Slamet Wahyono

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

GURU PROFESIONAL TANPA TINDAK KRIMINAL

Guru jaman NOW, paling tidak harus memiliki tiga gelar ijazah Sarjana : Sarjana Pendidikan, Sarjana Beladiri dan Sarjana Hukum ! Kalimat satire ini akhir akhir ini menyeruak terkait dengan “ fenomena- fenomena “ yang muncul dalam dunia pendidikan . Profesionalisme guru disandingkan dengan tindak kriminal, tindakan melawan hukum. Sehingga modal seorang guru tidak lagi sekedar ijasah sarjana. Terjadinya penganiayaan guru oleh peserta didik / orangtua / keluarga peserta didik menuntut seorang guru untuk harus bisa membela diri dari luapan emosi dan keadaan tidak terkendali, maraknya guru yang harus berurusan dengan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan mengharuskan kita untuk “ menguasai “ kitab perundang undangan.

Peristiwa yang masih hangat diingatan kita para guru adalah kisah pilu meninggalnya Bapak Ahmad Budi Cahyanto guru SMA N Torjun Kabupaten Sampang. Kisaran dua tahun lalu, kamis 4 Agustus 2016 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo memutuskan Bapak Muhammad Samhudi, guru SMP Raden Rahmat Balongbendo “ terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana melakukan kekerasan terhadap anak dan dijatuhi hukuman penjara selama 3 bulan dan denda Rp. 250.000 dengan massa percobaan 6 bulan .Meski sudah agak lama, kiranya kita juga masih bisa mengingat kisah panjang Bapak Aop Saopudin guru honorer SDN Penjalin Kidul V Kabupaten Majalengka. Meskipun berakhir dengan keputusan bebas dari segala tuntutan hukum oleh Mahkamah Agung, namun perjuangan beliau sangat melelahkan dan mengharukan mulai dari Pengadilan Negeri Majalengka, Pengadilan Tinggi Jawa Barat sampai Mahkamah Agung !

Penggalan penggalan kisah diatas adalah sebagian dari kisah guru sebagai pendidik jaman NOW yang berusaha menjalankan tugasnya secara professional sebagaimana amanat pasal 1 ayat 1 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang berbunyi : Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Dari sekian banyak tugas utama seorang guru diatas, tugas yang dirasa sangat rawan dengan masalah hukum, sangat rawan dengan masalah kriminal bagi guru adalah tugas mendidik dan membimbing peserta didik, karena ini sangat erat kaitanya dengan perubahan tingkah laku peserta didik yang memiliki sekian banyak karakter dan latar belakang berbeda beda.

Bagaimana jika peristiwa peristiwa diatas kita hubungkan dengan gerakan Revolusi Mental yang dicanangkan Bapak Presiden Joko Widodo sejak tahun 2015 ? Revolusi mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Dalam kehidupan sehari hari, praktek revolusi mental adalah menjadi manusia berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Manusia berintegritas dapat didefinisikan sebagai manusia yang memiliki keteguhan sikap dalam menjunjung nilai nilai luhur.

Dalam ranah pendidikan proses mewujudkan manusia berintegritas sebenarnya telah jelas diuraikan dalam Kompetensi Inti yang harus dicapai dalam proses pembelajaran, utamanya Kompetensi Spiritual ( KI 1) dan kompetensi Sosial ( KI 2.). Dalam KI 1 disebutkan : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, sehingga ketika ada guru yang melakukan tindakan dalam rang mendisiplinkan peserta didik untuk melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianutnya itu adalah proses pendidikan seperti diamanatkan dalam kurikulum. Jika ada seorang guru melakukan tindakan dalam rangka mendisiplinkan peserta didik ketika rambutnya gondrong tidak sesuai tata tertib sekolah atau mengganggu teman lain ketika proses pembelajaran, ini juga sebuah prose pendidikan yang tidak menyimpang karena dalam KI 2 disebutkan : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

Dari uraian diatas permasalahan yang akan kita bahas dalam makalah ini adalah : Bagaimana bisa menjadi guru professional tanpa tindakan kriminal ?

A. Menjadi Guru Profesional

Pasal 1 ayat 1 Undang Undang No 14 tahun 2005 menyebutkan bahwa :

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah . Makna professional disini dijelaskan dalam ayat berikutnya : Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi .

Dari pengertian diatas dapat kita fahami bahwa profesi guru adalah profesi utama, bukan sambilan, sehingga diperlukan kesungguhan dan keseriusan dalam menjalaniya. Selain itu dalam undang undang tersebut juga tertulis bahwa untuk menjadi guru diperlukan keahlian, kemahiran dan kecakapan yang memenuhi standar mutu.

Penjelasan lebih lanjut tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru dapat kita lihat dalam peraturan menteri pendidikan nasional nomer 16 tahun 2007. Dalam peraturan menteri ini, seorang guru harus memenuhi 4 (empat ) standar kompetensi : Kompetensi Pedagogik, kompetensi Kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi Profesional.

Pada standar kompetensi pedagogik salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang guru adalah, harus memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, sosial emosional, moral, spiritual, dan latar belakang social budaya. Kompetensi ini memungkinkan seorang guru dapat melakukan pembimbingan dan pendidikan yang “ aman “ dari masalah hukum. Dalam kompetensi pedagogik tersebut juga menuntut seorang guru harus mampu memahami perancangan dan penyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. Dengan menerapkan sistem pembelajaran yang sesuai dengan standar kompetensi dan senantiasa memahami karakteristik peserta didik diharapkan tidak terjadi tindakan tindakan guru yang bisa membawanya dalam masalah hukum.

Masih dalam Permendiknas nomor 16 Tahun 2007, salah satu butir kompetensi inti yang harus dimiliki guru dalam ranah kepribadian adalah : Guru harus dapat menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. Kompetensi ini menuntut kemampuan guru untuk dapat mengendalikan diri meski terkadang di lapangan tantangan begitu berat mengingat yang dihadapi guru adalah peserta didik dengan berbagai latar belakang kepribadian, latar belakang budaya dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda. Disinilah tantangan seorang guru sebagai seorang pendidik diuji.

Dalam butir sikap kompetensi sosial yang harus dimiliki seorang guru dalam peraturan menteri tersebut juga disebutkan : Seorang guru harus dapat berkomunikasi secara efektif, empatik, dan satun dengan sesame pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat. Komunikasi dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan dapat secara intensif dilakukan oleh seorang guru karena tiap hari bisa saling ketemu dan berinteraksi. Komunikasi guru dengan orang tua peserta didik harus dibangun. Bisa melalui pertemuan berkala yang terjadwal atau menggunakan berbagai saluran komunikasi yang marak di era digital ini. Dengan adanya komunikasi yang intens antara guru dan orang tua peserta didik diharapkan ada sinergi pola mendidik .

Masalah masalah hukum selain terkait langsung dalam proses pembelajaran, terkadang justru muncul diluar proses pembelajaran tetapi masih dalam ranah pendidikan formal, misalnya dalam kegiatan pembiasaan. Pembiasaan melaksanakan ibadah, pembiasaan disiplin membuang sampah, pembiasaan disiplin dalam pemakaian seragam sekolah bahkan terkadang dalam pembiasaan tertib berlalulintas.

Apa yang dilakukan guru diluar proses pembelajaran ini merupakan wujud dari profesionalisme guru sebagaimana tertulis dalam UU 14 tahun 2005 Bab III tentang Prinsip Profesionalitas guru, pasal 7 butir 1.b yang menyebutkan bahwa guru professional harus : memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia .

B. Mengenal Peraturan peraturan Perundangan :

Perlindungan hukum profesi guru tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomer 74 tahun 2008 pasal 40 dan 41. Dalam pasal tersebut dijelaskan guru berhak mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan keselamatan dari pemerintah. Kenyataan dilapangan berdasar kasus yang telah muncul sebagaiamana dalam pendahuluan makalah ini, penegak hukum menghadapkan apa yang dilakukan guru dalam proses mendidik dan membimbing peserta didik dengan Undang Undang Perlindungan Anak No.23 tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang undang Npmer 35 tahun 2014, serta Undang Undang Nomer 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia.

Bab XI A pasal 76 huruf a, Undang undang perlindungan anak disebutkan : memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya terancam dengan hukuman dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) ( Pasal 77 UUPA 35/ 2014 ). Pasal ini yang biasanya dituduhkan pada seorang guru yang melakukan pendisiplinan anak, misalnya memotong rambut peserta didik yang kurang rapi, menyuruh peserta didik membersihkan lantai atau membuang sampah karena terlambat masuk sekolah, menjewer anak karena “susah” diatur saat upacara dilapangan . Meskipun secara bahasa kalimat diskriminatif dalam pasal ini dapat diperdebatkan, tetapi ketika seorang guru telah diinterogasi di kantor polisi apalagi telah dilakukan penahanan maka posisi guru akan senantiasa pada pihak yang salah. Apalagi jika ada bukti visum yang telah dilampirkan sebagai bukti “ kerugian “ anak.

