Siti Suhelni

Kelahiran Medan generasi tahun 80'an merupakan sulung dari tiga bersaudara. Menjadi guru merupakan cita-cita sejak SMP. Dan Alhamdulillah dengan segala pu...

Selengkapnya
Navigasi Web

Bersungguhkah Menjadikan Alquran Sebagai Pedoman Hidup?

Sebuah Tafsir Puisi Esai Mini “Jiwa yang Berdzikir” Deny JA

Oleh Siti Suhelni,S.Pd.

Sebagai salah satu genre sastra, puisi merupakan suatu karya yang memiliki nilai estetika yang tinggi. Melalui puisi, ekspresi pengalaman batin (jiwa) penyair mengenai kehidupan manusia, alam, dan Tuhan sang pencipta disampaikan dengan media bahasa yang estetik secara padat dan utuh. Meskipun bermain dengan pilihan kata/diksi, puisi tetaplah berbeda dengan prosa, sebagaimana penjelasan berikut ini, poetry squeezes meaning into a small number of words and lines, while prose is often longer and looser. Dari pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa puisi merupakan bangunan kata-kata yang padat. Hal tersebut tentu saja berbeda dengan prosa yang memanfaatkan banyak kata dalam penarasiannya.

Puisi dapat diartikan „membuat‟ dan „pembuatan‟ karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah. Puisi merupakan susunan kata-kata pilihan yang tajam dan murni sehingga tercipta padanan kata yang padat serta indah sebagai gambaran dari perasaan yang kuat dan bersifat imajinatif bahkan mewakili pengalaman kehidupan.

Denny JA dengan karyanya Jiwa yang Berdzikir, merupakan puisi esai sebagaimana yang diakuinya sebagai medium yang tak lazim dari ekspresi kisah yang berangkat dari fakta sosial. Ia bukan esai dalam format biasa, seperti kolom, editorial, atau paper ilmiah. Namun, ia bukan juga puisi panjang atau prosa liris.Denny JA menjelaskan bahwa puisi esai bukan puisi yang lazim karena terdapat catatan kaki mengenai data dan fakta di sana dan di sini, serta panjang dan berbabak. Ia juga bukan esai yang lazim karena dituliskan dengan larik, puitik, dan lebih mengeksplor sisi batin. Dari penjelasan Denny JA tersebut, disimpulkan bahwa puisi esai adalah bentuk pengekspresian suatu kisah fiksi yang bersumber dari realitas sosial yang disusun secara komunikatif, panjang, berbabak, serta memiliki catatan kaki sebagai penjelas realitas sosial.

Dalam mengapresiasi kumpulan puisi esai mini Deny JA yang berjudul Jiwa yang Berdzikir, saya menggunakan pendekatan mimetik untuk melihat bagaimana kaitan karya dengan kenyataan yang ada. Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas.

Kumpulan puisi esai mini Jiwa yang Berdzikir, ini merupakan dialog Deny JA dengan surat-surat yang ada dalam Alquran. Buku ini ditulis selama bulan Ramadan setiap sahur penyair membaca satu Juz Alquran. Dalam 29 malam sahur plus malam hari raya, lengkap 30 Juz Alquran yang telah dibacanya. Kemudian penyair mengekspresikan inspirasi yang diperolehnya dari setiap Juz, dan dituliskan dalam puisi esai mini. Sebanyak 30 malam, 30 Juz Alquran, lalu menjadi 30 puisi esai mini.

Puisi 1 Sahur Hari Pertama, “Aku Kembali PadaMu” mengisahkan tentang seorang Darta yang sudah berkelana ke mana saja namun ia merasakan kehampaan dalam jiwanya karena telah melupakan Sang Pencipta sehingga tanpa disadari usianya sudah menua dalam kekosongan dan kesepian jiwa. Darta tersadar bahwa selama ini dia telah melupakan Tuhannya, lalu ia teringat kembali doa-doa yang dibaca dan diajarkan ayah, ibu, dan neneknya di waktu kecil. Darta yang kosong, sunyi, hampa/Jantung menjerit merindu takwa./Dalam keluh ingin teguh/Berserah diri penuh seluruh./Doa itu tiba /Tanpa diminta siapa-siapa./Berdenyut di nadi, bergema di dada/Pelan menetes bersama airmata./Tuhanku/Izinkan si anak hilang/Kembali pulang/Ke rumah kasih-Mu. Akhirnya Darta kembali ke pangkuan Rabbnya untuk mengadukan segala keluh kesahnya.

Pada puisi 2 Sahur Hari Kedua,”Tuhan-Tuhan Kecil” menceritakan tentang kehidupan di dunia modern manusia berorientasi yang berlebih kepada harta, kuasa, ideologi, negara, dan kesenangan membuat semua itu seperti berhala-berhala yang dipertuhankan. Mereka yang beriman tak menghamba tuhan-tuhan kecil itu. Karena lebih kuatlah cinta mereka kepada kebenaran, kepada Allah. Berhala, dewa, mimpi dan takwil/Di kalbu berdesak tuhan-tuhan kecil.

Puisi 3 Sahur Hari Ketiga, “Burung Gaib Bernama Iman” mengisahkan Darta yang tersadar telah melupakan temannya yang setia yakni Iman yang bersemayam didada. Darta tersentak/, Darta terpaku/Seekor burung menghampiri kalbu/Ia mengaku bernama “Iman”/Dan berjanji menjadi kawan/Mengembara menyibak rahasia/Tempat segala tiada terkata.

Dalam puisi 4 Sahur Hari Keempat, “Memilih Dunia yang Sepi” Darta menghilang dari hiruk pikuknya dunia. Ia pindah ke tempat yang sunyi dan menyendiri. Mempelajari dan mendalami konsep Islam, ternyata manusia yang paling tinggi derajatnya bukanlah orang yang paling kaya, atau yang paling berpengaruh, melainkan mereka yang takwa, yaitu mereka yang beriman pada yang benar dan komitmen ini tergambar dalam perilaku. “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman (Q.3: 139). Diam-diam ia hijrahkan diri/Pergi jauh ke lubuk sunyi/Mengembara mengejar gema/Ini hidup apakah intinya?/Kata orang Darta hilang/Dari kumpulan pesta yang girang/Orang mencari orang bertanya/Di tiap pesta, dia tak ada

Puisi 5 Sahur Hari Kelima, “Dengan Cinta, Harus Kulawan Dirimu” mengisahkan Darta melawan Pamannya sendiri untuk menegakkan keadilan. Di sinilah relevansi ketauhidan. Ketika Tuhan lebih diprioritaskan, maka keadilan tidak akan dikorbankan, terutama jika penyebabnya adalah kaum kerabat. Ini perintah keras untuk adil bahkan terhadap orang dekat sekalipun. Tak ada pengaruh yang lebih kuat dibandingkan spirit orang banyak agar ditegakkannya prinsip keadilan. Sejarah mencatat. Begitu banyak super power, kekuasaan raksasa pada waktunya hancur berantakan. Itu terjadi jika ada kezaliman, ada ketidak adilan terjadi. Dimanapun dan kapanpun kita hidup, jika terasa ada ketidak adilan di sana, siapapun yang penyebabnya, walau langit runtuh, bersiaplah untuk katakan: TIDAK !!. Ampun, Paman, oh, paman/Dengan cinta engkau kulawan./Aku harus memilih dari dua jalan/Cinta paman atau keadilan./Aku tak sanggup memilih/Ke pihak keadilan aku beralih./Karena keadilan adalah panglima/Sedang aku sekadar budaknya./Tak pernah kulupa jasamu, Paman/Aku harus melangkah, tentu tanpa geram./Dengan air mata, kukatakan Tidak padamu!/Suara azan bergema memanggilku.

Pada Puisi 6 Sahur Hari Keenam “Luka Terus Menyala” bercerita tentang trauma masa lalu seorang tokoh dalam kerusuhan Mei 1998. Dia bersama keluarganya mendapat perlakuan yang tidak senonoh oleh kaum pribumi karena ia keturunan Tiong Hoa, sehingga membuat ia dan keluarganya mengungsi ke luar negri. Namun di kemudian hari ia menjadi seorang dokter yang menolong seorang gadis dalam ruang operasi yang mana ayah gadis itulah yang telah melakukan kekerasan terhadap ia dan keluarganya. Bagaimana bisa aku lupa/wajah trauma./Ia muncul di hadapanku/Letih, lemah, kuyu./Jauh berbeda dengan dulu./Di matanya tak ada api/Hanya air, mungkin air mata,/Mungkin sisa doa./Yang jelas ia begitu tua/Dan tak berdaya. Lirih suaranya,/“Tolong, Dokter, putri saya!”/Tinggal ia saja yang tersisa.”

