Malam yang hening bermandikan cahaya rembulan purnama menjadi saksi bisu atas sebuah keserakahan akan nikmatnya duniawi. Setan iblis pun tertawa puas melihat kelakuan anak cucu adam yang telah ia gelapkan mata hatinya, jatuh menuju jurang kesesatan. Orang yang berpakaian serba hitam itu masih memandangi mayat yang bersimbah darah itu dengan tatapan yang kalap dan tanpa belas kasih, sebilah keris yang masih menteskan darah masih digenggamnya kuat walaupun ia tau dia telah mati. Kerisnya kini sudah kenyang meminum darah serta hatinya pun sudah puas dengan sesuatu yang dia sebut dengan balas dendam.

Orang bertopeng hitam itu tidak menyadari akan apa yang telah dilakukannya itu, hatinya telah menghitam, hatinya telah beku, dibutakan oleh setan dan nafsu angkara murka. Sujiwo merasa sama sekali tidak bersalah karena menghilangkan sebuah nyawa anak Adam. Ki Wicaksono menjadi sasaran amukan keris Kyai Sangkelat miliknya,”kau memang pantas mati…”gumamnya lirih. Ki Wicaksono, nama dengan dirinya sangat bertolak belakang satu sama lain. Penguasa seperti dirimu yang hanya bisa menyengsarakan orang lain tidak pantas diberikan hidup, batin Sujiwo.

Wicaksono adalah orang kaya di kampung itu, yang dengan kekayaan yang dimilikinya dia memegang kuasa atas perkampungan itu. Semua orang tau bahwa Ki Wicaksono bukanlah orang kampung asli itu, dia adalah pendatang yang mengiming imingi warga dengan janji manis yang diucapkannya. Ketika semua terlena, berubahlah apa yang dia ucapkan dengan kesejahteraan penduduk menjadi sebuah kesengsaraan yang tiada henti.

Sujiwo merasa Puas dan senang sekali atas apa yang telah dilakukannya, dia merasa telah membebaskan warga kampung dari kesengsaraan serta kesewenang wenangan. Sujiwo kembali memasukan Keris Kyai Sangkelat miliknya kedalam warangka nya, dengan lega hati dia keluar dengan diam diam dari rumah itu. ‘biarlah dirinya yang akan menanggung semua dosanya sendiri’ batinya.