Siti Suhelni

Kelahiran Medan generasi tahun 80'an merupakan sulung dari tiga bersaudara. Menjadi guru merupakan cita-cita sejak SMP. Dan Alhamdulillah dengan segala pu...

Selengkapnya
Navigasi Web

4. Balik Ke Kampung Halaman Bapak

Tantangan Menulis Hari ke-5

Lanjutan Memoar

Kami balik kampung dengan menaiki kereta api dan membawa barang-barang yang begitu banyak ku lihat. Perjalanan pertama ku di waktu kecil menaiki kereta api merupakan pengalaman yang menyenangkan. Sepanjang jalan aku melihat rumah-rumah dan pepohonan di pinggir jalan seolah-olah rumah dan pohon itu saling berkejaran ingin berpacu dengan kereta api yang ku tumpangi. Sehingga Aku bertanya kepada Ibu, “Bu, Mengapa pohon dan rumah itu mengejar kita?” Ibu tersenyum tidak demikan, nak yang berlari itu kereta yang kita naiki” kata Ibu. Saat itu aku belum begitu paham dengan pernyataan ibu tersebut.

Kampung halaman Bapak sangat jauh dan berada dipelosok serta sepi dari keramaian. Dari stasiun kereta api kami menaiki becak dayung menuju ke rumah Mbah perjalanan sekitar sepuluh kilometer. Selama dalam perjalanan Aku hanya melihat kebun rambung atau karet milik perusahaan asing peninggalan kolonial.

Tidak berapa lama berada di kampung Bapak, maka lahirlah adik laki-laki ku. Aku sangat bergembira mendapatkan adik baru. Saat itu usia ku baru empat tahun aku berlari kegirangan waktu bermain di halaman rumahnya mbah, bersama teman sebaya ku. Mbah wedok mengatakan “ Eni adik mu telah lahir dengan selamat laki-laki nduk”. Aku berlari menuju rumah dan memasuki kamar Ibu dan melihat ibu sedang berbaring dengan adik kecil di sebelahnya berbalut kain bedong. Betapa senangnya hatiku mendapatkan teman baru yang nantinya bisa diajak bermain bersama di saat itu aku ingin menggendongnya tapi ibu melarang ku.

Hati ku sedih saat ibu melarang ku untuk menggendong adik. Lalu ibu berkata” Eni masih kecil belum kuat” Eni bantu Bapak sana mencuci popok adik yang kena pipis. Dengan segera aku berlari ke sumur melihat bapak yang sedang mencuci. Ada yang membuat ku tertawa geli saat itu aku disuruh Bapak menjemur kain adik ke luar. Tanpa pikir panjang di luar ada bambu yang baru ditebang oleh Bapak. Bambu itu rencananya akan dibuat bapak menjadi gedek sebagai dinding rumah. Aku hampir saja ingin menjemur kain di atas bambu yang belum dibersihkan itu. Tiba-tiba uwak ku melihatnya sehingga uwak melarang jangan jemur kain adik di situ nanti badan adik mu gatal-gatal terkena miangnya. Untung saja hal itu belum ku lakukan kalau tidak pasti aku kena marah sama Bapak dan adikku akan menderita gatal-gatal di sekujur tubuhnya.

Pekerjaan Bapak di kampung adalah bertanam sayur-sayuran seperti kangkung, bayam, kacang panjang, dan mentimun. Lalu dijual ke pasar pagi pasarnya cukup jauh dari kampung sekitar 10 kilometer dengan menaiki sepeda Bapak mengantarkan sayur ke pasar. Hasil dari menjual sayur yang tidak seberapa uangnya ditukarkan dengan beras. Yang mana beras itu tidak cukup untuk makan seminggu sehingga harus diselingi dengan merebus atau membakar ubi kayu atau pisang sebagai makanan pokok pengganti nasi.

Di malam hari Bapak membuat atap dari daun rumbia pesanan orang kampung untuk atap rumahnya. Bapak sering tidur larut malam untuk menyelesaikan pesanan atap rumah orang yang hanya berharga dua ratus rupiah per lembarnya. Di lain waktu terkadang Bapak menjual sawo, kelapa, dan rambutan hasil dari kebun embah. Namun semua itu harus dibagi dengan keluarga besar Bapak yang bersaudara enam orang.

Ada dua orang adik Bapak saat itu tinggal bersama keluarga utama Mbah sehingga rumah mbah yang sederhana itu beranggotakan delapan orang bersama dengan keluarga Bapak. Aku masih ingat terkadang mereka sayang kepada kami. Mbah Kakung misalnya, di suatu sore membawa ku membonceng di belakang sepeda anginnya untuk mengajak ku keliling kampung lalu mampir ke warung untuk membelikanku jajanan kerupuk “semprong”. Kerupuk semprong berbentuk seperti telunjuk dan berongga di dalamnya. Lalu mengapa disebut semprong karena bentuknya menyerupai kaca lampu semprong, lampu minyak tanah di kala itu.

Namun di suatu ketika terkadang bisa berprilaku agak garang dan marah saat adik kecilku menangis tidak berhenti kala di tinggalkan ibu menyelesaikan pekerjaan di dapur. Apalah daya ku disaat itu aku hanya bisa menyaksikan kemarahan Mbah tanpa bisa berbuat apa-apa. Begitu juga dengan diriku pernah menjadi korban kemarahan Mbah kala itu aku tidak mau tidur siang. Aku disuruh masuk kamar dan tidak boleh bermain ke luar saat siang hari saat matahari di atas kepala nanti bisa demam kata Mbah. Aku menuruti perkataan Embah walau terkadang ada rasa keterpaksaan untuk tidur siang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post