Tagur 28 'diplomasi Iren'
Masih terbayang di mata Iren saat kemarin selesai ia merapikan makan malam, ia mengabarkan pada suaminya jika keluarganya di kampung tengah tertimpa musibah, ia ceritakan dengan air mata, yang ia tahan untuk tidak menetes walau dari getaran suaranya ia menahan tumpahan rasa sakit di dadanya, dan kesedihan yang tiada tara. Iren tak ingin dikatakan wanita yang lemah dan hanya bisa menangis dalam menyelesaikan masalah. Itu ucapan yang membekas dalam kalbunya saat ia dimarahi oleh suaminya sewaktu ia mengadu dompetnya kecopetan saat di pasar.
Ia menahan ungkapan curahan hatinya sejak bada Dzuhur, mendapat kabar dari kakaknya. Rumah mereka saat kecil tinggal bersama telah habis di lalap si jago api. Bumi yang di pijak oleh Iren saat itu seperti berhenti berputar.
Seandainya ia miliki sayap, saat itu pula ia ingin terbang melihat keadaan kondisi Bunda, orangtuanya yang tinggal semata wayang. Walau beliau di temani oleh adiknya dan ke dua cucunya, yang juga sudah yatim sejak tiga tahun yang lalu.
Sebelum suaminya kembali dari kerjanya, ia berusaha kembali terbang sepuluh menit sebelum suami tiba di rumah. Tapi apa daya itu hanya angan liarnya saja.
“Yah,sudah dapat kabar atau berita belum, tentang kebakaran yang terjadi di kampung tempat tinggal bunda kecil ?”tanya Iren mengawali percakapan, saat ia lihat suaminya tengah bersantai duduk di ruang tengah, sambil menonton TV. Iren terdiam sejenak untuk mendengar jawaban suaminya.
Semenit,lima menit sampai lima belas menit suaminya tak merespon apa yang di tanyakannya.
Iren menarik nafas panjang, batinnya tengah sedih, melihat sikap suaminya kini, entah kenapa untuk kali ini ia merasakan pedih sekali, walau sebenarnya perlakuan seperti ini kerap kali ia dapatkan. Tapi ia anggap sebagai angin lalu saja, biasanya ia akan tinggalkan, dan mengalihkan hatinya untuk tidak”baper”(di bawa perasaan).
“Ayah, jawab donk! Ibu bicara serius, sama ayah”, kata Iren sedikit menaikkan voltase beberapa oktaf untuk minta perhatian. Mendengar itu suaminya hanya menoleh ke arahnya.
“Terus jika saya sudah tahu, memang saya mau apa?teriak-teriak minta tolong, atau saya pergi ke kampung untuk melihat keadaaan di sana”,ucap suaminya tak kalah ngeggas, menjawab pertanyaan Iren.
Ia berjalan keluar meninggalkan Iren yang kini duduk sendiri di ruang tamunya, kali ini ia berganti matanya memandang TV, walau pandangannya dan otaknya tidak ada pada ruangan itu, ia sama sekali tak memperdulikan tayangan TV yang sedang disiarkan.
Hati Iren tak dapat menahan rasa sakiit menghujam, ucapan suaminya melebihi belati menusuk batinnya. Ada rasa panas di kelopak matanya, nafasnya serasa sesak di dada, hanya hitungan detik. Kristal bening muncul di sudut matanya, jatuh dan membentuk parit mengalir di kedua pipinya yang masih sintal dan putih mulus walau tanpa polesan.
Iren memang cantik, wajahnya oval dengan keindahan di kedua matanya yang bulat dengan bola mata hitamnya lebih dominan, sehingga jika di lihat sangat indah, di tambah lentik dan panjang bulu matanya, di apit oleh alis yang tebal membentuk bulan sabit alami. Dagunya bulat ada belahan di tengahnya. Gingsul dan dekik pipinya yang membuat orang mabuk kebayang bila melihat saat ia tersenyum.
Iren tak mampu berkata-kata, ingin ia lanjutkan percakapannya, dengan menyusul suaminya duduk di teras, rasanya tidak mungkin. Ia kuatir nanti ada telinga yang menguping dari balik tembok. Walau saat itu terlihat di depan rumahnya tidak ada orang kecuali suaminya yang duduk sambil menghisap rokoknya.
Rumah Iren rapat dengan tetangga sebelah di tambah rumannya berbentuk cluster yang tak memiliki pagar, hanya ada taman kecil yang memisahkan antara teras dan jalanan.
Selain itu ia tak ingin anak-anaknya mendengar keributan antara ayah dan bundanya. Ini yang selalu Iren jaga sekali.walau apapun yang di rasakan, sedikitpun tak ingin ia tunjukkan di hadapan kedua anaknya. Jika ia tak tahan menanggung beban ia akan pergi dan janjian pada suaminya untuk bicara di suatu tempat, menyelesaikan masalahnya. Jika sampai rumah mereka sudah tidak membawa konflik.
Kali ini Iren, tidak mampu membendung airmatanya jatuh membasahi ppipinya, segera ia pergi kekamar mandi, untuk berwudhu menenangkan kepedihan hatinya untuk mengadu yang memiliki hati dan hidupnya.
Iren sering kali seperti itu. Menyembunyikan tangisnya denga air wudhu dan sholatnya, jika tidak ia lantunkan kalam Illahi, di sanalah ia terkadang terisak menangis. Putra dan suaminya jika melihat hal itu bagi mereka adalah hal yang sudah biasa. Karenanya mereka tanpa komentar.
Hari ini Iren harus dapat meneyelesaikan kemelut hatinya, ia tak ingin mendapat perlakuan “dikacangi “oleh suaminya seperti kemari saat habis makan malam. Dengan penuh kekuatan zikir dalam hatinya, ia dekati suaminya.
“Ayah, maaf ibu mau ngomong serius dengan ayah,”ucap Iren duduk di tepi ranjang, sambil memijiti kaki suaminya. Ia melihat suaminya masih asyik bermain dengan gawainya. Tapi kali ini. Iren yakin suaminya mendengar apa yang dikatakan, walau ia diam tanpa jawaban.
“ternyata kebakaran yang kemarin itu, rumah ibu ikut menjadi korban, tapi Alhamdulillah mereka selamat tanpa mengalami suatu apapun”, kata Iren tangannya masih memijiti kaki suaminya.
“lalu…?”tanya suaminya, memotong ucapan Iren.
“saya mohon di ijinkan, agar ibu, sementara ini tinggal sama kita, Dek Sekar beserta anaknya, mereka di jemput oleh pihak keluarga almarhum suaminya”, kata Iren melanjutkan penjelasannya.
Sejujurnya saat ia mengucapkan itu, batinnya berzikir agar Allah membukakan pintu hati suaminya, untuk mengabulkan permohonannya.
Perasaannya kali itu berkecamuk penuh harap, ia menunggu jawaban suaminya.
“Di sanakan banyak kakakmu, kenapa harus ke sini?”ucap suaminya penuh sinis. Kembali tangannya masih terus dengan gamenya.
“selama ini khan mereka yang menjaga Ibu,dan membantu Ibu, apa salahnya kali ini, kita juga turut membantu mereka, dengan membawa ibu, kerumah kita,”kata Iren dengan hati-hati sekali ia mencari kata agar tidak salah dalam berucap. Saat itu ia merasakan seperti seorang yang tengan menghadap Boss besar agar proyeknya dapat terealisasi.
“kamu pikir, ekonomi kita cukup,” ucap suaminya, kali ini ia menghentikan gamenya, dan ia duduk memandang Iren. “untungnya kamu kerja, kita jadi tidak kekurangan sekali, kakakmu khan orang yang sudah sukses, wajarlah mereka membantu orang tuamu,”ucap suaminya memberikan penjelasan, agar dapat dimengerti Iren.
“tapi, yah! ijinkanlah saya untuk merasakan berbakti juga, selama saya masih punya kemampuan,”kata Iren memelas. “Andai bundamu masih ada sayapun akan mengijinkan beliau ada di rumah kita.”lanjut Iren membuka pola pikir suaminya.”Allah akan memberkahi kita dengan rezeki, yah bila kita berbakti pada oarng tua.”kata Iren lagi.
“Ya Allah, bukalah pintu hati suamiku, untuk mau mengabulkan permintaanku”gumam Iren dalam hati denga penuh harap dan pasrah, biarlah ia serahkan hati suaminya pada Pemilik hati semua insan.
Apa jawaban suaminya Iren kita lanjutkan esok yah!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren Ceritanya. Saya tau dari WA menulis novel. Salam kenal. Sudah saya folow.
Terimakasih Bu...salam kenal kembali dari Cakung Jakarta timur