Dalam puisi 7 Sahur Hari Ketujuh, “Kampungku Sayang, Kampungku Celaka” Darta pulang ke kampung halaman setelah dua puluh tahun di rantau. Namun keadaan kampung sudah jauh berbeda dengan dahulu waktu kecil tidak ada lagi tegur sapa dan warung kopi yang tampak sunyi. Rupanya telah terjadi perpecahan antar kelompok agama, politik dan pemerintahan. Kampungnya dahulu telah menghilang karena beragam perbedaan yang membuat runtuhnya persaudaraan. “Kampungku yang kucinta/pujaan hatiku/tempat ayah dan bunda/dan handai taulanku.” /Darta memang kembali pulang/Tapi kampung halaman tersayang,/Sudah tiada, sudah menghilang.

Pada puisi 8 Sahur Hari Kedelapan,” Lepas dari Bom, Kupanggil Nama-Mu dalam Hening” berkisah tentang hijrah dan taubatnya seorang Aku dari paham dan aliran islam bergaris keras atau teroris dan kembali menjalankan islam sebagai agama yang damai. Subuh hari itu, Aku hijrah ke sunyi/Sesuatu yang lembut Tumbuh di hati/Kalahkan hingar-bingar bom dan senapan/Barang-barang mahal yang bikin kerusakan./Subuh hari itu, Aku hijrah ke sunyi.

Puisi 9 Sahur Hari Kesembilan,” Obor Terus Nyalakan” Tokoh Aku baru mengerti ternyata kakek seorang tokoh pejuang melawan rezim, menuntut keadilan menentang kezaliman, begitu juga ayah. Tiba-tiba masa itu tiba, suatu peristiwa tak terduga yaitu jatuhnya penguasa. Ayah keluar penjara. Kupeluk Ayahku. Seperti Kakek dulu, tubuh ayah demikian kurus, menahan derita, dan ada obor menyala di mata keduanya. Oh, ya, kakek wafat 20 tahun lalu. Ayah bebas setahun lalu. Aku semakin dewasa, semakin mengerti hukum dunia.

Dalam puisi 10 Sahur Hari Kesepuluh,” Teroris itu Kakakku” berkisah tentang dilema tokoh Aku yang seorang anggota polisi harus menangkap dan menembak kakaknya yang bernama Santoso, sebagai anggota teroris. Di sinilah integritas seorang aparat dipertaruhkan hukum dan keadilan harus ditegakkan. Hingga kini aku dihadapkan/Kenyataan pahit tiada terlawan/Ada teroris harus kuburu./Aku menangis, dia abangku!

Pada puisi 11 Sahur Hari Kesebelas,” Lalu Mereka Sholat Jumat di Gereja” bercerita tentang toleransi dalam beragama yang harus ditumbuhkan ke generasi penerus kita. Di negeri situ, dengan lega/Kaum Muslim Salat Jumat di Gereja/Di ujung sini, Muslim berikan rumah/Lindungi Kristen yang dianiaya./Di ujung sana, Kristen dan Muslim/Bersama bersuka membangun mesjid.

Puisi 12 Sahur Hari Kedua Belas,” Akan Bubarkah Negaraku?” Kegalauan dan kegamangan akan memudarnya persatuan dan kesatuan Negara Indonesia. Ya Tuhan, Jangan bubarkan ini negara/Jasadku, sukmaku, cintaku/sepenuhnya berdiam di sana.

Pada puisi 13 Sahur Hari Ketiga Belas,” Robohnya Penguasa Kami” mengisahkan tentang sebelum tahun 2018, Barisan Nasional, koalisi beberapa partai, selalu memenangkan pemilu dan berkuasa sejak Malaysia merdeka. Setelah sekian lama berkuasa, makin lama makin tak peka dan korupsi merajalela. Tapi karena partai raksasa sekaligus berkuasa, maka selama 60 tahun bertarung tak pernah kalah. Pejuang bangkit, pemikir bangkit, seniman bangkit, ulama bangkit, pengusaha bangkit, rakyat bangkit. Membentuk barisan. Sebuah negeri tengah sakit/Benarkah rakyat tiada arti?/Suatu kaum telah bangkit/Mengubah dirinya sendiri.

Dalam puisi 14 Sahur Hari Keempat Belas, “Suara Sang Guru” bercerita tentang Berpisahnya India dan Pakistan di tahun 1947 diwarnai migrasi jutaan penduduk. Migrasi ini tercatat paling besar dalam sejarah. Ia migrasi yang sektarian pula: Muslim ke satu wilayah. Penganut Hindu ke wilayah sebaliknya. Pak Tua kadang menyeka air mata/Di tahun 47, di awal perkara/Aku masih bocah tak tahu apa-apa/kala negara pecah jadi dua./Satu Pakistan satu India.