Masih dalam Bab XI A UUPA nomor 35/ 2014 , dalam pasal 76 G disebutkan : Setiap orang dilarang menghalang halangi Anak untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya dan/ atau menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaiakan akses pembangunan Masyarakat dan budaya. Ancaman hukuman untuk pelanggaran pasal ini seperti diatur dalam pasal 86 A adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 ( lima ) tahun dan/ atau denda paling banyak 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah ). Pasal ini perlu kita mengerti bagi kita guru utamanya jika dalam rangka pembiasaan beribadah kemudian “mewajibkan” peserta didik untuk misalnya mengikuti Sholat Jum’at di sekolah. Karena ada orang tua peserta didik yang memiliki pemahaman bahwa Sholat Jum’at disekolah kurang sempurna.

Pasal 335 ayat (1) KUHP setelah direvisi MK menyebutkan : “ Diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu ) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.500,00 ( empatribu limaratus rupiah ) barangsiapa secara melawan hokum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melekukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain “. Pasal ini perlu kita kenali karena sebagai seorang pendidik kita sering melekukan kegiatan pendampingan dengan melibatkan peserta didik senior atau pengurus OSIS. Posisi kita juga akan bisa menjadi tersangka jika dalam kegiatan tersebut terjadi kegiatan melawan hokum meskipun yang melakukan bukan guru secara langsung.

Dalam era digital sekarang ini, selain peraturan - peraturan perundangan diatas, ada peraturan perundangan yang tergolong baru yang harus dikenali oleh seorang guru. Undang undang yang dimaksud adalah Undang Undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2016 sebagai Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik ( UU ITE ).

Permasalahan permasalahan hukum dapat saja menimpa seorang guru mengingat diera digital ini semua orang ( termasuk guru ) tidak pernah terlepas dengan media social. Mungkin kaena emosi / jengkel atau niatnya bergurau seorang guru mengungkapkan masalah / mengunggah foto/ mengunggah video peristiwa yang terjadi/ dalami disekolah melalui media social. Kebetulan masalah yang diunggah menyangkut nama baik, harga diri peserta didik / orang lain. Dalam pasal 45 ayat 3 UU ITE tersebut tertulis : Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendidtribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat ) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 ( Tujuhratus Limapuluh Juta Rupiah )

Selain permasalahan hukum menyangkut penyebaran berita, gambar, video atau konten lain yang melawan hukum. Kita harus memahami bahwa di era digital ini semua tingkah laku, semua perilaku seseorang dapat dengan mudahnya direkam, diambil gambarnya sebagi sebuah barang bukti jika itu menyangkut perbuatan melawan hukum. Misalnya seorang guru menarik telinga seorang peserta didik dalam kelas karena suatu hal. Peristiwa ini dapat saja direkam oleh peserta didik lain dan dapat dijadikan alat bukti sebuah tindakan penganiayaan.

Pasal pasal diatas hanya gambaran kecil dan mungkin masih banyak pasal pasal lain dalam peraturan perundang undangan lain yang bisa membawa seorang guru berurusan dengan masalah hukum . Semakin kita mengenal peraturan peraturan hukum maka kita semakin hati hati dalam melangkah, berhati hati dalam bertindak namun kita masih dapat melaksanakan tugas mendidik, membimbing dan tugas lain sebagai seorang guru.

C. Mensinergikan Tri Pusat Pendidikan.

Permasalahan hukum yang menyangkut guru / pendidik muncul karena adanya ketidak seimbangan pola asuh / pola pembimbingan terhadap peserta didik. Keseimbangan pola asuh yang dimaksud adalah adanya perbedaan situasi yang berlebihan antara pola asuh di sekolah dan pola asuh diluar sekolah. Ki Hajar Dewantoro, Bapak Pendidikannya Indosesia pernah memeunculkan istilah Tri Centra yang isinya : Di dalam hidupnya anak-anak ada tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya yaitu alam keluarga, alam pergaulan dan alam pergerakan. Istilah tersebut kemudian berkembang menjadi Tri Pusat Pendidikan, yang maknanya keberhasilan proses pendidikan itu harus melibatkan Pendidikan dalam keluarga, Pendidikan dalam Masyarakat dan Pendidikan di Sekolah.

a) Pendidikan dalam keluarga.

