SOBRI

"Hidup tidak hanya berisi kebahagiaan dan kesuksesan, tetapi sebagiannya lagi adalah kesedihan dan kegagalan. Jika tidak, berarti kita tidak pernah hidup!". Mot...

Selengkapnya
Navigasi Web
CEMETI HATI

CEMETI HATI

CEMETI HATI

Jarum jam dinding di kamarku telah berputar pada angka 11. Itu berarti sudah lebih dari tiga jam aku berkutat pada tumpukan kertas hasil ulangan anak-anak didikku tadi siang. Aku menarik napas dalam ketidaklegaaan ketika melihat angka-angka yang bertengger pada daftar nilai yang telah kurekap. Semua siswaku nyaris tak ada yang mendapatkan nilai di bawah ketuntasan minimal. Nilai mereka hampir semuanya mendekati angka sempurna. Bahkan, beberapa siswa yang biasanya berada pada “kasta sudra” pun berhasil melambungkan diri mereka pada posisi yang melangit.

Harusnya aku bangga dan puas dengan pencapaian yang mereka peroleh. Namun, naluriku sebagai guru yang tak hanya mengajar tetapi juga mendidik dan menanamkan karakter pada anak-anak didikku berkata lain. Aku mencium aroma ketidakjujuran yang begitu tajam menyeruak melalui angka-angka yang terekam pada kertas mereka. Aku meragukan logika mereka dalam mendapatkan angka-angka melalui cara-cara yang tak beretika.

Sejumlah pertanyaan berjibaku dalam alam sadarku. Bak seorang detektif dalam cerita rekaan, aku mulai melakukan investigasi dengan menggunakan konsep kausalitas untuk menemukan kebenaran di antara jawaban-jawaban benar itu. Idealismeku selaku guru muda tak dapat kuingkari. Rasanya tak salah jika seorang guru menaruh harapan besar atas keberhasilan anak didiknya, tak terkecuali denganku. Namun, semua itu menjadi tak ada artinya sama sekali manakala sportivitas sudah tak lagi dijunjung ke atas melalui aktivitas yang mereka pantaskan demi mendapatkan kata tuntas pada selembar kertas. Aku berspekulasi bahwa reaksi dan aksi yang mereka lakukan hanya untuk memenuhi ekspektasi pada sebuah kata yang bernama gengsi.

“Belum tidur Bie?” suara ayah yang tiba-tiba tepat terdengar di belakang punggungku telah membuyarkan deretan tanya yang menggantung dalam pikiranku.

“Belum Yah, paling sebentar lagi,” ucapku sambil merapikan tumpukan kertas yang masih berserakan di meja kerjaku.

“Ayah perhatikan kamu kelihatannya lagi gusar. Ada masalah di kantormu? Atau kau sedang ada konflik dengan rekan kerjamu?” tanya ayah dengan suara baritonnya.

“Bukan Yah. Nggak ada masalah di kantor maupun dengan rekan kerja,” jawabku ogah-ogahan.

“Lantas, apa yang membuatmu seperti sedang dirundung masalah?” pancing ayah.

“Yah, seandainya murid-murid Ayah berlaku curang dalam mengerjakan soal ujian, apa yang Ayah lakukan,” ujarku balik bertanya.

“Ayah berikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka,” sahut ayah.

“Kalau pelakunya belum terdeteksi?” tanyaku.

Ayah terkekeh mendengar pertanyaanku yang terkesan hanya tuduhan tak beralasan itu. Mungkin ayah menganggap pertanyaanku seperti pertanyaan seorang detektif amateran yang sedang memburu pelaku kejahatan.

“Oh…jadi itu yang sudah menganggu pikiran Pak Guru,” canda ayah.

“Sekarang ayah mau tanya denganmu, apakah mereka yang dianggap kurang cerdas tak berhak memantaskan diri mereka untuk mendapatkan nilai sebaik anak-anak yang dinilai cerdas?” ujar ayah kali ini dengan nada serius.

Aku terdiam untuk beberapa saat sambil berusaha menyelami perkataan ayah. Semua yang ayah katakan memang benar bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Tapi aku tetap yakin kalau nilai yang mereka peroleh itu bukanlah atas usaha memantaskan diri mereka. Apalagi sekadar keberpihakan Dewi Fortuna. Hatiku makin tergelitik untuk menguak kebenaran itu.

