Pembiasaan Menuju Berkah Ramadan
Episode Artikel Khusus Ramadhan (3)
PESAN penting yang selalu dikumandangkan oleh ustaz atau penceramah saat kultum maupun pengajian saat ramadan tiba adalah perlunya peningkatan derajat takwa. Paparan pertama dan utama ini seolah menjadi dendang rangkaian orkestra wajib yang harus di dengar dan di ikuti semua orang untuk menyambut datangnya kegiatan krusial ini. Pesan wajib disampaikan itu adalah kupas tuntas terjemahan dari isi Q.S Al Baqarah ayat 183 (Q.S. 2 - 183) yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Untaian kata indah penuh makna jiwani tersebut, mendudukkan posisi Allah SWT yang sudah memastikan bahwa kita (ummat Islam khususnya) diwajibkan berpuasa itu agar kita "berproses" menjadi orang bertakwa.
Berproses dalam makna yang lebih luas adalah mengarungi kehidupan nyata, yang didalamnya kadang-kadang menyenangkan, kadang-kadang menyebalkan, atau bahkan kadang-kadang membosankan. Terlepas dari latar belakang apapun kehidupan kita, apakah kita dari golongan keluarga kaya, menengah atau miskin, semuanya mengalami proses kehidupannya masing-masing.
Membutuhkan kesadaran tingkat tinggi agar kita bisa menikmati proses kehidupan ini dengan baik. Kesadaran mengenai diri sendiri, kemampuan membaca alam semesta dan kemauan mendekatkan diri pada Tuhan. Dan, kesadaran ini hanya bisa diraih dengan perenungan dan kesendirian. Meski terkadang kita masih butuh bantuan orang lain untuk menemukannya, ingatlah bahwa ini tentang perenungan diri sendiri yang terdalam. Kesadaran yang ada pada diri kita, menanti untuk disadari dan pastinya menemukannya.
Sambil menjalankan ibadah puasa ramadan. mari kita cermati makna yang tersirat dan tersurat itu lebih dalam. Bila kini usia kita telah 50 tahun, dan anggaplah kita mulai mengerjakan puasa ramadan sebagai kewajiban dengan sungguh-sungguh sejak usia 15 tahun saja. Maka secara teori kita telah 35 tahun menjalankan puasa ramadan. Manfaat apa yang telah kita dapat bahkan peroleh dari 35 tahun melakukan ibadah puasa, dalam kaca mata (penilaian) masyarakat awam. Sudahkah kita-kita ini menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya, atau sudahkah kita menjadi orang yang pandai bersyukur. Jawab mayoritas kita selalu insyaallah, karena kita menyadari masih belum bisa menjadi orang yang lebih baik dan menjadi sosok yang pandai bersyukur.
====
Belajar dari kehidupan di dunia yang memang ber"proses", dengan selalu dan selalu diingatkan menjalankan perintah. Kita manusia tetap diwajibkan untuk mendirikan atau menjalankan salat, berzakat, termasuk berpuasa tujuannya hanya satu membiasakan diri untuk selalu ingat dan selalu bersyukur atas nikmat dan karunia Allah yang tak terbatas.
Sudah banyak ilmu dan masukan di saat kita mendengarkan kajian agama yang disampaikan oleh orang yang paham agama (ustaz) agar kita selalu ingat dan waspada dalam menjalankan kehidupan di dunia ini dengan selalu mengedepankan kebenaran menuju keberkahan ilahi secara istiqomah.
Kenapa kalimat istiqomah yang menjadi rujukan pada artikel ini, sebab pemaknaan dari kata ini lebih variatif dan fleksibel (luwes). Istiqomah dalam bingkai keilmuan praksis itu bisa bermakna (1) konsisten itu (apa yang dikata dan diucap hari ini adalah juga merupakan perkataan dan ucapannya di hari esok, lusa, hingga nanti); (2) persisten (melambangkan idealisme yang tinggi dalam menghadapi beratnya ujian dan cobaan dan mampu dilewati secara konsisten/ajeg); dan (3) konsekuen (sesuai dengan apa yang telah dikatakan atau diperbuat; berwatak teguh, tidak menyimpang dari apa yang sudah diputuskan tetap tegar dan tegak bekerja dan berkarya tidak kenal lelah).