Puisi 15 Sahur Hari Kelima Belas,” Esok Pagi, Tetap Tak Pasti” berkisah mengenai tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi esok hari. Dapat kuprediksi gerhana matahari/Yang kan terjadi seribu tahun lagi/Tapi tak bisa kuduga sama sekali/Peristiwa yang terjadi esok hari.

Pada puisi 16 Sahur Hari Keenam Belas,” Cahaya Terkuat” menceritakan keputusasaan penderita kusta namun Bunda Theresa datang sebagai penolong. Hal kutahu itu bukan dari buku tapi buah pengalamanku sendiri, yakni ketika aku minta mati. Demikian pengakuan seorang ibu separuh baya asal India. Kisah ini terjadi di tahun 1985. Mendengar kisah ini, Darta terpana. Disimaknya kisah itu dan Ia mulai mengerti dari mana asalnya enerji yang membuat ibu itu dengan penuh dedikasi menyantuni yatim piatu, menemani orang terbuang, siang malam. Jelas itu bukan kerja, melainkan cinta yang mendunia. Cinta yang dajarkan semua agama. Cinta yang bersumber dari keluasan cinta Illahi. Tumbuhkan diri menjadi orang yang beriman, beramal saleh dan membagi kasih sayang. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang. Q.17: 96. Jika hidup itu sesia-sia ini/Tuhan, buatlah aku mati/Tiba-tiba datang dia, Bunda Theresa/Dipeluknya aku, diajaknya bicara/Di bola matanya kulihat taman bunga,/Langit biru, dan keluasan samudra.

Dalam puisi 17 Sahur Hari Ketujuh Belas,” Raksasa Itu Ambruk Jua” berkisah tentang runtuhnya negara Uni Sovyet. Uni Sovyet tak hanya sebuah negara, ia raksasa dengan kekuasaan yang mendominasi separuh dunia yang disebut sebagai blok komunisme. Di tahun 1991, Uni Sovyet hilang dari sejarah. Banyak wilayah yang dulu dikuasainya, kini berdiri sebagai negara nasional sendiri-sendiri. Negara-negara yang berada di bawah pengaruhnya pun pada melepaskan diri dan berdiri sendiri. Darta dan orang tua asal Russia/Terdiam memandang senja./Alangkah ngeri nasib negeri /Yang tak hargai para pemimpi.

Puisi 18 Sahur Hari Kedelapan Belas,”Ia Mati Tapi Hidup” bercerita tentang persamaan hak antara kulit putih dan kulit hitam. Aku bermimpi/Akan tiba era/Kulit putih kulit hitam/Duduk sama tinggi/Di meja kemanusiaan.

Pada Puisi 19 Sahur Hari Kesembilan Belas,” Dia Menolak Menjadi Raja” menceritakan hal seorang pemimpin yang rendah hati dan menegakkan keadilan yang jauh dari sikap seorang penguasa. Hanya pemimpin bersifat adil/Membuat negara jadi raksasa /Sedang pemimpin berjiwa kerdil/Membuat negara miskin melata.

Dalam puisi 20 Sahur Hari Kedua Puluh,” Dipadamkan, Tapi Menyala” berkisah tentang Nelson Mandela yang mempunyai semangat membara dalam membela rakyatnya walaupun dia dalam penjara namun akhirnya bisa menjadi presisden bagi rakyatnya.

Puisi 21 Sahur Hari Kedua Puluh Satu, “Tangis Ibu Begema dari Zaman ke Zaman” berkisah tentang pelarian tiga remaja dari asrama yang mengukungnya. Hal ini merupakan perlakuan tidak adil pemerintah Australia terhadap suku aborigin yang berkulit hitam yang teganya memisahkan anak-anak dari ibunya dan memasukkan anak-anak ke asrama untuk belajar adab dan tata krama. Di malam buta, tiga remaja/Larikan diri dari asrama/Tangis ibu, serasa menggema/Memanggil mereka dari jauh sana.