“Kau seorang terpelajar dengan intelektualitas yang tinggi, ayah yakin kau sangat tahu apa yang harus kau lakukan,” ucap ayah dengan menepuk pundakku.

Aku hanya melemparkan senyum seraya mengacungkan jempol. Ayah pun melakukan hal serupa sambil berlalu dari hadapanku dengan senyum mengembang.

***

Gerbang sekolah berdiri kokoh menyambut kedatanganku pagi ini. Sejumlah kendaraan roda dua yang dikendarai anak-anak didikku berlomba-lomba mengejar waktu. Sekelompok siswa tergelak dalam tawa sambil berjalan bersisian menuju kelas mereka. Celoteh mereka seakan tak pernah habisnya. Suara mesin pemotong rumput terdengar dari kejauhan melengkapi riuhnya pagi ini. Petugas kebersihan sekolah nampak sedang menyapu daun-daun kering yang berserakan di sekitar pos satpam.

“Pak…Pak Obbie,” panggil suara di belakangku.

Aku menoleh pada sumber suara itu. Ternyata Siska, siswa dari kelas XII IPS. Ia berlari kecil menghampiriku dengan napas memburu. Sorot matanya menyiratkan rasa cemas yang kentara. Ia mempercepat langkahnya mengiringiku berjalan di sepanjang koridor menuju ruang guru. Aku menghentikan langkahku dan memandang lekat pada Siska.

“Iya, ada apa Sis? Kamu kok kelihatan takut dan cemas begitu?” tanyaku dengan mengernyitkan dahi.

Siska tidak serta merta menjawab pertanyaanku. Matanya melirik kanan kiri seakan-akan ada yang melihat kami. Sikap Siska juga menjalariku. Aku pun ikut-ikutan melihat kanan kiri. Tapi aku tidak melihat seorang pun di sekitar kami kecuali sekumpulan siswa yang kulihat dari kejauhan mulai memasuki kelas mereka.

“Ada apa Sis?” aku mengulangi pertanyaanku.

“Ada yang mau Siska sampaikan ke Bapak,” ucapnya pelan setengah berbisik.

“Ada apa? Sepertinya penting sekali dan rahasia,” tanyaku penasaran.

“Tapi Bapak janji ya, jangan bilang sama teman-teman kalau Siska yang cerita ke Bapak,” ujarnya sambil sesekali melirik kanan kiri untuk memastikan kalau situasi aman dari mata-mata yang mencurigainya.

Aku mengangguk tegas sebagai jawaban kalau aku menyetujui permintaannya.

“Pak, kemarin siang saya melihat Ikhsan dan Rafli di ruang guru pada saat kantor sepi. Saya melihat Ikhsan memoto soal ulangan yang ada di meja Bapak,” ucapnya.

Siska berhenti sejenak sambil menatapku dengan mata bulatnya. Aku menatapnya tajam dan mencari kejujuran di bola mata itu. Aku tak menemukan sinar kebohongan pada mata itu. Jujur saja, laporan Siska benar-benar mengejutkanku. Tapi aku berusaha menutupi rasa keterkejutanku itu dengan membetulkan posisi bingkai kacamataku.

“Darimana kamu tahu kalau Rafli dan Ikhsan melakukan itu?” ujarku seakan meragukan informasi yang kuterima.

“Kebetulan saat itu saya diminta Bu Nina untuk mengambil kacamata yang ketinggalan di mejanya. Saya pura-pura tidak melihat yang mereka lakukan. Tapi saya sempat mendengarkan obrolan mereka secara sepintas kalau yang mereka foto itu adalah soal ulangan fisika untuk hari itu,” urai Siska dengan agak terbata sambil menunduk dan memelintirkan ujung jilbab putihnya.

“Kamu yakin dengan apa yang kamu lihat dan dengar. Kamu tidak bohong kan?” tanyaku menegaskan.

Siska seketika berhenti meremas ujung jilbabnya dan mengangkat kepalanya seraya menatapku. Roman wajah dan sorot matanya meyakinkanku kalau semua yang ia sampaikan memang benar adanya.

“Yakin Pak. Jelas sekali mereka ngomong itu,” ucap Siska tegas.

