Slamet Yuliono

SLAMET YULIONO, Si Pembelajar yang ingin dan ingin terus belajar kepada siapa saja. Dan berharap dengan bimbingan dan petunjuk-Nya, bisa bermanfaat bag...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menghitung Keluhan di Ramadan Berkah
http://www.aktual.com/muslim-mengeluh-dalam-kehidupannya-ini-pandangan-islam-1/

Menghitung Keluhan di Ramadan Berkah

Episode Artikel Khusus Ramadan (8)

TULISAN ini lebih pada koreksi diri dan semoga bisa bermanfaat tidak hanya pada diri penulis saja tetapi juga berimbas pada pembaca artikel ini. Bermula dari salah satu karyawan (PTT) di sekolah yang "curhat" tentang gaji yang diberikan di sekolah kok tidak sama, padahal kerjanya juga tidak jauh berbeda. Disambung keluhan lain tentang tugas tambahan yang berbeda serta se"abrek" keluh kesah tentang pekerjaan maupun masalah-masalah lainnya.

Pulang dari kerja (sekolah), penulis juga kembali disuguhi "proyek" yang relatif sama dengan di sekolah yaitu tentang keluhan dari istri, anak-anak bahkan "yuk" yang biasa ikut membantu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan ringan. Ditambah pula mengelola keluhan yang juga harus penulis jalani sendiri karena banyaknya pekerjaan yang belum tuntas.

Pertanyaannya, pernahkah kita menghitung hingga berapa kali mengeluh dalam sehari? Atau dalam satu jam saja?. Apalagi kalau keluhan itu digabungkan juga dari karyawan, anak istri serta diri sendiri. Jawabnya tergantung situasi dan kondisi pastinya.

Mengeluh yang dalam terjemah bebasnya diartikan dengan refleksi dari ketidakpuasan diri (kita) terhadap permasalahan hidup seperti pekerjaan, pasangan hidup, anak-anak, masa lalu, dan berbagai macam hal lainnya. Satu perbuatan keliru yang karena faktor tertentu di setiap saat yang kadang tanpa kita sadari (spontan).

Mengeluh adalah sesuatu yang sangat mudah diucap dan dilakukan. Bahkan bagi beberapa orang, hal ini menjadi suatu kebiasaan lebih parahnya lagi mengeluh sudah menjadi suatu kebanggaan. Apalagi dengan berkembangnya IT akhir-akhir ini, semua bentuk keluhan bisa kita tumpahkan di media sosial berharap orang lain ikut merasakan apa yang sedang kita rasakan.

Bila Anda memiliki dua orang sahabat saja, yang pertama selalu berpikiran positif dan yang kedua selalu mengeluh, Anda akan lebih senang berhubungan dengan yang mana? Menjadi seorang pengeluh mungkin bisa mendapatkan simpati dari teman kita, tetapi tidak akan membuat kita memiliki lebih banyak teman.

Mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah kita, bahkan bisa membuat kita kehilangan teman. Hal negatif lainnya kita akan dicap sosok kekanak-kanakan, cengeng, manja dan sebagainya karena kurang mampu menyelesaikan masalah yang justru akan menghambat bertambahnya kedewasaan kita dalam bersikap.

Mengeluh, atau memberikan respons negatif terhadap fenomena atau hal-hal yang terjadi terhadap dirinya atau sekitarnya, sesungguhnya wajar dan lumrah. Ini manusiawi, ketika menerima, melihat atau mendengar sesuatu yang tak sesuai keinginan atau harapan, akan ada reaksi spontan secara emosional dan terekspresikan secara fisik yang menunjukkan perasaan kecewa atau tak puas.

Secara verbal mungkin keluar umpatan atau sumpah serapah. Sedangkan secara fisik akan terlihat dari raut wajah yang merengut, atau detak jantung berdebar kencang karena adrenalin naik atau keluar keringatan, menahan amarah atau kekecewaan.

Sikap seperti ini dari zaman Rasululah sudah ada, perhatikan apa yang ada dalam Alquran, Surah Al-Ma’arij Ayat 19-21. “.... Inna al insan khuliqa halu`a. Wa idza massahu al sharr jazu’a. Wa idza massahu al khayr manu’a....”. Artinya, sesunggguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh-kesah dan kikir. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh-kesah dan saat mendapatkan kebaikan, ia menjadi amat kikir ..". Ayat Al - Quran ini mengindikasikan bahwa manusia memiliki kecenderungan menjadikan mengeluh sebagai "ventilasi" dari ketidakpuasannnya.

Ketika di kantor tiba-tiba koneksi internet lamban, atau pembantu rumahtangga kita membuat bolong baju kesayangan kita karena seterikanya terlalu panas, atau ketika akan pulang kantor lalu hujan ataupun ketika udara panas. Pada saat-saat itu yang muncul adalah keluhan dan respons negatif yang cenderung menunjukkan bahwa di dunia ini tidak ada hal positif dan baik yang diterimanya.

Sesungguhnya, hal hal yang terjadi di luar keinginan kita, bisa diibaratkan sebagai ‘interruption’. Interupsi atau sela atas kemapanan, kestabilan yang biasanya membuat seseorang "taking things for granted" atau melihat segala sesuatu sebagai yang selalu tersedia.

Hujan seharian seyogyanya bisa menjadi momentum merindukan dan mensyukuri hari lain yang tidak hujan. Koneksi internet yang lola (loading lambat), niscayanya menjadikan seseorang mensyukuri saat-saat koneksi lancar. Saat terkena sakit hendaknya menjadikan seseorang menyadari berharganya kesehatan, dan betapa sepatutnya disyukuri dan dijaga sebaik-baiknya.

Dengan memakai cara pandang positif seperti ini, tidak hanya akan membuat seseorang lebih tenang, kalem, dan tidak panik atau uring-uringan menghadapi situasi yang tak diinginkan. Tetapi juga akan menularkan energi positif terhadap orang di sekelilingnya.

Berada di sekitar orang yang lebih suka mengeluh tentang apa saja yang tidak sesuai dengan harapan, dan mereka yang mencoba mengambil sisi positif dari kejadian yang menyebalkan bahkan bisa mentertawakannya, pasti berbeda. Yang satu, seakan menyodorkan gambaran suram dan menakutkan, dan yang lain seolah memberikan potret yang membuat optimistis dan peluang mencari solusinya lebih besar.

Ada pepatah Arab mengatakan su’ul khuluq yu’di (berhati-hatilah) kebiasaan buruk itu menular. Dan, demikian pula kebiasaan baik. Karenanya, tinggal kita memilih, energi apa yang ingin kita dapatkan dari orang di dekat kita?

Orang yang memiliki keterampilan mengelola keluhan menjadi keoptimisan, maka ia akan cenderung berterima kasih dan bersyukur tidak hanya dengan kenikmatan, tapi dengan ketidakberuntungan. Bagi seseorang yang bersyukur seperti itu, ketidaknyamanan, ketidakberuntungan pun akan menjadi sesuatu yang memperkaya batinnya. Apalagi ketika dia mendapatkan kenikmatan, baginya kenikmatan itu terasa berlipat ganda.

Karenanya, agar menjalani hidup terasa lebih ringan dan nyaman, bukan hanya mensyukuri kenikmatan dan kebahagiaan, tapi juga menerima dan mengelola ketidakberuntungan menjadi kearifan jiwa.

Mengeluh adalah penyakit, dan untuk mengatasi (menghadapi) masalah seperti ini seharusnya kita bermuhasabah. Dan sosok dari pemimipin kharismatik Imam besar Ibnul Qayyim Al - Jauziyyah patut dijadikan rujukan tentang cara muhasabah, dengan perkataannya: “... Pertama-tama hendaklah menghitung diri dalam masalah kewajiban, jika ingat masih ada kekurangan, maka hedaknya segera disusul dengan mengqadla atau memperbaikinya. Kemudian setelah itu menghitung diri dalam masalah larangan, jika mengetahui ada larangan yang telah dikerjakan atau diterjang, maka hendaknya segera menyusulnya dengan bertaubat dan beristighfar serta banyak melakukan kebajikan-kebajikan yang akan dapat menghapusnya .....".

Akhirnya, selamat mengelola keluhan diri sebaik-baiknya di bulan penuh berkah ini. Insyaallah kita lulus dan mendapat tambahan gelar Muttaqin. Aamiin ....

Si Pembelajar -Slamet Yuliono-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post