Pada puisi 22 Sahur Hari Kedua Puluh Dua, “Bunyikan Lonceng, Selalu” bercerita tentang Suami istri yang bernama Otto dan Elise Hampbel. Mereka melakukan perlawanan terhadap Nazisme dengan membagikan diam-diam kartu di aneka tempat, secara sembunyi-sembunyi. Isi kartu itu mengajak rakyat bangkit melawan Nazisme. Namun akhirnya mereka ditangkap dan dihukum pancung. Kekuasaan yang membunuh mereka berbalik terjungkal. Nazi kalah perang dan Hitler bunuh diri. Di sore yang gelap/Pasangan itu ditangkap/Dituduh khianat/dan lancung/Lantas mereka dipancung.

Dalam puisi 23 Sahur Hari Kedua Puluh Tiga, “Tempat yang Berduri” Riwayat seorang remaja perempuan yang menolong warga Palestina bernama Corrie mati dilindas buldozer Amerika yang ia halangi saat mencoba melindungi rumah warga yang akan digusur.. Tapi buldozer terus menderu/Mereka tak peduli, tak mau tahu/Dengan ganas melindasku./Nyawaku melayang, saat itu./Di balik kematian/Selepas Jihad kemanusiaan/Tak kusangka,/tak kuduga.

Puisi 24 Sahur Hari Kedua Puluh Empat,” Tangan Kiri yang Tak Tahu Tangan Kanan” beisikan tentang keikhlasan dalam memberi harta atau berderma. Harta berlimpah tiada tara/Diikhlaskan begitu saja/Tangan kanan sibuk berderma/Tangan kiri tak tahu apa-apa.

Puisi 25 Sahur Hari Kedua Puluh Lima,” Silahturahmi Cucu Ibrahim” berkisah hal melawan arus konflik Palestina dan Israel yang tak kunjung tuntas, pada tahun 2003-2004, para aktivis dan akademisi mancanegara Timur Tengah membangun forum bersama untuk mencari titik temu dan mempromosikan hidup bersama dalam damai. Hening, sepi, para delegasi/Berkumpul rapi di ruang konferensi./Palestina, Israel, Saudi Arabia,/Yordania, Afganistan, dan Tunisia.

Dalam puisi 26 Sahur Hari Kedua Puluh Enam,” Angin Yang Menyusup ke Hati” menceritakan tentang Kisah perempuan Rohingya yang menjadi korban perkosaan massal bukan perkosaan biasa. Perkosaan sudah menjadi alat yang sistematis menjatuhkan mental sebuah etnis. Suamiku diikat, aku ditelanjangi/Penuh kesumat bergelimang birahi/Aku diperkosa, disetubuhi/Bergiliran, di depan suami.

Pada puisi 27 Sahur Hari Kedua Puluh Tujuh,” Kata Membuatku Mati, Kata Membuatku Hidup” berkisah tentang seorang Malala, wanita remaja 15 tahun yang memberanikan diri melawan kelompok Taliban. Malala ditembak kepalanya oleh Taliban. Ketika berada di atas bus saat pulang sekolah sehingga membuat ia harus dioperasi antara hidup dan mati namun Allah memanjangkan umurnya. Taliban kelompok yang melarang anak perempuan sekolah dan membunuhnya. Di tahun 2015, Malala menjadi sosok termuda yang memperoleh Nobel Perdamaian, yakni pada usia 17 tahun.

Puisi 28 Sahur Hari Kedua Puluh Delapan,” Yang Menjerit,Yang Kau Lupakan” berkisah tentang Pemilu Tahun 2018 di Malaysia,menoreh sejarah baru telah terjadi. Untuk pertama kalinya UMNO (Barisan Nasional) kalah pemilu sejak Malaysia merdeka. Perdana mentri dari UMNO yang dikalahkan itu bernama Najib Razak. Ternyata sang perdana mentri telah menyalahkan kekuasaan yang berhubungan dengan skandal perempuan. Aku terdiam lama sekali/Perlahan muncul sosok parasnya/Paras molek seorang wanita/Penuh pesona, begitu berjasa/Ajari aku soal asmara./Tapi ia tahu banyak rahasia/Meski cantik, tentu berbahaya./Kau khianati aku, Oh, Altantuyaa/Maafkan abang berhati tega./Tentu muslihat ini kaupun mengerti/Saat kau terbunuh, aku harus pergi./Bahkan keberadaanmu harus kuingkari.