Keluarga adalah system social yang paling kecil yang terdiri dari Bapak, Ibu ( orang tua ) dan anak. Orang tua, suka atau tidak suka memiliki keahlian atau tidak, adalah pendidik dalam lingkup keluarga tersebut. Dia berkewajiban untuk menyelenggarakan “ pola pendidikan “ bagi anak- anaknya. Tentunya pola pendidikan dikeluarga berbeda dengan pola pendidikan di lingkungan sekolah. Sehingga dalam UU Sistem Pendidikan Nasional ( UU Nomor 20 Tahun 2003 ), pendidikan dalam keluarga disebut sebagai pendidikan informal, sedang pendidikan di lingkungan sekolah sebagai pendidikan formal. Meskipun demikian pola asuh dan pembimbingan dalam lingkungan keluarga harus berjalan. Justru penanaman sikap Spiritual, sikap sosial seharusnya dimulai dan berkembang pada lingkungan keluarga ini. Sikap spiritual seperti taat menjalankan ibadah sesuai Agama dan kepercayaan yang diyakininya, sikap toleran, senantiasa memelihara pola hidup bersih harus dimulai dari lingkungan ini.

Permasalahn hukum terkait guru disekolah sebagian dipicu oleh adanya ketimpangan pola asuh antara sekolah dan keluarga. Orang tua di rumah tidak menenamkan budaya tertib beribadah, disekolah ada kegiatan pembiasaan tertib berbadah. Ketika ada tindakan pedisiplinan anak terkait ibadah disekolah, orang tua kaget tidak terima dan membawa masalah keranah hukum. Jika dilingkungan keluarga tidak ada pola pembiasaan berpakaian yang santun namun disekolah ada pembiasaan pakaian yang santun dan rapi, maka masalah ini akan bisa menyeret guru dalam ranah hukum. Menurut Ki Hajar Dewantoro seperti yang dikutip dalam blog Pustaka Aslikan disebutkan bahwa : Suasana kehidupan keluarga merupakan tempat sebaik baiknya untuk melakukan pendidikan individu maupun sosial. Oleh karena itu keluarga adalah tempat pendidikan yang sempurna untuk melangsungkan pendidikan kearah pembentukan pribadi yang utuh.

b) Pendidikan dalam Masyarakat.

Masyarakat yang kami maksudkan disini adalah lingkungan diluar sekolah dan diluar keluarga, bisa lingkungan tempat bermain, teman bergaul, organisasi tempat berhimpun ( kegiatan non Formal ) dan lain sebagainya. Dilihat dari jumlah waktu dalam 24 jam kehidupan anak, mungkin seperempatnya anak berada dalam lingkungan masyarakat. Jika dalam masyarakat tidak terdapat pola asuh yang mendukung seperti halnya pola pendidikan di sekolah, maka dapat dipastikan lingkunag masyarakat akan dijadikan “ tempat pelarian “ ketika si anak kurang nyaman di lingkungan keluarga dan di sekolah. Misalnya bagi yang beragama Isalm ketika terdengar adzan sebagi panggilan sholat terjadi pembiasaan untuk segera melaksanakan sholat baik itu di keluarga maupun di sekolah tetapi tidak ada yang mengacuhkan ketika anak tetap nongkrong ditempat bermain. Maka anak akan cenderung berada dilingkungan bermain ketika adzan berkumandang. Waktu belajar malam hari ( jam 18.00 – 21.00 WIB ), ketika seorang anak masih berada dilingkungan masyarakat dan masyarakat tidak acuh terhadap apa yang terjadi, ini menunjukan pola pendidikan di masyarakat belum berjalan.

c) Pendidikan di Sekolah.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal tentunya pola asuhnya lebih tertata, kurikulumnya jelas arah pendidikan dan pembentukan karakternya jelas. Maka sebagian masyarakat masih melihat sekolah sebagai satu satunya lembaga tempat mendidik anak mereka

Pemahaman terhadap Tri Pusat Pendidikan ini seharusnya terus di masyarakatkan sehingga terjadinya kesamaan pola asuh pada tiga ranah pusat pendidikan. Adanya kesepahaman dan sinergi antara orang tua, masyarakat dan sekolah tentang pola asuh dan tanggung jawab pendidikan akan meminimalisir terseretnya guru pada masalah hukum terkait pola pendisiplinan, pola pembiasaan dan pola pendidikan terhadap pesrta didik.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setuju, salam literasi

25 Mar
Balas



search

New Post