Menjalankan kehidupan itu ber"proses", perlu pembiasaan tanpa kenal lelah dan akan sukses bila niatannya semata-mata membangun kehidupan seseorang itu menjadi sosok yang berkarakter mulia. Karakter impian setiap insan yang hidup di dunia sehingga tumbuh menjadi insan yang semakin baik dari hari ke hari, bulan ke bulan, atau bahkan dari tahun ke tahun. Baik dalam segi finansial berupa harta, serta di sisi akhirat yang beruntung.
Jalan panjang yang harus dilalui manusia yang hidup di dunia inilah yang akan menjadi taruhan kehidupan di "dunia" yang baru kelak. Apakah ia akan menjadi insan beruntung atau menjadi ummat yang celaka. Beruntung kalau kita kembali dalam kondisi suka, dan celaka bila kita kembali dalam kondisi duka, dan itu adalah pilihan.
Gemblengan menjadi insan kamil pastinya amat berat. Berat karena manusia itu diciptakan oleh Allah dengan karakter yang maaf "ndableg". Sifat alami dari semua orang yang susah di atur dan dikendalikan, maunya hidup di dunia ini enaknya tanpa susah payah dan apa yang diinginkan semua terpenuhi.
Contoh sifat manusia yang seperti ini sudah ada sejak Nabi Adam tercipta, dengan karakter dan ciri khas itulah yang menyebabkan Bapak Manusia ini terlempar dari alam kenikmatan (surga) menuju alam ujian dan cobaan (dunia).
Untuk kembali menjadi manusia yang baik dan terpercaya pastinya harus punya bekal dan teruji. Ujian kehidupan atas "bebalnya", kita (manusia) yang lemah ini, dan akan lulus bila bisa melalui rintangan. Rintangan berupa kemampuan meminimalisir segala larangan yang di buat Allah, dan kemampuan untuk menjalankan mayoritas perintah-Nya.
Banyak cara yang harus dijalankan oleh insan yang hidup di dunia agar bisa kembali ke surga-Nya. Diantaranya adalah berpuasa di bulan ramadan sebagai salah satu ritual keagamaan wajib bagi seluruh kaum muslimin yang sudah baligh.
Sesuai dengan firman Allah dalam Alquran setiap orang beriman di wajibkan berpuasa sebulan penuh selama ramadhan sejak terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Tidak makan dan minum dan melakukan apapun yang membatalkan puasa.
Kepastian seperti inipun terkadang masih ditanyakan: "... kapan ujian ini akan berakhir, padahal kita sudah berpuasa setiap tahun hingga lebih dari 35 kali ...". Jawabnya sederhana, selama kita hidup di dunia kita tidak akan lepas dari ujian dan cobaan.
Bukan hanya perintah menjalankan puasa saja, bisa juga salat, zakat, dan termasuk ibadah maghdoh lainnya. Bila kita bisa jalani pembiasaan ini dengan baik dan Lulus kita mejadi orang baik dan disayang Allah berbalas surga. Tidak lulus kita dibenci Allah dan berbalas Neraka. Hidup ini ujian dan membiasakan yang baik menurut Allah itu harus. Semoga !
Si Pembelajar - Slamet Yuliono -
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Penutupnya sangat menohok Pak, tapi saya suka. "Hidup ini ujian dan membiasakan yang baik menurut Allah itu harus", insyaallah berproses nenjadi baik. Makasih pak, artikel bapak padat berisi tapi renyah saat dikunyah.
Terima kasih Bunda atas atensinya ....