Doakan saja tulang kakiku ini cepat kembali seperti semula. Semoga berkat pertolongan-Nya lewat tangan Pak Yanto, aku benar-benar segera pulih dan bisa mengikuti kejuaraan lagi," jawab Kenan dengan raut muka yang serius.
"Aamiin ..." Hitomi pun dengan cepat mengaamiininya dengan perasaan penuh harap akan terkabulnya doa-doa mereka berdua.
Kenan mulai berlatih kembali untuk menghadapi lomba 10K. Dengan semangat empat lima layaknya pejuang, Kenan berlari dan berlari. Dengan dukungan Tomi menambah semangat tujuh belas kali lipat. Entah telah berapa kali lapangan bola ini dikitarinya. Saking semangatnya, ia sampai lupa, bahwa ia pernah cidera.
"Aduuh.." serunya. Akan tetapi semangat itu melebihi rasa sakitnya, hingga ia mengabaikan rasa sakit tadi. Toh, rasa sakit itu menghilang kembali. Satu minggu ke depan, perlombaan itu dimulai. Kenan harus berlatih lebih keras lagi.
"Seminggu...!" guman Kenan dalam hati. Bisakah aku memenangkan perlombaan ini dengan keadaan kakiku yang belum sempurna? "Aahhh....!" keluh Kenan lagi.
"Hayo! Ngapain aahhh segala? Lanjut lagi larinya!" bentak Tomi sambil menyodorkan botol minuman. Gadis tomboi yang tak punya perasaan!
"Tuh, Pak Yanto nungguin di ujung track. Kan masih kurang 2 kilometer," sambung Tomi sadis. Ingin rasanya Kenan mencium gadis itu saking kesalnya.
"Baik, aku akan menuntaskannya dengan cepat. Tapi ingat, kau harus memberiku hadiah," teriak Kenan sambil berlari kencang dan semakin kencang, lupa sudah dengan cidera yang pernah dideritanya. Kenan melanjutkan lari, meski sedikit sakit di kakinya.
"Hem, aku harus bisa!" batinnya. Dengan peluh yang membasahi seluruh badannya, akhirnya ia berhasil mencapai track yang telah ditentukan.
"Good job Kenan, waktumu kian cepat untuk bisa mencapai finish. Hari ini cukup dulu latihannya. Besok kita mulai lagi. Tetap semangat ya!" kata Pak Yanto sambil menepuk bahu Kenan. Dengan nafas terengah-engah, Kenan menengok ke belakang. Ada Tomi yang berlarian ikut mengejar Kenan mencapai garis finish. Seketika tawa Kenan pecah demi melihat Tomi terengah-engah dan berwajah pucat.
"Rasain ya, emang enak lari..." batinnya.
"Eh, Kenan, tungguin aku... " seru Tomi.
"Iya, aku tungguin deh. Setelah ini, traktir aku ya, es campur dan semangkok bakso di kantin. Katanya kamu yang traktir,"
"Iya, beres...."
Akhirnya mereka berdua menuju kantin untuk makan bakso. Sedang pak Yanto menuju tempat parkir untuk pulang. Hari kian sore, nampaknya segera petang.
"Hhhmmmm...,bakso ini yang selalu mengingatkanku padamu, Kenan." Seloroh Tomi sambil menikmati semangkok bakso pesanannya. Kenan tersenyum memandang Tomi yang lahap dengan makanannya. Keesokan harinya tiba tiba Tomi sudah berdiri di depan pintu kamar tidur Kenan sambil berteriak " ayooo banguuuuunn..! Hari ini latihan terahkir mu sebelum perlombaan di mulai."
Dengan setengah malas Kenan bangun mulutnya tak berhenti ngomel "dasaar cewek di mana-mana berisik" Tomi terbahak melihat sahabatnya bersungut-sungut.
“Kenan, ayooo … bersiaplah. Sebentar lagi akan dimulai,” teriak Pak Yanto di arena lapangan kejuaraan lari 10 K. Dengan setengah hati dan sambil menoleh ke kanan ke kiri, Kenan melangkah ke tengah lapangan. Ia mencari seseorang. Namun sejauh mata memandang, ia tidak menemukan seseorang yang ia harapkan untuk memberikan support.
“Ayoolah… semangat, Kenan! Ingat apa yang telah Hitomi katakan kepadamu kemarin,” seru Pak Yanto menyemangati. Peringatan Pak Yanto membakar semangat Kenan dengan tiba-tiba. Ia melangkah dengan semangat yang berkobar.
“Aku harus menang. Aku akan mempersembahkannya untukmu, Hitomi!” jerit Kenan dalam hati.
***
Hitomi terbaring di ruang ICU masih tidak sadarkan diri. Ia menjadi korban tabrak lari sepulang dari tempat latihan Kenan kemarin. Untung masyarakat di sekitar kejadian masih ada yang peduli dan membawanya ke rumah sakit. Dengan identitas yang ada di dompet, warga setempat menghubungi keluarga Hitomi.
***
“Selamat atas prestasi yang telah kau raih, Kenan. Tapi ada satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu,” seru Ana dengan suara yang sedikit bergetar karena menahan rasa haru dari pinggir lapangan. “Mana Hitomi? “ tanya Kenan tidak mempedulikan ucapan selamat dengan wajah sedikit cemas karena melihat Ana datang sendirian. Ana pun menceritakan apa yang telah terjadi dengan Hitomi. Tanpa banyak tanya lagi, Kenan dan Ana pun segera menuju ke rumah sakit di mana Hitomi sedang dirawat.
***
“Maaf Mbak, izinkan saya untuk melihat Hitomi,” pinta Kenan kepada salah satu perawatyang sedang berjaga di ruang ICU dengan wajah tegang dan medali di tangan. “Adik yang bernama Kenan ya? Sejak tadi ia menyebut nama itu,” kata perawat itu dengan santun dan langsung mengantar Kenan menemui Hitomi.
***
“Ini janjiku padamu, Hitomi!” bisik Kenan seraya mengalungkan medali di leher Hitomiyang masih tak sadarkan diri. Kenan memeluknya dengan manahan sesak napas yang mulai menyerangnya karena kesedihan yang amat dalam. Tiba-tiba ada sesuatu yang hangat menetes di tangan Kenan. Ia pun mengangkat tubuhnya. Alangkah bahagianya, dilihatnya Hitomi meneteskan air mata meski tubuhnya masih belum bergerak.
“Alhamdulillah, Terima kasih .. Ya Allah … Semoga Engkau memberikan kesembuhan kepada Hitomi. Saya akan membuatnya bahagia. Aamiin …”
Siti Nur Hasanah
Gresik, 9 Mei 2016
Sumber Gambar: https://www.google.co.id/search?q=start&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar