CATATAN DI UJUNG SENJA
CATATAN DI UJUNG SENJA
Sore ini gerimis turun membasahi semesta. Entah mengapa, Maryati begitu menikmati saat menyaksikan rinai hujan yang jatuh dari langit menyentuh pucuk-pucuk cemara. Setiap kali hujan turun mendera, tiap kali itu juga ia menggeserkan kursi ke arah jendela dan duduk bersandar dengan mata menerawang jauh. Semerbak melati yang berasal dari rimbunan di bawah jendela menawarkan ketenangan jiwa. Riuh rendah hewan amfibi membentuk musikalisasi laksana harmoni penyeru hujan. Awan kelabu yang menggantung di langit pun turut hadir melengkapi suasana syahdu.
Gerimis ini mengingatkan Maryati pada puluhan tahun silam, saat ia bersama suami dan anak-anaknya meleburkan cinta dalam cengkerama di ruang keluarga. Roti panggang dan teh manis seakan sudah menjadi menu wajib tiap kali hujan turun menyapa. Minum teh manis hangat setiap sore sudah menjadi tradisi keluarga Maryati. Ia beranalogi, ini adalah salah satu cara agar ikatan rasa di antara mereka selalu hangat, layaknya teh hangat yang mereka minum. Lalu, meninggalkan kenangan manis seperti teh manis yang mereka nikmati.
Tapi hidup tak selamanya manis. Anak-anaknya yang dulu manis dan diharapkan tetap manis, kini mengubah rasa itu menjadi tawar, bahkan pahit. Sudah hampir delapan bulan Maryati tinggal di panti wreda ini. Selama itu pula baru dua kali ia disambangi keluarganya, itu pun tidak semuanya dan ada kepentingan khusus. Pertama, delapan bulan yang lalu saat awal ia dititipkan di panti ini. Kedua, lima bulan setelahnya ketika Bayu, anaknya, menemuinya untuk meminta tanda tangan atas persetujuan menjual kebun sahang yang ada di belakang rumahnya. Hanya itu, tak lebih.
Maryati bukanlah seorang wanita tua yang hidup sebatang kara. Bukan pula seorang nenek yang tinggal di gubuk reot pada pinggiran hutan bak cerita fiksi dalam dongeng pengantar tidur. Maryati adalah seorang ibu, ibu mertua, nenek, dan buyut dari keluarga besar yang cukup terpandang di kampungnya. Hampir semua warga di kawasan tempat tinggalnya mengenal keluarga mereka. Keluarga yang dipandang berhasil dalam mendidik anak-anaknya hingga kesuksesan menjadi milik mereka. Keluarga yang selalu dijadikan contoh dan panutan bagi masyarakat di sekitarnya. Namun, semua kesuksesan yang telah diraih anak-anaknya tak berbanding lurus dengan kehidupan masa tua Maryati.
Tak pernah terbersit dalam pikiran Maryati kalau warisan peninggalan mendiang suaminya menjadi pemicu dan pemacu anak cucunya untuk mengirimkannya pada tempat ini. Warisan dari laki-laki yang sangat dicintainya tersebut terbilang cukup banyak. Sebuah rumah besar dengan pekarangan yang sangat luas, puluhan hektare tanah, dan sejumlah perhiasan logam murni kerap menjadi topik perbincangan bagi anak cucunya ketika mereka berkumpul dalam acara keluarga.
Kilatan masa silam itu terhenti seketika saat deru mobil berhenti tepat di depan pintu utama wisma. Seorang lelaki dengan mengenakan kemeja kotak-kotak biru muncul dari balik Honda Jazz hitam metalik sambil membawa parsel berisi aneka buah. Maryati menyipitkan matanya dari kejauhan dan memerhatikan dengan saksama sosok yang tak asing lagi buatnya. Seketika matanya berkaca. Mata sepuh itu mengalirkan butiran bening pada wajah keriputnya. Guratan wajahnya tergambar jelas dan menegaskan bahwa tempaan hidup yang ia lewati begitu pelik.
Dengan dalih agar Maryati tak merasa kesepian, anak-anaknya sepakat untuk menitipkannya di panti ini. Memiliki delapan orang anak, dua puluh cucu, dan lima belas cicit, bukankah sejatinya ia tak pernah merasakan kesepian? Kesepian di tengah keramaian. Paradoks itu yang merajai hati Maryati saat ini. Hanya Sang Mahakuasa yang mampu menghalau segala rasa. Pada sepenggal kisah yang menyisakan resah dalam desah, Maryati menggantungkan asa pada satu masa yang tersisa.
***
“Mau mengunjungi siapa Mas?” tanya petugas panti pada lelaki dengan perawakan kurus tinggi yang pandangannya menyapu ke dalam ruang utama wisma.
“Eh, anu Mbak, saya mau mengunjungi Ibu Maryati,” ucap lelaki itu sedikit kaget atas kehadiran petugas panti secara tiba-tiba tersebut.
“Saya Bayu, anaknya Bu Maryati,” ucap lelaki tersebut mengenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan dan menyalami wanita paruh baya tersebut.
“Oh, anaknya Bu Maryati. Biasanya jam-jam begini, Bu Mar bersama yang lainnya mengisi waktu sore mereka di ruang kreasi,” jelas wanita tersebut seraya memandang lekat pada lelaki perlente yang ada di hadapannya.
“Ruang kreasi?” ucap lelaki itu dengan intonasi tanya yang menggantung.
“Ya, ruang kreasi. Ruang itu disediakan khusus untuk penghuni panti ini yang sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. Di ruangan itulah Bu Maryati bersama penghuni yang lainnya mengisi waktu sore mereka. Mereka menganyam atau sekadar bertukar kisah tentang perjalanan panjang hidup mereka,” urai wanita tersebut laksana guide yang sedang memberikan penjelasan pada wisatawan seraya menyunggingkan senyum ambigunya.
Lelaki tersebut hanya membalas dengan senyum kecut. Ia nampaknya tak tertarik untuk menggali informasi lebih dalam dari wanita itu. Sepertinya ia sudah dapat menduga ke arah mana muara pembicaraan itu jika ia banyak bertanya perihal ibunya. Yang ada justru akan jadi bumerang baginya. Predikat anak durhaka atau anak yang tak memiliki hati akan disematkan padanya jika ia berlama-lama berbincang dengan wanita berwajah oriental tersebut. Jianheeng, demikian nama wanita itu berdasarkan tanda pengenal yang tersemat di dada kirinya. Dalam bahasa Tionghoa, Jianheeng mengandung arti gigih dan tabah. Tak salah rasanya jika wanita tersebut mengabdikan dirinya sebagai pramurukti di panti ini. Seorang pramurukti sudah selayaknya memiliki kegigihan, ketabahan, kesabaran, dan jiwa humanis yang tinggi.
“Mmm… maaf Mbak, boleh saya menemui ibu?” tanya lelaki tersebut seolah tak sabar untuk segera bertemu ibunya dan menyadarkan wanita yang ada dihadapannya tentang tujuan utamanya datang ke panti ini.
“Eh, iya Mas. Tentu saja boleh. Mari Mas, kita temui ibu di dalam,” ucap wanita itu seraya mengajak lelaki berkacamata tersebut memasuki sebuah ruangan yang berhadapan dengan taman samping.
***
“Kata ‘pulang’ selalu terdengar jauh lebih indah daripada ‘pergi’. Tetapi orang harus rindu untuk bisa menikmati keindahan pulang ~Aan Mansyur~”
Mata lelaki itu tertumbuk pada sebuah tulisan yang terpampang di atas pintu. Kutipan puisi sastrawan Aan Mansyur. Tulisan yang tertera pada selembar kertas berwarna biru langit dengan background gambar sekawanan merpati putih tersebut menarik perhatiannya. Ia berhenti sejurus di depan pintu sambil memerhatikan dengan saksama tulisan pada selembar kertas yang telah dilaminating tersebut. Deretan aksara dalam kalimat yang terpampang dihadapannya itu seolah sedang bersekutu untuk mengetuk sisi humanisnya.
“Ruangan ini sengaja dirancang sebegitu rupa agar penghuni panti merasa nyaman untuk berkreasi atau sekadar bersosialisasi,” ujar wanita tersebut seolah tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran tamunya.
Lelaki berhidung bangir itu hanya tersenyum getir seraya mengangguk pelan. Matanya dengan mudah dapat melihat aktivitas yang dilakukan penghuni panti. Pintu ruangan itu dibiarkan begitu saja terbuka lebar. Di sudut ruangan, Maryati dan beberapa penghuni lainnya tampak sedang menganyam tikar yang terbuat dari daun nipah. Sesekali ia bergurau dengan sesama penghuni panti. Maryati kelihatan begitu menikmati berada di ruangan ini. Di ruangan inilah ia seolah menemukan kembali potongan puzzle masa lalunya.
