Rinduku untuk Guruku
Namaku Mega, kini aku duduk di kelas 9 SMP. Sejak kecil aku tinggal di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Asri, tenang, damai itulah yang kurasakan. Aku cinta desaku. Namun dibalik itu semua, ada banyak cerita miris di desaku dari mulai tingkat kemiskinan, pengangguran bahkan tingkat putus sekolah. Tempat tinggalku di daerah perbatasan antara dua kabupaten, sehingga sudah tidak heran jika masih sangat banyak yang perlu pemerintah perhatikan, terutama infrastruktur jalan.
Cita-citaku sangat besar. Menjadi guru, itulah cita-citaku yang banyak orang pertanyakan. Aku yakin bisa mewujudkan cita-citaku, walaupun aku hanya melihat luasnya dunia hanya lewat boks tabung besar yang disebut televisi, di rumahku. Semangatku tinggi, sangat tinggi, walau terkadang lingkungan tempat tinggalku dan teman temanku tidak mendukung, karena angka putus sekolah di lingkungan tempat tinggalku yang masih tinggi.
Aku merasa sedikit lega jika teman-temanku hanya bermalas-malasan di sekolah, bukan putus sekolah. Ya, kisah tersedih adalah ketika teman sebayaku putus sekolah, dan menikah dini. Sudah tidak heran, siswi putri lulusan SMP menikah dini, dan tidak melanjutkan sekolah, dengan berbagai alasan dan persetujuan orang tuanya. MIRIS. Dengan berbagai cerita yang ada di desaku aku semakin semangat untuk mengejar impianku.
Bagiku pendidikan sangat penting, namun sejak pandemi datang, semua berubah. Tak ada lagi tatap muka, canda, riang, dan tawa yang biasa menjadi penghias hari-hariku bersama guruku. Tak ada lagi bunyi bel jam istirahat yang sangat kurindukan, bahkan sudah sangat lama tak terdengar teriakan atau amarah guru ketika teman-temanku membuat kegaduhan atau susah diatur ketika di kelas. Dahulu aku benci amarah guru, namun tak pernah kubayangkan sekarang aku rindu. Aku kini paham, dahulu ketika sekolah normal, aku harus berjalan kaki sepanjang 3 km untuk mencapai ke sekolah, aku harus menimba air pukul setengah 5 pagi untuk mandi, aku tidak bisa membantu ibuku berjualan di rumah setelah, aku kembali dari sekolah. Semua itu kulakukan hanya untuk bertemu teman-temanku dan guruku. Aku rindu segala kebiasaan itu.
Pembelajaran seketika berubah, menjadi online. Tidak seperti siswa lain yang bisa belajar secara online, bagiku, siswa yang hanya tinggal di daerah perbatasan, hanya bisa mengandalkan buku pelajaran yang dibagikan dari sekolah. Aku hanya bisa mengandalkan sinyal yang entah baik buruknya tak menentu, dan mengandalkan lembar kerja yang dibagikan oleh guru.
Tak pernah terpikirkan olehku, kini dunia berubah, tak lagi sama. Hampir tiap minggu kutanyakan pada guru atau sekadar teman yang sudah bertemu guru, “Kapan sekolah akan masuk?” Pertanyaan yang berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan kutanyakan. Namun hingga kini belum ada jawaban.
Bagiku, siswa yang tinggal di desa dengan berbagai keterbatasan, dengan berbagai kesibukan orang tuaku peran guru sangatlah berarti. Guruku yang setiap hari mengajar dengan kreatif, memberi motivasi bukan hanya kepada kami sebagai siswa, namun juga kepada masyarakat dan orangtuaku. Merekalah guru-guruku, tak heran sebagian dari mereka berlabel Guru Garis Depan (GGD), guru yang ditempatkan di daerah terpencil, ya, seperti di desaku ini. Aku tahu, mereka harus rela berkorban merantau dari tempat asal mereka, jauh dari keluarga, untuk mengabdi, mengajar di desaku, Ya, itulah guruku.
Motivasi, cerita, pengajaran yang kreatif yang mereka ajarkan dengan penuh canda tawa, membuat semangat belajarku meningkat. Jam kosong di kelas mulai berkurang, sejak kedatangan mereka yang dahulu sering terjadi jam kosong, jarang guru yang masuk ke kelasku. Pengorbananku yang harus menempuh jarak rata-rata 2-5 km berjalan kaki dengan kondisi jalan yang terjal hanya untuk datang ke sekolah, namun setibanya di sekolah hanya sedikit guru yang mengajar di kelas, tidak lagi aku dialami. Kedatangan GGD dan guru baru lainnya benar-benar mengubah pola pengajaran bagiku.
Bagiku yang tinggal di desa perbatasan yang dikelilingi oleh indahnya perkebunan teh yang menghampar indah di bawah jalan, guru adalah sumber utama ilmu. Aku terbiasa belajar difasilitasi olehnya. Aku yang belum mengenal teknologi, karena keterbatasan sinyal dan fasilitas, sangat mengandalkan guru. Namun semua berubah sejak pandemi datang. Dampak terburuknya yaitu pertambahan angka teman-temanku yang putus sekolah akibat pandemi, dan tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Berbagai cara, sudah guruku lakukan untuk memaksimalkan pembelajaran dari rumah selama masa pandemi dengan segala keterbatasan yang kami miliki, namun tetap saja, aku butuh guruku. Guru yang tidak hanya mengajarkan materi pembelajaran, tapi lebih dari itu, Guru yang selalu memberikan wawasan yang luas, yang mengubah sudut pandang dan pemikiran, atau bahkan mengajarkan pendidikan karakter bagiku. Itulah salah satu alasanku ingin menjadi seorang guru. Aku ingin menjadi Agent of Change itulah semboyan yang selalu guruku katakan. Aku ingin membawa perubahan bagi orang-orang disekitarku dan masyarakat di desaku tinggal.
Wahai Bumi, segeralah membaik, kutitip rinduku pada guruku, sekolahku, teman-temanku, hingga waktunya tiba, kami semua bisa bersekolah kembali dengan normal, dan bertemu guru-guruku.

Syifa Qalbiyatul Layyinah, S.Pd seorang guru IPA di SMPN 3 Rongga. SMP ini terletak di pedalaman Bandung Barat. Wanita kelahiran Cianjur, 13 November 1994 dibesarkan di Cianjur oleh kedua orang tua yang berasal dari dunia Pendidikan. Syifa, mendapat gelar sarjana di Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2017.
Kecintaannya pada Alam, lingkungan, dan membawanya berkuliah di jurusan International Program on Science Education (IPSE) atau Pendidikan IPA. Semasa kuliah, Syifa aktif di berbagai organisasi kampus, seperti BEM REMA UPI, Koperasi Mahasiswa, BEM Himpunan IPSE (SA-IPSE), Santri Siap Guna Darut Tauhid. Ia juga aktif mengajar, sebagai guru privat dan bimbel saat kuliah. Setelah menyelesaikan gelar sarjananya, Ia langsung mengajar di SMKN 1 Cikalongkulon Cianjur dan SMK Darul Muttaqin Cianjur selama dua tahun, karena kecintaannya pada dunia anak-anak dan Pengangkatan PNS ia pindah ke jenjang yang lebih rendah, yakni SMP. Syifa pernah terpilih menjadi delegasi guru PPL yang mengajar di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL). Kini, Syifa mengabdi di daerah pedalaman Bandung Barat.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar