Slamet Trihartanto

Widyaiswara LPMP Jateng. Tinggal di Salatiga. Minat menulis, berkebun, dan melukis. Silaturahmi online bisa dilakukan melalui email [email protected]...

Selengkapnya
Navigasi Web

Volunteer Pascagempa Padang

Masih ingat gempa dahsyat yang mengguncang Sumatera Barat pada 30 September 2009? Gempa bumi 7,6 skala Richter yang mengakibatkan ribuan orang tewas, luka, dan hilang. Kerusakan infrastruktur seperti hotel, rumah, sekolah, jalan menyebabkan kerugian trilyunan rupiah. Gempa itu juga menyebabkan trauma mendalam bagi siswa, guru, serta warga sekolah lainnya. Menyikapi trauma yang terjadi pada siswa, Kemendiknas melakukan program Trauma Konseling Pascagempa Sumatera Barat. Untuk menunjang program itu diperlukan tim relawan, salah satu volunteer itu adalah saya.

Saya berangkat dari Semarang menuju Padang pada tanggal 17 Oktober 2009. Tidak sendirian, ada pula Pak Harun rekan widyaiswara juga menjadi relawan kegiatan itu. Kami berdua terbang dari Ahmad Yani, transit Soekarno Hatta, dan mendarat di Bandara Minangkabau Padang. Menyambung moda transportasi darat menuju Posko Gempa Sumbar di LPMP Padang. Kami menginap di asrama LPMP Padang. Sensasi guncangan gempa kecil sempat saya rasakan pada malam hari.

Sebelum bertugas di lapangan, tanggal 18 Oktober 2009 kami para sukarelawan berkumpul untuk mendapat pembekalan. Adalah Dr. Ir. Badrul Mustafa, DEA sebagai Ketua HAGI (Himpunan Ahli Geofisika Indonesia) yang menjelaskan kepada kami tentang “Hidup aman di negeri rawan bencana”. Dari pembekalan itu kami dijelaskan tentang sebab dan akibat gempa. Juga diajari bagaimana menyelamatkan diri saat gempa terjadi.

Dari penjelasan pakar itu, saya juga tahu mengapa gempa di Padang tidak menimbulkan tsunami. Ada 4 syarat tsunami pascagempa. Pertama, episentrum gempa terjadi di dasar laut. Kedua, kekuatan gempa lebih dari 6,5 skala Richter. Ketiga, pusat gempa dangkal. Keempat, gerakan patahan vertikal.

Terungkap juga bahwa di Sumatera Barat sering terjadi bencana alam. Begitu pula sesungguhnya Indonesia merupakan negeri yang rawan bencana. “Kita ini hidup di atas tungku raksasa. Ada banyak gunung berapi di Indonesia,” katanya. Khusus di Sumatera Barat, bencana alam yang pernah terjadi adalah gempa bumi, tsunami, gunung api meletus, longsor, dan banjir. Di jelaskan lebih lanjut bahwa, saat ini belum ada metode deteksi gempa.

Setelah mendapat penjelasan seluk beluk gempa, kami mendapat pembagian tugas. Saya mendapat tugas di Kabupaten Padang Pariaman, Kecamatan Patamuan, Nagari Tandikat. Tim saya terdiri 5 orang, gabungan dari unsur dosen UNP, Kemendiknas, dan Himpaudi. Setelah berkoordinasi, kami sepakat berangkat keesokan harinya.

Tanggal 19 Oktober 2009, berlima kami berangkat ke Padang Pariaman. Sesampai di sana, kami menginap di Balai Nagari. Ada sisa catatan dalam agenda saya tentang daftar sementara korban meninggal/hilang akibat gempa bumi di Nagari Tandikat, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman. Terdapat 115 orang tewas, 3 luka, 137 hilang. Ketika saya tanyakan mengapa banyak penduduk yang hilang? Dijelaskan bahwa hal itu karena mereka belum ditemukan jasadnya, diduga tertimbun longsor. “Jadi mereka terkubur hidup-hidup!”, kata saya itu dijawab dengan anggukan oleh petugas nagari.

Kami mulai menemui guru dan siswa korban gempa efektif pada tanggal 20 dan 21 Oktober 2009. Selama mengunjungi tenda atau sekolah darurat bagi korban gempa, kami mengajak mereka bernyanyi, bercerita, bermain kuis, dan memberi hadiah. Jadi setiap mengunjungi mereka, kami selalu membawa sekarung hadiah yang sudah kami siapkan sebelumnya. Hadiah itu berupa buku, alat tulis, atau makanan ringan. Kami memberikan kepada siswa manakala mereka dapat menjawab pertanyaan kami, berani tampil menyanyi, mau bertanya, dan sebagainya.

Saat usai safari kunjungan sekolah, oleh pemandu, kami diajak mengunjungi lokasi desa yang paling parah terdampak gempa. Desa itu adalah Lubuk Laweh, ada 52 tewas, 3 luka, 77 hilang. Menurut pemandu lokasi yang menyertai kami, tempat ini diyakini sebagai pusat gempa. Diceritakan olehnya, saat gempa terjadi seperti terjadi patahan papan yang melentingkan tanah di atasnya. Selanjutnya muncul semburan air hitam pekat dari bumi. Sejenak terjadi rekahan menganga dan menelan rumah, sekolah, pohon di atasnya. Keadaan semakin diperparah oleh reruntuhan bukit yang mengitari sekitarnya. Itulah sebabnya, banyak korban hilang, terkubur hidup-hidup saat gempa terjadi.

Ada aktivitas menarik di Tandikat saat itu. Sekelompok tentara asing, militer Australia, tengah bekerja dengan alat berat meratakan lokasi reruntuhan. Mereka bekerja dalam pengamanan polisi dan tentara Indonesia. Ketika saya tanyakan, mengapa hal itu terjadi? Pemandu saya menjelaskan bahwa hal itu merupakan wujud kepedulian asing terhadap bencana Sumbar. Mereka membawa personal, peralatan, dan cara kerja secara mandiri. Yang mereka butuhkan adalah bantuan pengamanan agar tidak terganggu saat bekerja. Mungkin memang demikian, kontrak kerja antara meraka.

Tanggal 22 Oktober 2009, kembali ke Semarang saya dan Pak Harun. Membawa kenangan dan cerita kelabu dari Padang Pariaman. Sebait doa kupanjatkan semoga Padang dapat bangkit dari duka karena bencana gempa.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Menjadi relawan atas bencana yang pernah terjadi di Padang, merupakan salah satu kenangan yang membekas dalam perjalanan saya sebagai widyaiswara.

28 Jul
Balas



search

New Post