ILMU NGEYEL

--------------------

JELANG 17 Agustus, warung bakso "Pak Agus" bikin promo.

Siapa saja yg namanya Agus (orang yang kelahiran di bulan Agustus) gratis makan bakso. Syarat: tunjukin KTP.

Suatu kali terjadi keributan di warung tersebut.

Usut punya usut, ada pembeli 'maaf' orang Madura yang tidak terima karena nggak dapat kesempatan promo gratis itu. Lha namanya bukan Agustus, tapi tetap 'ngeyel'.

"Lho nama sampeyan kan bukan Agustus"

"Tapi kan jenengku Barjuli. Sampeyan pasti tahu, dari dulu Bar ... Juli itu ya Agustus. Mosok Desember".

Oalah... Barjuliii... Barjuliii...

by. WA - guyon Parikeno -

*****

Ada hal menarik 'ending' kisah yang penulis salin dari isi WA (Whatapp) sebelah, menggelitik dan konyol tetapi ini terjadi dalam kehidupan keseharian kita.

Ngeyel, itulah yang kadang menjadi sesuatu banget dan unik yang ada di seputar kehidupan kita sehari-hari. Mereka-mereka yang menerapkan ilmu ini, berdalih kalau tidak ngeyel kita akan tidak dapat apa-apa. Wong dengan ilmu ngeyel saja kita kadang masih ditelikung.

'Ngeyel' berasal dari kata dasar "eyel", yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)- https://kbbi.web.id/eyel- diartikan: tidak mau mengalah dalam berbicara; ingin menang sendiri dalam berbicara.

Kata ini menjadi menarik penulis ungkap karena di era serba materialistis dimana semua aktivitas selalu dikaitkan dengan uang dan menghasilkan. Apapun caranya, bahkan untuk mendapatkan 'sesuatu' itu harus diperebutkan dengan segala cara, dan salah satu cara itu adalah dengan ngeyel.

Seseorang disebut ngeyel kalau dia bersikap bersikap keras kepala, bandel, tidak mau taat perintah, membangkang, dan sebagainya. Sekalipun demikian, orang yang bersikap ngeyel tidak berarti selalu buruk. Misalnya, ada bawahan yang ngeyel terhadap perintah atasan apabila perintah itu dinilai tidak baik, tidak pantas, atau merugikan diri sendiri atau orang lain. Maka di balik ngeyelnya seseorang, bisa jadi orang tersebut cerdas, kritis, pintar, dan tentu saja berani. Dan ini bisa disebut ngeyel dalam arti positif.

Sebaliknya, ada ngeyel yang negatif, di mana orang itu ngotot mempertahankan argumen sekalipun salah dan keliru. Tentu lebih celaka lagi bila orang itu sadar kalau yang dia “ngeyelkan” itu sebenarnya salah, keliru, dan tidak jelas juntrungannya.

Adu ngeyel yang digambarkan dalam dialog awal tadi, kelihatannya tidak perlu ditunggu kapan akan berakhir. Sementara bulan yang dijadikan sumber sayembara segera berakhir. Namun kita yang membaca berita tersebut, sekaligus wasit dari 'kengeyelan', tentu dapat menilai dengan pikiran jernih: siapa sebenarnya yang ngeyel dalam arti yang positif, dan sebaliknya.

Yang penting, ngeyelnya sosok menganggap benar sendiri dan berbuah gaduh perlu diberangus, dan semoga saja perbuatan ngeyel tapi salah bisamenjadi bahan renungan dan evaluasi bagi segenap elemen masyarakat di kita. Bagaimana agar dalam merancang suatu program atau kegiatan itu 'kalau' bisa dengan patokan yang jelas dan realistis. Ora sak karepe udhele dhewe.

Turen - Malang, 12 Agustus 2018

Si Pembelajar: Slamet Yuliono