Pada sudut lain di ruangan yang cukup besar itu, tampak beberapa wanita senja sedang menghiasi tudung saji. Tudung saji itu di cat merah menyala yang dominan. Dengan motif daun sahang berwarna hijau dan sentuhan warna kuning pada bagian bawah tudung saji tersebut, memberi kesan unik dan etnik. Tak jauh dari mereka, ada juga yang sedang menganyam kopiah resam. Tak hanya itu, beberapa laki-laki berusia lanjut tampak sedang belajar memetik dambus meski irama yang terdengar tampak belum harmonis. Ruangan ini benar-benar menjadi tempat berkreasi bagi penghuni panti.
“Bu Mar, ada yang mau bertemu dengan Ibu nih,” ucap Jianheeng dengan lembut.
“Siapa?” tanya Maryati sambil menoleh ke arah yang ditunjuk Jianheeng.
Maryati hanya menoleh sepintas dan kembali memalingkan wajahnya. Ia seolah tidak melihat kehadiran Bayu, anaknya. Sesekali ia terkekeh tatkala mendengar celoteh teman yang ada di sampingnya. Mereka seolah menertawakan masa muda mereka dengan kekonyolan yang pernah mereka lakukan. Hati Bayu merasa ngilu dan nelangsa melihat pemandangan yang terpampang di depannya. Ia merindukan tawa lepas ibunya di rumahnya sendiri bersama anak cucunya, batinnya.
“Bu Mar, tuh ada anakmu yang mengunjungi,” ucap wanita tua berkacamata lebar yang berada di samping Maryati.
“Biar saja,” ucap Maryati dengan nada terdengar sedikit ketus.
Bayu mendekati ibunya dan berjuang untuk memenangkan kembali hati wanita yang telah melahirkannya tersebut. Ia datang dengan berputih hati untuk Maryati, ibunya. Ia ingin membawa ibunya pulang ke rumah dan tinggal bersama mereka seperti dulu lagi.
“Untuk apa kau datang kemari?” ucap Maryati dengan sikap dingin.
“Ibu kok ngomongnya begitu? Apa kabar Bu? Sehat Bu?” ujar Bayu sambil mencium punggung tangan ibunya.
Maryati membiarkan Bayu meraih tangannya dan mencium punggung tangannya. Tapi hati seorang ibu tak bisa berbohong, sudut matanya menyiratkan ada kerinduan yang membuncah pada buah hatinya tersebut.
“Kalian senang kan kalau ibu tidak ada di rumah. Kalian bisa bebas melakukan apa saja yang kalian suka. Tidak ada lagi yang menganggu dan merepotkan kalian. Tidak ada lagi yang cerewet dengan anak-anak kalian. Tidak ada lagi yang ….”
“Sssttt! Cukup Bu! Ibu jangan bicara begitu,” sela Bayu setengah berbisik sambil menempelkan telunjuk di bibirnya.
“Apa kau malu kalau sampai pengurus panti di sini mendengar yang ibu sampaikan? Apa harga dirimu jatuh kalau seisi panti ini tahu kebenarannya?” cecar Maryati dengan suara berat menahan sesak.
“Bu, sebelumnya kami minta maaf. Bukan maksud kami untuk menjauhkan Ibu dari kehidupan kami. Kami hanya ingin yang terbaik buat Ibu,” ujar Bayu dengan suara bergetar.
“Yang terbaik buat ibu? Bukankah justru keberadaan ibu di tempat ini merupakan yang terbaik bagi kalian?” ucap Maryati dengan suara parau.
Bayu diam sesaat. Ucapan ibunya bagai godam yang menghantam kepalanya. Hatinya penuh dan sesak. Mata keduanya mulai berkaca, terlebih lagi Maryati. Mengenang perjuangannya menghidupi dan membesarkan anak-anak seorang diri adalah hal yang paling mengesankan baginya. Air matanya kian tak terbendung saat memori mendiang suaminya yang telah dua puluh tahun berpulang menghadap Sang Khalik berkelebat dalam pikirannya.
