Menceritakan Pengalaman
Entah apa yang akan aku tulis hari ini. Ibu Lili menugaskan kami untuk menulis cerita pengalaman. Pengalaman, ya pengalaman. “Salamat pagi.” Ibu Lili menyapa kami. “Pembelajaran kali ini mengenai menceritakan pengalaman.” Lanjutnya sambil tersenyum bahagia. “Kalian boleh menceritakan pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, atau menyebalkan.” Sambungnya sambil menuliskan ketiga tema itu di papan tulis. “Kalian mempunyai waktu 40 menit untuk menuliskannya, kemudian ceritakan pengalaman itu di depan kelas.” Ibu Lili menjelaskan.
Terus terang, tidak ada yang menarik atau berkesan dalam hidupku. Menatap papan tulis yang berisi tiga tema yang ditawarkan oleh Bu Lili membuat pikiranku berjalan-jalan.
Berpikir ingin menulis pengalaman yang menyenangkan, apakah aku pernah mengalami hal yang menyenangkan? Karena teringat waktu sekolah dasar, aku bersama-sama anak panti asuhan lain sepulang sekolah harus mencari barang bekas. Kami menyusuri kampung, mengetuk pintu demi pintu menanyakan apakah mereka punya barang bekas yang akan dibuang. Kami melakukan hal itu dengan riang gembira, sepanjang jalan tertawa-tawa, bercanda, dan bernyanyi-nyanyi. Apakah itu pengalaman yang menyenangkan? Entahlah, rasanya kalua dipikir sekarang itu adalah hal yang jauh dari kata menyenangkan.
Sepuluh menit berlalu, kertasku masing kosong. Pikiranku mulai pusing harus memikirkan tema untuk menceritakan pengalaman.
Bu Lili berjalan-jalan mengelilingi kelas, melihat setiap kertas yang ada di atas meja para muridnya. Terlihat simpul senyum di wajahnya, mungkin Bu Lili melihat tulisan mereka yang baik dan menarik. Ya mungkin pengalaman mereka sangat bagus. Mungkin mereka mempunyai pengalaman yang menyenangkan dengan keluarga. Pergi berjalan-jalan ke tempat wisata saat libur sekolah, berkunjung ke rumah nenek saat lebaran atau dengan kata lain mudik. Kata mudik tidak asing lagi di telingaku, tapi aku tidak pernah mengalaminya. Mudik? Siapa yang akan aku kunjungi, sementara aku hanya seorang anak panti asuhan yang entah keturunan siapa.
Aku melihat ke sekeliling kelas. Teman-temanku begitu lancar menuliskan kata demi kata di atas kertas di hadapnnya. Ibu Lili berdiri di hadapanku, sontak aku sangat terkejut. “Eh. Ibu” tidak sadar kata itu keluar begitu saja, sambil menutupi kertas dengan tangan. “ Belum ada yang kamu tulis?” Ibu Lili menatapku heran. Aku hanya mengangguk saja. “Cepat selesaikan!” Seru Bu Lili sambil berjalan ke belakang kelas. Pantas Bu Lili begitu heran melihatku, sudah 20 menit lebih waktu berjalan sementara tidak ada satu katapun di atas kertas putih yang ada dihadapanku ini.
Aku menatap papan tulis kembali, membaca berulang-ulang tiga tema yang tertulis di atasnya. Berpikir ke tema kedua, hal yang menyedihkan. Bagian mana yang akan aku tulis? Semua hal dalam hidupku adalah kesedihan dan kepedihan. Saat masih bayi aku kehilangan orang tua. Cerita Ibu Asuh, aku ditemukan di halaman panti asuhan yang ia bina. Aku berumur sekitar tiga bulan hanya berbalut selimut biru bercorak beruang ditidurkan di atas keranjang tepatnya keranjang yang digunakan ibu-ibu untuk tempat belanjaan, disimpan di bawah pohon mangga. Hari-hariku di panti asuhan tidak ada yang istimewa, sampai pada waktu aku ada yang mengadopsi.
