Slamet Trihartanto

Widyaiswara LPMP Jateng. Tinggal di Salatiga. Minat menulis, berkebun, dan melukis. Silaturahmi online bisa dilakukan melalui email [email protected]...

Selengkapnya
Navigasi Web

1. Bermula dari Iklan

Saat istirahat mengajar, seperti biasa aku mangkal di perpustakaan sekolah. Membaca koran Suara Merdeka. Tanpa sengaja kubaca iklan menarik. Balai Penataran Guru (BPG) Semarang membuka kesempatan kepada guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah untuk menjadi widyaiswara. Dalam hati kuberkata, ini kesempatan baik untuk bisa berkumpul keluargaku. Jika diterima, dari rumahku di Salatiga ke Semarang bisa kutempuh pagi pergi dan siang pulang.

Syarat untuk mengikuti seleksi widyaiswara, seperti pada iklan, rasanya bisa kupenuhi. Pertama, aku sudah menjadi guru negeri lebih dari 4 tahun. Bahkan saat itu, tahun 2002, sudah 12 tahun aku menjadi guru. Kedua, berpendidikan Sarjana (S-1). Saat itu aku malah sedang menempuh kuliah pascasarjana (S-2) di UNS. Ketiga, diizinkan oleh atasan langsung (kepala sekolah) untuk mengikuti seleksi. Syarat ketiga itu, kuyakin dapat kuperoleh. Semakin kuatlah keinginanku untuk mengikuti seleksi widyaiswara.

Iklan itu ternyata juga menarik minat teman guru lain di sekolahku, SMA Negeri 1 Wirosari, Grobogan. Dalam beberapa hari, wacana tentang widyaiswara menjadi topik perbincangan di ruang guru. Kami memaknai widyaiswara sebagai tukang natar guru. Sering bepergian dari satu diklat ke diklat lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Profesi widyaiswara juga menjanjikan finansial lebih dari profesi guru. Konon, selain gaji bulanan juga mendapat honor dan uang transport setiap kali mengajar pada suatu diklat (pendidikan dan pelatihan). Ditambah berbagai cerita menarik yang lain tentang sosok widyaiswara.

Berbagai gula dalam widyaiswara itu sebenarnya bukan hal yang menarik bagiku. Hal yang paling merangsang buatku hanyalah dapat berkumpul bersama keluargaku di Salatiga. Sudah selama 12 tahun aku melajo, aku pergi Senin - pulang Sabtu. Setiap Senin dini hari aku sudah harus mengejar bus ke Semarang lalu oper ke Purwodadi kemudian menyambung ke Wirosari. Sebelum jam 7 pagi aku harus sudah berada di sekolah mengikuti upacara bendera. Selama enam hari aku tinggal di Wirosari, kegiatan utamaku mengajar, membina ekstrakurikuler, dan bermain tenis di sore hari. Malam hari kuisi dengan menonton TV, membaca, atau bertandang ke warga sekitar sekolah. Selama di Wirosari, aku tidur di sudut ruang sekolah. Tepatnya di ruang penjaga perpustakaan sekolah. Pada hari Sabtu usai mengajar, aku pulang ke Salatiga. Hanya di hari Minggu, aku bisa berkumpul bersama keluargaku. Hanya sehari kebahagiaan bersama keluarga. Setiap Senin pagi datang, aku harus kembali ke Wirosari. Andai kubisa menjadi widyaiswara di BPG, tentu aku bisa berkumpul dengan keluarga setiap hari.

Bulat sudah tekadku untuk mengikuti seleksi widyaiswara. Aku menghadap kepala sekolah, mengutarakan maksudku dan mohon izin. Kepala sekolahku saat itu adalah Ibu Sutarti. Kusampaikan alasanku untuk mengikuti seleksi widyaiswara, tentu tidak kukatakan semata ingin pindah tempat tugas agar dapat berkumpul keluarga sepanjang hari. Saat itu kusampaikan untuk mengembangkan profesi, pengembangan karier, memperluas ilmu pengetahuan dan pengalaman kerja. Intinya kusampaikan hal yang ideal dan mulia. Gayung bersambut, keinginanku diizinkan oleh kepala sekolah. Namun, beliau tidak bisa mengeluarkan izin resmi bila hanya berdasarkan iklan semata. Dari beliau juga kudapat informasi, ada 4 guru lain yang telah menyampaikan keinginan mengikuti seleksi itu. Pada akhirnya memang ada 5 guru yang berminat menjadi widyaiswara.

Lima orang itu adalah, Sudirman guru Matematika, Ngadino guru Kimia, Himawan guru Sejarah, Ikhsanudin guru Kimia, dan saya guru Bahasa Indonesia. Kami semua menunggu datangnya surat resmi. Sebagian dari kami juga berusaha melacak informasi adakah surat itu sudah beredar di sekolah lain atau di Dinas Pendidikan. Namun, kenyataannya nihil. Surat yang dimaksud belum beredar di wilayah Grobogan. Kami mulai membincangkan kegumunan mengapa lembaga sebesar BPG (Balai Penataran Guru) hanya pasang iklan untuk merekrut widyaiswara. Sejenak kemudian, menyurut meski tak sampai kering hasratku untuk meniti jalan menjadi widyaiswara.

Kabar gembira itu datang dari Pak Himawan. Saat itu aku sedang mengajar. Tiba-tiba, Pak Him, mengetuk pintu kelasku dan berkata “Pak, surat dari BPG sudah datang!”. Meluap rasa girangku. “Akhirnya datang juga yang kita nantikan, Pak,” begitu balasku kepada Pak Himawan.

Akhirnya, berlima kami melengkapi persyaratan untuk mengikuti seleksi widyaiswara. Namun, dalam perjalanan waktu melengkapi syarat ternyata harus mendapat persetujuan sampai ke Dinas Pendidikan Kabupaten Grobogan. Terpetik kabar bahwa Pak Ngadino diproyeksikan akan menjadi kepala sekolah dalam waktu dekat. Pada akhirnya, kami berempat yang diizinkan mengikuti seleksi widyaiswara BPG Semarang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren abis deh. Inspiratif banget

15 Jul
Balas

Makasih Pak Leck Murman

16 Jul

Setelah kubaca ulang, ternyata ada beberapa salah ketik. Setelah kuperbaiki, kuunggah kembali. Hebatnya gurusiana ada fitur untuk mengedit. Terima kasihku kepada Gurusiana yang kembali membangkitkan gairah menulisku. Gurusiana semoga engkaulah takdirku.

16 Jul
Balas



search

New Post