Dewa Ruci ( Tamugusi ke - 55 )
Saat berkunjung ke pantai Dewa Ruci di Purworejo salah seorang kawan yang kebetulan bukan orang Jawa bertanya “Siapa Dewa Ruci” itu. Saat itu kami berfoto persis di bawah patung Dewa Ruci. Sebagai orang Jawa saya pun jadi malu karena saya kurang paham tentang tokoh pewayangan sehingga saya hanya menjawab itu ada dalam sastra Jawa cerita tentang Dewa Ruci. Memang pernah lihat tayangan kisah Ramayana dan Mahabharata. Namun detailnya perlu lebih mendalami dengan membaca lebih banyak lagi.
Untuk mencari tau tentang kisah Dewa Ruci, saya browshing di mesin pencari Google. Saya mendapatkan bebarapa link blog yang berbicara tentang Dewa Ruci. Saya mencoba menceritakan kembali dengan bahasa saya yang tentu saja tidak sebagus para pakar sastra Jawa. Ini merupakan tangkapan saya dalam membaca berbagai sumber belajar tentang Dewa Ruci.
Kisah dalam dunia pewayangan yang merupakan media untuk menuturkan pelajaran hidup yang umumnya diadaptasi dari kisah Ramayana dan Mahabaratha. Kitab Ramayana dan Mahabaratha adalah dua kitab suci dari saudara kita sebangsa setanah air yang beragama Hindu. Aslinya dua kisah tersebut berasal dari India, kemudian pada kisaran abad ke 7 masuk ke Nusantara. Namun demikian ajaran moralnya tentu saja bersifat universal, karena wayang ini selain bersifat hiburan juga di dalamnya ada pitutur atau nasihat agar hidup manusia itu arif dan bijaksana sesuai dengan norma ajaran agama.
Kisah ini syarat akan perjalanan spiritual seseorang bernama Bima atau Bratasena. Banyak versi dalam cerita ini namun memiliki benang merah yang sama. Menurut Poerbatjaraka, doktor Antropologi itu (1940), paling tidak ada 40 naskah lakon yang juga disebut sebagai Bima Suci ini. 19 naskah diantaranya tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Yang paling terkenal, adalah gubahan pujangga keraton Surakarta Yosodipuro berjudul “Serat Kidung Dewa Ruci”, yang disampaikan dalam bentuk tembang macapat, dengan bahasa Kawi-Sansekerta dan Jawa Kuno.
Kisah ini terjadi saat anak-anak Pandu Dewanata yang terkenal dengan sebutan Pandawa Lima bersama saudara-saudara sepupunya yakni anak dari kakaknya Pandu yang bernama Destrarastra yaitu Kurawa yang berjumlah 100 itu sedang menuntut ilmu pada guru yang sama yaitu Resi Dorna atau Kumbayana.
Walau pun saudara sepupu namun karakter mereka beda jauh. Pandawa lima itu orangnya baik, jujur dan pintar, sedangkan Kurawa itu berangasan dan pendek akal dalam tindak tanduknya. Mereka bersaing untuk mendapatkan tahta Astina pura yang sesungguhnya adalah hak Pandawa lima. Astina yang dikuasai oleh prabu Destrarastra sejatinya adalah tahta titipan dari Pandu adiknya yang meninggal saat masih muda.
Kurawa dengan berbagai cara baik halus maupun kasar berusaha menyingkirkan Pandawa lima yang akan menjadi penghalang untuk mendapatkan tahta Astina Pura. Terlebih lagi pamannya adik dari ibu Kurawa yang bernama Harya Sengkuni selalu menasihati ponakannya agar selalu memusuhi Pandawa, Bahkan yang paling jahat adalah berhasil membujuk Resi Dorna agar berada di pihak Kurawa untuk mendapatkan tahta. Sasaran tembaknya adalah Pandawa kedua Raden Werkudara atau Arya Bimasena atau Bratasena dan ketiga yaitu Raden Janaka atau Harjuna yang ilmu mereka sundul langit. Jika mereka berdua berhasil ditaklukan maka yang lain kecil saja pikir mereka.
Sesudah menyelesaikan sesi latihan ragawinya kemudian Bima diutus sang Guru Resi Durna atau Drona untuk mencari “Tirta Prawitasari” (air kehidupan), guna menyucikan bathinnya demi kesempurnaan hidupnya. Air itu, harus dicari di hutan Tibaksara di gunung Reksamuka. Aryabima pun hanya samikna waatakna atau menurut saja tanpa membantah sedikitpun.
Saat berpamitan menghadap ibunya Dewi Kunthi, saudara-saudaranya yang lain juga mengingatkan Bima bahwa, mungkin ini hanya jebakan Sangkuni. Karena hutan itu sudah terkenal sebagai “alas gung liwang liwung, sato mara, sato mati” (hutan raya tak tertembus, mahluk yang mencoba masuk pasti mati). Namun Bima tetap kukuh akan melaksanakan perintah sang Guru Resi Drona. Karena Bima memang sangat hormat dan taat pada gurunya. Walaupun dia harus menyerahkan jiwanya, dia tetap akan menjalaninya. Melihat keteguhan hati anaknya, sang Ibu akhirnya merestuinya.