Di tempat baru dengan keluarga baru tidak mengubah apapun, kehidupanku masih seperti saat aku di panti asuhan. Aku diperlakukan tidak baik saat ayah angkatku tidak ada. Mereka, ibu dan saudara angkatku tidak suka keberadaanku di tengah-tengah mereka. Saudara angkatku selalu bersikap sinis. Ia tidak pernah menyukaiku dari semenjak aku datang. Tidak di rumah pun di sekolah juga, ia memperlakukanku sebagai pembantunya. Di sekolah kerapkali aku dibulinya, mengerjakan tugasnya, membawakan tasnya, dan memberikan jawaban ulangan untuknya.
Di rumah aku mengerjakan semua pekerjaan, mulai dari menyapu, mengepel, memasak, menyetrikan, dan sebagainya sampai aku tidak ada waktu untuk diriku sendiri. Tiba tengah malam aku mengerjakan tugas sekolah. Kemudian kembali bangun pukul 4 pagi, harus lebih dulu dari ibu angkatku. Karena pernah suatu hari aku bangun pukul 5 pagi, ibu angkatku marah besar, aku dipukulnya dan dibiarkan seharian di kamar tanpa diberi makan.
Waktu menunjukkan sudah 35 menit, belum satu katapun aku bubuhkan tinta hitam ini di atas kertas putih itu. Memikirkan tema ketiga tentang hal yang menyebalkan, membuatku sakit. Adilkah bila aku membenci dan berlaku tidak senang atau merasa tidak suka kepada ibu angkat dan saudara angkatku? Rasanya tidak pantas, karena mereka telah memberikan aku hidup.
Sesaat setelah aku diadopsi oleh keluarga Anwar, panti asuhan yang menjadi hidupku diambil alih oleh ahli waris. Aku adalah anak terakhir yang diadopsi. Dua bulan sebelumnya, Ibu Asuh menitipkan sebagian anak-anak di panti ke tempat-tempat panti social di kota ini. Ada beberapa anak yang beruntung diadopsi oleh keluarga yang tidak memiliki anak. Mereka menyanyanginya. Aku bertahan karena melihat Ibu Asuh yang kesepian. Betapa tidak ia ditingalkan anak-anak yang telah diasuhnya dari mereka kecil. Dan rumah panti asuhan ini adalah tempatnya memberikan kasih sayang selama puluhan tahun. Entah berapa anak yang ia asuh telah sukses di luar sana. Ibu Asuh memintaku untuk pergi bersama keluarga Anwar karena Pa Anwar adalah teman dekat Ibu Asuh, sementara Ibu Asuh akan pergi ke luar kota menata hidup baru.
Tidak dapat kubayangkan, jika aku tidak diadopsi oleh keluarga Anwar. Pa Anwar begitu baik, ia tidak pernah membedakan aku dengan anak sematawayangnya. Ibu Anwar yang memperlihatkan ketidaksuakaannya kepadaku, tetapi dibalik itu semua ia adalah ibu yang baik. Perhatiannya selalu ia berikan kepada Ita saudara angkatku. Dan ia pernah merawatku ketika aku sakit di rumah sakit. Kehadiranku membuat ia takut akan perhatian suaminya terhadap Ita. Begitu juga dengan Ita. Ia sangat takut kasih sayang ayahnya direnggut olehku.
Mereka telah memberikan kesematan kedua untuk aku hidup layak. Saat bayi aku disimpan begitu saja di halaman panti asuhan, dan kemudian dibesarkan oleh Ibu Asuh. Dan sekarang aku diselamatkan kembali dari ketidakpastian hidup oleh keluarga Anwar. Hal mana yang membaut aku membenci mereka?
Teringat orang tuaku, apakah mereka yang pantas aku benci? Dan hal yang menyebalkan adalah aku lahir kedunia ini atau lahir dari orang tua yang tidak pernah menginginkanku. Dan hidup sebagai seorang gadis yang tak pernah mempunyai pengalaman.
“Waktu 40 menit sudah habis, silakan kumpulkan ke meja depan!”. Ucapan Ibu Lili mengagetkanku, belum ada satu hurufpun tertulis di atas kertas itu. Aku masih bingung akan menulis apa.
Lembar kertas yang di atas mejaku sudah diambil. Ibu Lili duduk di kursinya, melihat-lihat tulisan anak-anak didiknya. Terlihat matanya terbelalak saat memegang kertas. Kertas itu adalah milikku yang di atas sudut kanan hanya tertulis Asma.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wow, kereeeeen Bund. Itu pula yang terjadi padaku . Sukses selalu dan barakallah fiik
Alhamdulillah.. Terima kasih bu