Siti Suhelni

Kelahiran Medan generasi tahun 80'an merupakan sulung dari tiga bersaudara. Menjadi guru merupakan cita-cita sejak SMP. Dan Alhamdulillah dengan segala pu...

Selengkapnya
Navigasi Web

10. Niat Baik dan Tanggung Jawab Sang Nambo

1. Niat Baik dan Tanggung Jawab Sang Nambo

Kaluak paku kacang balimbiang

Daun bakuang lenggang-lenggangkan

Anak dipangku kamanakan dibimbiang

Urang kampuang dipatenggangkan

Juni 1994

Hari ini merupakan hari pengumuman kelulusan ku dari Sekolah Dasar. Kami sangat gembira mendengar berita yang disampaikan oleh Kepala Sekolah bahwa kelas enam tahun ini lulus semua. Teman-teman saling bersuka cita bercerita bahwa mereka akan melanjutkan sekolah di kecamatan. Aku hanya diam saja mendengarkan cerita mereka ada salah seorang temanku yang bertanya aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti hanya kata entahlah aku masih gamang menghadapi masa depanku.

Sesuai dengan makna ungkapan pantun di atas, dalam adat Minang kabau bahwa mamak mempunyai tanggung jawab terhadap kemenakannya. Aku mempunyai mamak yang berada di rantau tepatnya di Bumi Raflesia. Di kampung ibu mamak mempunyai panggilan yang khas yaitu dengan sebutan Nambo. Mamak berkewajiban dalam membimbing kemenakan dalam bidang adat, bidang agama dan bidang perilaku sehari-hari. Kabar aku telah lulus dari SD sampai ke telinga Mamak di rantau.

Suatu pagi nan cerah nenek mendapat surat dari kepala desa yang mana surat itu merupakan surat dari Nambo yang berada di Bengkulu. Nenek berkata bahwa Nambo mengajakku melanjutkan sekolah di Bengkulu. Isi surat Nambo lebih kurang seperti ini “Kepada Amak di Kampung. Amak tolong sampaikan ke pada Eni kalau dia mau berhasil kelak ikutlah bersama Nambo ke Bengkulu akan Nambo sekolahkan sampai tamat karena kalau tetap saja berada di kampung kamu tidak akan dapat melanjutkan sekolah” katanya.

Hati ku sangat sedih di kala itu usia ku yang masih belia ini harus mengambil keputusan untuk berpisah jauh dengan orang tua dan adik-adik ku. Orang tua ku tidak melarang namun tidak pulang menyuruh ku untuk mengikuti kemauan Nambo. Mereka mengembalikan keputusan kepada diriku untuk melanjutkan sekolah kemana pun.

Di saat yang bersamaan Mak wo pulang kampung membawa kabar bahwasanya ada Pak Lek Bapak yang berkerja di PTPN Ophir Simpang Tiga berbelanja ke tokonya. Pak lek tersebut mengatakan tolong sampaikan surat ini kepada Bapak. Dalam surat itu intinya bahwa Bapak diajak bekerja sebagai buruh di sebuah perkebunan sawit yang dikelolanya. Sebagai langkah untuk mengubah nasib katanya dari pada hidup di kampung dengan penghasilan yang tidak tetap.

Dengan pertimbangan yang matang Bapak akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Kinali ikut pak leknya membuka lahan untuk perkebunan sawit. Sementara aku tinggal bersama nenek di kampung sambil menanti pengambilan ijazah SD. Kebimbangan ku bertambah dalam karena Bapak dan Ibu sudah pindah dari Kampung untuk mengubah nasib. Sementara itu di tempat Bapak yang baru belum ada Sekolah SMP adapun jaraknya cukup jauh sekitar sepuluh kilometer.

Akhirnya dengan dukungan dari nenek dan mak wo aku membulatkan tekad untuk mengikuti tawaran Nambo bersekolah di Bengkulu. Walau dengan rasa berat hati aku harus berpisah dengan Ibu dan keluarga ku tapi demi masa depan aku menepis rasa sedih dan bimbang tersebut.

Nenek mengirim surat balasan bahwasanya nenek akan mengantarkan ku ke Bengkulu bulan depan. Sebelum berangkat ke rantau aku sempatkan berkunjung ke tempat Bapak di Kinali. Bersama dengan Nenek aku menaiki mobil dari lubuk sikaping yang melewati jalanan kampung menuju Simpang Empat. Lebih kurang perjanan dua setengah perjalanan kami sampai di simpang kampong pisang lalu dengan menaiki becak motor kami menuju ke tempat Bapak.

Sesampainya di sana aku melihat sebuah rumah papan yang beratapkan daun rumbia dan berlantaikan tanah tanpa ada kamar di dalamnya. Air mata ku menetes dipipi beginilah perjuangan orang tua ku demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dengan mendaftar plasma seharga tujuh ratus lima puluh ribu hasil dari warisan pak de Bapak yang ada di kampungnya karena Pak de itu tidak mempunyai anak sehingga hartanya jatuh kepada keponakannnya yaitu Bapak dan adik laki-lakinya. Di kala itu yang katanya akan mendapatkan satu kapling atau dua hektar kebun sawit. Namun nanti akan berbeda dengan kenyataan yang ada karena tanah yang dikelola Bapak diserahkan oleh tuan tanah kepada pihak ketiga yaitu perusahaan asing yang bekerja sama dengan pemerintah. Bapak hanya mendapatkan hak separuh dari perjanjian awal.

Hal ini lah yang membulat semangat ku untuk merantau jauh mengikuti tawaran Nambo bersekolah ke Bengkulu melihat sulitnya kondisi ekonomi keluarga ku. Semoga dengan aku bersekolah dapat “membangkik batang tarandam” dengan memperoleh pendidikan di kemudian hari aku dapat mewujudkan cita memperoleh pekerjaan yang layak dapat membantu perekonomian keluarga ku. Selamat tinggal kampung, selamat tinggal halaman jo tapian dan selamat tingggal Bapak dan Ibu beserta teman dan handai tolan ku. Doa kan aku akan selamat di perantauan dan berhasil dalam mewujudkan cita-citaku dapat mandiri dalam ekonomi dan bermanfaat bagi orang lain.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post