Slamet Trihartanto

Widyaiswara LPMP Jateng. Tinggal di Salatiga. Minat menulis, berkebun, dan melukis. Silaturahmi online bisa dilakukan melalui email [email protected]...

Selengkapnya
Navigasi Web

Potret Kota dalam Puisi

Ada satu hasrat yang muncul ketika melakukan perjalanan mengajar dari satu kota ke kota lainnya. Hasrat itu adalah memotret kota yang saya singgahi dengan puisi. Jika biasanya sekadar catatan dalam agenda, kini ingin saya ungkapkan melalui baris-baris puisi. Saya pun mulai mempunyai keasyikan baru saat malam sendiri di kamar hotel. Ya, menulis puisi tentang kota yang saya singgahi di Jawa Tengah. Suatu saat akan saya terbitkan buku antologi puisi kota singgah. Pada tulisan ini akan saya sajikan beberapa potret kota dalam puisi saat menjalankan tugas mengajar.

Minat menulis puisi kembali muncul ketika saya dan teman-teman widyaiswara mengajar di Jepara. Sore hari, 6 Mei 2017 usai mengajar, kami menuju ke Pantai Bandengan. Indah panorama senja saat itu. “Ayo, Pak Met, tulis puisi. Nanti beri judul Senja di Pantai Bandengan: buat Sri Hartati,” tantang teman saya saat itu. “Wah, sudah lama tidak menulis puisi,” begitu kilahku saat itu. Setelah dari pantai, kami kembali ke hotel hanya untuk mandi dan solat. Malam hari kami keluar bersama lagi untuk makan malam bersama di Pujasera Shopping Centre Jepara (SCJ).

Sekembali di Hotel Kalingga, saat sendirian di kamar, terngiang tantangan teman sore tadi. Segera kuambil laptop dan kutulis puisi. Tentunya sebagai karya puisi, saya bebas memberi bumbu tambahan. Puisi itu tidak lagi menjadi potret realita. Jadilah puisi potret Kota Jepara sebagai berikut.

Senja di Pantai Jepara

Melepas penat sehari kerja

Sepakat kita menuju Bandengan

Susuri pantai pasir putih di ujung senja

Menanti mentari rebah di batas cakrawala

Ketika pohon, gubug, dan perahu menjadi bayang

Karena gelap malam mulai datang menjelang

Kau merajuk mengajak pulang

Sebab lapar sudah mengundang

Pujasera esceje destinasi makan malam kita

Kau pesan aneka kerang dan tiram bersambalado

Kucoba horog-horog dalam semangkuk bakso

Minumnya adon-adon coro

Sembari menikmati sajian tradisi kita diskusi tentang tiga putri:

Shima, sang ratu penegak kejujuran dan keadilan dari Kalingga

Kalinyamat, sang wanita luka berlaku topo wudo sinjang rikma

Kartini, sang puteri pahlawan emansipasi pengharum bangsa

Ketika jarum jam terus merambat perlahan

Sebelum kantuk datang menyerang

Ke Semarang kita pulang, sayang

Turut serta kenangan tak terlupakan.

Kalingga, 6 Mei 2017

Kegairahan menulis puisi kembali mendapat ruang ketika saya bertugas di Temanggung. Saat itu saya mengajar para calon kepala sekolah. Mengisi waktu malam menjelang tidur di hotel. Kembali kutulis puisi tentang Temanggung dengan ciri khasnya. Kota sejuk di lembah Gunung Sindoro dan Sumbing. Selain daerah penghasil tembakau, juga terkenal dengan kopi dari Candiroto. Maka terciptalah puisi berikut ini.

Bersaujana di Temanggung

Memasuki kotamu

Ada dingin yang menyergap

Saat embun bagai asap

Turun menyambut pagi itu

Sejenak berhenti di Sigandul

Menikmati panorama saujana

Saat itu aku merasa sebagai si Sumbing

Dan kau adalah Sindoro

Kau tawarkan secangkir kopi Candiroto

Sambil kunikmati sebatang Djeruk

Kepul uap kopi menyatu dengan kebul rokok

Dalam dekap hangat kita pagi itu

Indraloka, 24 Mei 2017

Menulis puisi masih terpelihara juga saat bertugas di Brebes. Saat bulan puasa. Saat itu saya melakukan pendampingan calon kepala sekolah dalam kegiatan on the job learning. Perjalanan selama bertugas ke Brebes berhasil saya tuangkan dalam puisi berikut ini.