Seluruh hutan sudah dijelajahinya, tapi yang dicari tak kunjung ia dapatkan. Justru dalam pencarian air itu, Bima malah membangunkan 2 raksasa Rukmuka dan Rukmakala penunggu hutan dari tidur panjangnya. Perkelahianpun tak dapat dihindari dan 2 raksasa itu berhasil terbunuh oleh Bima. Kalau dalam pakem Sabdo Dadi Bratasena disuriuh mencari kayu gong susuhing angin. Makna dari kayu gong susuhing angin adalah sebuah keinginan yang besar untuk mencapai sebuah tujuan yang digambarkan seperti angin yang besar. Dua raksasa yang berhasil dikalahkan itu berubah wujud menjadi Dewa Bayu dan Dewa Indra. Oleh mereka berdua, Arya Bima atau Bratasena diberikan Ali-ali Manik Panungguling Warih yang mempunyai kekuatan dapat bernafas di dalam air.
Menyadari bahwa yang dicarinya tidak ada, Bima bergegas pulang dan kembali menghadap gurunya Resi Drona. Gurunya yang semula kaget melihat Bima masih hidup keluar dari hutan Tibaksara itu, lalu menyuruhnta untuk melakukan yang lebih sulit. Tirta Prawitasari itu harus dicarinya di kedalaman samudera. Tanpa banyak bertanya, Sang Bimasena atau Bratasena pun langsung berangkat menuju Samudera Minangkalbu.
Bima langsung masuk ke dalam samudera, lalu seisi lautan diaduk-aduknya. Seekor Naga yang bernama Panemburnawa yang menghalangi jalannya dengan melilit tubuh Bima hingga ke lehernya pun berhasil dikalahkan dan ditaklukkannya dengan menancapkan kuku pancanaka, hingga naga tersebut pada akhirnya rela mengabdi pada Bima dengan masuk di paha kirinya sebagai kekuatan. Walau telah dengan susah payah mencari dan sudah mengalahkan mahluk lautan yang menghalangi, akan tetapi Air Kehidupan yang dicarinya tidak juga diketemukannya.
Saat sedang bingung, dari kejauhan muncul mahluk kecil yang mirip dengan dirinya. Dialah Dewa Ruci yang artinya Dewa Kerdil. Kemudian Dewa tersebut memerintahkan Aryabima untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui telinga kirinya. Awalnya ragu namun akhirnya Aryabima mengikuti perintah Dewa tersebut dan saat sudah berada di dalam tubuhnya, Aryabima atau Bratasena melihat pemandangan yang belum pernah dilihat sebelumnya. Setelah keluar dari telinga Dewa Ruci, Bratasena menanyakan tentang tempat Tirto Suci Pawira Sari dan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu atau disebut juga ilmu tentang kesempurnaan. Setelah semuanya jelas Raden Bratasena kembali ke negaranya untuk menjadi kesatria kembali.
Intinya adalah tidak ada yang instan dalam meraih segala sesuatu. Harus melalui proses yang besungguh-sungguh. Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan berhasil. Dewa Ruci dalam hal ini sebenarnya adalah lambang sukma atau jiwa manusia yang sudah beroleh wahyu atau ilham, sudah tercerahkan oleh hidayah atau petunjuk dari Tuhan sehingga dalam menjalani kehidupan akan menjadi arif dan bijaksana tidak lagi dihalangi oleh nafsu angkara murka. Ini semacam perjalanan atau suluk jiwa atau sukma atau rohani manusia untuk mengenali diri lebih dalam sampai menemukan sang khaliknya dan mengabdi sebagai hambaNya dengan penuh keikhlasan.
Karakter Aryabima atau Bratasena yang pantas diikuti adalah selalu ta’at dan takzim pada guru, punya kemauan besar dalam meraih cita-cita, selalu bersungguh-sungguh dalam menaklukkan nafsu angkara murka sehingga berhasil menjadi pemenang.
Wallahu’alam.
Yogyakarta, 22 September 2020
Sumber gambar : Galeri pribadi
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Dewa_Ruci#:~:text=Dewa%20Ruci%20adalah%20nama%20seorang,falsafah%20hidup%20moral%20orang%20Jawa.
https://www.kompasiana.com/jayakardi/5500b4c8a33311a872511e25/kisah-dewa-ruci-perjalanan-tassawuf-cara-orang-jawa?page=2
https://phdi.or.id/artikel/belajar-dari-lakon-dewa-ruci
https://www.sejarah-budaya.com/2018/12/31/dewa-ruci-babar-sejatining-bimo-suci-pencarian-sang-jati-diri/
https://fatonikeren.blogspot.com/2016/07/makna-islami-yang-terdapat-dalam-lakon.html
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wuih lengkip sekali. BTW saya terganggu dengan kata "browshing".
browshing artinya melihat-lihat, kalau browsing artinya menjelajah di internet. Yang saya maksud sebenarnya yang kedua namun typo.
Mantap ceritanya... Semoga bisa mengambil pelajaran dari cerita tersebut, semangat selalu. Salam literasi
Terimakasih pa Muslih. Salam Literasi
Ulasan yang sangat memadai untuk dijadikan referensi.
Masha Allah ...terimakasih pak Jamal
jika ada waktu dengan umur panjang ajak kita bun ke dewa ruci mantap bun
Iya dong boleh banget :)
Keren Bu, saya sendiri juga nggak tahu tentang dewa Ruci, padahal saya putri solo. Hehehe
he he iya bun. Kita juga perlu tau ya budaya Jawa.
Senangnya berpetualang, Bun...
Terimakasih bun. Iya senang
Barang siapa bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil.. Trimakasih Bunda, secuil kaminat yang bunda tulis tersebut, bermakna banget buat saya...Salam literasi
Terimakasih juga telah berkunjung. Salam Literasi
Panjang sekali Bun. Mungkin bisa dijadikan 2 tulisan
Iya ya. Terimakasih masukannya.