Maryati merasa anak-anaknya semakin jauh darinya. Bukan semata-mata karena jauh jarak tinggal mereka, melainkan lebih dari itu. Ia merasa hati anak-anaknya juga semakin menjauh dan tergerus bersama arus. Maklumlah, sebagian besar anak-anaknya memilih menetap di luar kota dan menikmati hidup bersama keluarga mereka masing-masing. Mereka lupa bahwa di tengah kehidupan keluarga mereka ada sosok yang memiliki andil besar dalam kesuksesan hidup mereka. Ada hati yang tak pernah letih memanjatkan doa di pertiga malam untuk mereka. Ada jiwa yang mengharapkan canda tawa bersama mereka. Sosok itu tak lain adalah ibu mereka sendiri, Maryati.
“Bu, Ibu ikut pulang bersama Bayu ya? Kita tinggal bersama di rumah kita seperti dulu,” bujuk Bayu pada Maryati.
“Tidak! Kau saja yang pulang. Ibu sudah merasa nyaman di rumah ini. Di sini ibu menemukan kebahagiaan bersama keluarga baru ibu. Pengurus panti juga begitu baik dan perhatian pada kami,” ucap Maryati seraya melemparkan pandangan ke luar jendela dan berusaha menyembunyikan matanya yang kian berkaca.
“Bu, tolong Ibu pertimbangkan lagi keputusan Ibu,” ujar Bayu memohon.
“Tak perlu mempertimbangkannya lagi. Keputusan ibu sudah bulat,” pungkas Maryati.
“Ibu jangan ngomong begitu. Kami sudah sepakat untuk membawa Ibu pulang dan tinggal bersama lagi seperti dulu,” ucap Bayu.
“Yu, kau tahu kan kalau hidup ini adalah pilihan. Dan pilihan itu, kitalah yang menentukan,” ucap Maryati datar.
“Maksud Ibu?” tanya Bayu dengan mengernyitkan dahinya.
“Kau sudah tahu maksud ibu. Ibu tidak akan pulang. Itu pilihan ibu. Biarkan ibu memilih bahagia dengan cara ibu. Di sini, di rumah ini, ibu menemukan kedamaian bersama yang lain. Sekarang kau pulanglah, istri dan anak-anakmu sudah menunggumu. Sampaikan salam ibu pada mereka. Katakan pada mereka kalau ibu baik-baik saja. Dan yang paling penting, sampaikan pada mereka kalau ibu bahagia di sini,” ucap Maryati dengan suara bergetar.
Mendengar pengakuan Maryati, sontak membuat Bayu memeluk ibunya dalam isak tangis yang tak beraturan. Berkali-kali ia menyampaikan permohonan maaf pada ibunya. Ia mengutuk dirinya yang hatinya tak terketuk selama ini. Maryati bergeming dengan keputusannya. Air mata Bayu menganak sungai.
Sebagai seorang legislator, semua sepak terjang Bayu menjadi sorotan publik. Tak terkecuali dengan kehidupan pribadinya, termasuk keberadaan ibunda tercinta di panti wreda ini. Hal ini jelas akan memengaruhi jumlah suara yang dikantonginya pada bursa anggota legislatif dalam pesta demokrasi nanti.
Menjemput ibunya dari panti wreda bukanlah sebuah motif. Bayu tak ingin menarik simpati dan dukungan dari masyarakat dengan cara yang picik. Sisi humanis dalam dirinyalah yang telah menjalar dalam nalar dan rasa. Tapi sayang, Maryati sudah berpegang teguh pada keputusannya. Maryati akan pulang jika waktunya untuk berpulang telah tiba. Perjalanan adalah hidup. Pelan atau cepat melaju hanyalah sebuah cara untuk menuju. Sejatinya, perjalanan bukan tentang cepat atau lambatnya sampai. Namun, apa yang kita rasakan setelah petualangan usai.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ya Allah.. sampai nangis bacanya pak sobri
Mksh Bu apresiasinya. Pemula Bu, msh bljr menulis. Salam dari Bangka, Babel Bu.
bayu, anak baik meskipun sdh berhasil, sedangakan ibunya mempunyai pendirian yg terguh..konflik haus yg dibangun dalam cerita salut ..deh
Mksh Mas Eko sdh kmbli mampir. Msh sdrhna sekali Mas ceritanya, msh tahap belajar nulis nih. Prlu bnyk bljr dri maestro2 sekaliber Mas Eko n Bang Iqbal. Salam.
Mksh Bu apresiasinya. Pemula Bu, msh bljr menulis. Salam dari Bangka, Babel Bu.