Dalam puisi 29 Sahur Hari Kedua Puluh Sembilan,” Bertahanlah Sejengkal Lagi” bercerita tentang kisah cinta sepasang kekasih Khama si kulit hitam dan Ruth berkulit putih hubungan cinta keduanya ditolak oleh kaumnya. Kelak Khama berhasil mengubah Botswana yang miskin menjadi negeri makmur di Afrika. Dia ubah kerajaan yang cenderung rasis menjadi Bostwana yang demokratis.Negara asal Ruth Williams berkali-kali mencoba memisahkan mereka hanya karena beda warna kulit belaka. Tapi Khama berjuang meyakinkan mereka dan menyatakan bahwa dia siap berkorban apa yang dia punya, termasuk nyawa. Ruth Williams kekasih Khama yang berkulit putih membutuhkan waktu sangat panjang untuk nyaman masuk ke lingkaran keluarga besar Khama yang berkulit hitam. Suatu hari bertahun kemudian/Kisah kita kan jadi tauladan./Pasangan berbeda kulit di badan/Hadapi dunia terus melawan/Dengan cinta dan keteguhan.

Pada puisi 30 Sahur Hari Ketiga Puluh,” Mimpi yang Bukan Ilusi” berkisah tentang pemahaman agama yang salah oleh seorang guru di Guyana dengan mati bunuh diri secara bersama untuk mendapatkan surga. Surga itu ternyata/Menjelma kematian sia-sia/918 manusia/Yang bunuh diri bersama/Di Guyana.

Kumpulan puisi esai mini “Jiwa yang Berdzikir” karya Deny JA, sarat dengan manfaat bagi kehidupan. Melalui pilihan kata yang indah penyair menyampaikan kritik sosial tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia maupun di luar Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia seperti perbedaan agama, suku, ras dan warna kulit menjadi masalah penting dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Dalam 30 puisinya merupakan renungan penyair selama 30 malam bulan ramadhan yang berisikan inti sari dan mutiara-mutiara yang ada dalam Alquran.

Deny menawarkan agar menjadikan Alquran sebagai tuntunan dalam berkehidupan individu, berbangsa dan bernegara. Alquran merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan melalui Nabi muhammad Saw. Jika kita ingin mengkaji lebih dalam isi kandungan Alquran ini, maka kehidupan di alam semesta akan menjadi aman dan damai karena setiap manusia bersungguh-sunguh mengamalkan ajaran yang terkandung di dalam Alquran. Namun yang menjadi pertanyaan “Sudahkah kita sebagai umat muslim bersungguh-sungguh menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup?”. Diri kita pribadi masing-masinglah yang dapat menjawabnya.

Alquran bagi orang Islam adalah pedoman hidup, sumber segala hukum yang harus diikuti dalam hidupnya. Aturan apapun dan pendapat atau fatwa ulama manapun tidak boleh bertentangan dengan Alquran. Dan jika ada perbedaan pendapat diantara umat Islam termasuk pendapat para ulama harus kembali kepada Alquran agar umat tidak saling menyalahkan.

Alquran sebagai pedoman hidup memberikan petunjuk lengkap terhadap aturan-aturan hidup manusia yang dapat menciptakan kehidupan yang nyaman, bahagia dan sejahtera. Aturan yang paling inti adalah kewajiban kepada setiap individu untuk menjaga keselamatan agama, agama Allah, jiwa (nyawa), akal, keturunan, dan harta.

Inilah puisi yang ditawarkan Deny, yang disebutnya puisi esai mini yang sangat perlu diapresiasi sebagai pembaharuan dalam berpuisi. Apakah kita sebagai penikmat dan pembaca sastra akan menerima bentuk puisi ini? Lambat laun masyarakat akan menerima sebagai puisi yang patut diacungkan dua jempol, jika makin banyak orang menulis puisi esai, dan penikmat sastra yang gemar membaca puisi esai, dan para kirtikus sastra mengapresiasinya. Puisi esai akan menjadi genre tersendiri dalam dunia sastra di Indonesia.

Penulis:

Siti Suhelni, S.Pd. Alamat email: [email protected] WA: 082170338903

Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMP Negeri 5 Kinali

Kabupaten Pasaman Barat ,Provinsi Sumatra Barat

Alamat Sekolah: Jalan Abdul Azis Tanjung Medan Kejorongan Bandua Balai, Kec. Kinali, Kab. Pasaman Barat, Prop. Sumatra Barat. Kode Pos 26367

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Puisi esai yg luar biasa

21 Dec
Balas

Ibu, tulisan ini luar biasa. Saya boleh mengopy? Akan saya pelajari, karena saya ingin bisa menulis resensi....

28 Dec
Balas

Terima kasih bunda. Masih taraf belajar dalam membuat kritik puisi esai bunda.

22 Dec
Balas



search

New Post