Bertugas di Brebes

Di peron sunyi stasiun kecil ini

Kunanti Krakatau datang menjemput

Kuda besi pun tepati janji

Mengantarku menemuimu Bumiayu

Kota santri sore hari

Pemuda berpeci dan gadis berkerudung

Ngabuburit di sepanjang jalan

Menunggu saat adzan maghrib tiba

Bergegas bersama fajar pagi

Kususuri jalan berliku menuju Salem

Berbaris pohon pinus di hutan Bantarkawung

Tubuhnya penuh luka melelehkan gandarukem

Lembah Salem sajikan sawah subur

Berundak-undak berlapis bukit

Padi dan brambang tumbuh berdamping

Aroma cengkih dan kapulaga kering di jalanan

Rumah padat di kampung berhimpit

Ramah warganya sunda bahasanya

Desa tenang berhawa sejuk

Mengundangku datang bulan depan.

Salsa Delila, 8 Juni 2017

Saat berkesempatan tugas di Magelang, menginap di Hotel Sriti, saya mulai menyukai menulis puisi kota singgah. Puisi itu memuat keindahan alamnya, keunikan kulinernya, dan kearifan lokalnya. Sebagai pemanisnya, kutambah bumbu romantika sebagai kesan saya terhadap kota itu. Inilah puisi saya tentang Magelang.

Sejuta Bunga di Magelang

Sejuta bunga terhampar di Magelang

Barisan pepohon berjajar sepanjang jalan

Kecil indah bersih nyaman kotanya

Adipura kencana tlah diraihnya

Masjid, klenteng, dan gereja

Berdampingan di seputar alun-alun

Pecinan dan kauman bersebelahan

Di sini toleransi amat terjaga

Berjantung alun-alun praja

Berurat nadi kali progo

Berparu-paru hutan kota

Berpayung bukit tidar

Menyinggahi kawasan jendralan

Kunikmati kuliner khas mereka

Menyantap tahu kupat siang hari

Malamnya bakmi jawa dan segelas kopi

Magelang

Aku pasti kembali datang

Ada kenangan yang ingin kuulang

Di sudut jalan Daha.

Sriti, 15 Juni 2017

Puisi terakhir yang akan saya sajikan adalah potret tentang Kota Kudus. Sebenarnya puisi ini merupakan kesan saya terhadap beberapa kali kunjungan saya di kota itu. Kuramu dan kupadukan menjadi baris-baris puisi berikut ini.

Sepotong Rindu untuk Kudus

Kupacu kuda merahku

Kubawa sepotong rindu

Tersimpan di saku baju

Terbingkis hanya untukmu

Di bawah deretan Trembesi

Sejenak aku berhenti

Mengenang jejak nostalgi

Bulan Mei pagi hari

Memasuki kotamu malam hari

Ramai orang berdiri sambil berfoto diri

Di seputar gerbang daun tembakau besi

Bermandi cahaya berganti-ganti

Kusempatkan wisata religi

Kubasuh muka hingga kaki

Berserah diri pada Ilahi

Di masjid menara makam wali

Dari balik jendela kamarku

Kau muncul dari rimbun tebu

Mengajakku sarapan lentog Tanjung

Kau sajikan minuman hangat susu Muria

Kita belah duren Piji di pinggir trotoar

Tak cukup itu kau manjakan lidahku

Kau suguhkan garang asem dan soto kerbau

Masih juga kau bawai jenang dan roti seruni

Serta lima bungkus kretek produk lokal kegemaranku

Setiap berada di kotamu

Selalu muncul rasa itu:

Habiskan sisa hidupku bersamamu.

Salam Asri, 19 Juni 2017

Mengasyikkan juga menulis puisi tentang kota di Jawa Tengah. Lima kota yang terpotret dalam puisi di atas saya pilih secara acak. Kesemuanya hasil potret semasa menjalankan tugas mengajar sebagai widyaiswara. Masih ada beberapa puisi kota singgah yang tersimpan. Kelak akan saya terbitkan dalam buku antologi puisi kota singgah bila jumlahnya sudah memadai.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren banget, pak

28 Jul
Balas

Terima kasih atas apresiasi Pak Leck Murman.

28 Jul

Puisi... Goresan jemari menggambar hati Penghilang penat diri Pelipur lara gundah di hati.... Betul pak widyaiswara, menulis puisi membuat rasa yang "sesuatu" banget. Semoga cepat selesai buku kumpulan puisinya....njih pak. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah...pak.

28 Jul
Balas

Terima kasih Bu Raihana Rasyid. Semoga segera terwujud buku memoar perjalanan widyaiswara dan kumpulan puisi Kota Singgah.

28 Jul

Tulisan ini merupakan salah satu bagian dalam rencana buku saya. Ternyata ketika saya unggah di sini, terjadi perubahan tipografi pada baris-baris puisi.

28 Jul
Balas

tak tunggu buku kumpulan puisinya pak Met...

18 Sep
Balas



search

New Post