“Oke. Terima kasih Sis, informasi kamu sangat berharga buat bapak. Sekarang kamu masuk ke kelas,” ucapku.

Sebelum beranjak meninggalkanku, Siska kembali memohon agar jatidirinya kurahasiakan. Aku mengangguk meyakinkannya. Ketika Siska berlalu menuju kelasnya, aku merasakan sesak yang membuncah memengaruhi suasana hatiku pagi ini. Masih sulit kuterima kalau Rafli dan Ikhsanlah yang menjadi otak kecurangan itu. Bagaimana tidak, mereka berdua yang di mataku selama ini selalu bersikap baik dan santun ternyata sudah melompati zona positif dalam kacamataku. Mereka sudah mencederai kepercayaan yang sudah kubangun selama ini.

Kejadian ini jelas membuatku begitu kecewa pada mereka, mengingat kedekatan secara personal dan emosionalku pada keduanya. Kedekatan kami sudah seperti antara kakak dan adik-adiknya. Aku masih ingat, dulu, ketika Rafli dimarahi orang tuanya karena tak sengaja menghilangkan uang yang seharusnya digunakan untuk membayar iuran sekolah selama dua bulan. Ibunya tak henti-hentinya “ceramah” di rumahnya. Tak tahan dengan ocehan ibunya, ia kabur dari rumah beberapa hari dan tidur di rumah temannya. Semua itu ia ceritakan padaku yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri. Layaknya seorang kakak, aku menasihatinya dan berusaha membujuknya untuk kembali pulang ke rumahnya dan meminta maaf dengan orang tuanya, terutama ibunya. Ia pun mau mendengarkan dan mengikuti anjurannku untuk kembali pulang ke rumahnya.

Tak ubahnya Rafli, Ikhsan pun kerap mengadukan setiap permasalahannya denganku. Bahkan, masalah dengan teman putrinya pun tak sungkan ia ceritakan padaku. Ketika seorang guru memberi hukuman kepadanya karena dianggap tak mematuhi peraturan sekolah dengan mengenakan sepatu yang bukan hitam polos, ia pun menceritakannya kepadaku. Walaupun sebenarnya sepatunya masih lebih dominan warna hitamnya ketimbang warna lain. Lagi-lagi, akupun menasihati dan mengingatkannya kalau peraturan sekolah itu harga mati. Ia harus belajar untuk bertanggung jawab, setidaknya untuk dirinya sendiri. Mungkin bagi sebagian orang, mereka dinilai berpotensi memiliki karakter jelek. Tapi tidak untukku, menurutku mereka adalah anak-anak muda yang sedang bermetamorfosis untuk menjadi pribadi berkarakter baik.

Tapi hari ini, mereka telah memberikan sedikit warna hitam dalam pikiranku. Kecurangan itu laksana endemi yang mewabah layaknya jamur di musim hujan. Kecurangan itu tak hanya terjadi pada dunia politik yang dilakoni politisi hitam, pedagang nakal yang mahir memainkan timbangan, dan pegawai kantor yang punya kesempatan bermain dengan angka. Pada lini bawah yang masih menyandang predikat pelajar pun, mereka sudah akrab dengan kecurangan yang mungkin mereka pelajari secara otodidak dari pendahulu mereka.

Tak cukup sampai disitu saja, seni budaya yang adiluhung pun tak luput di klaim oleh suatu bangsa yang sejatinya bukan berasal dari leluhurnya. Mahakarya dari Sang Maestro dalam ranah literasi pun kerap diakui para plagiator yang dahaga dengan pengakuan publik.

***

“Selamat pagi Pak!” sapa anak-anak didikku ketika aku melewati sekelompok siswa yang sedang bercengkrama di bawah pohon lengkeng depan kelas mereka.

Satu per satu mereka menghampiriku dan melakukan prosesi yang sudah menjadi tradisi dengan mencium punggung tanganku sebagai simbol rasa hormat seorang murid dengan gurunya. Aku hanya membalas sapaan mereka dengan senyum kecut seraya mengulurkan tanganku untuk melengkapi “ritual” pagi mereka saat berpapasan dengan guru.

Bel meraung sebanyak tiga kali. Itu berarti aktivitas mencerdaskan anak negeri segera dimulai. Aku bergegas menuju kelas XII IPA2, kelas yang telah berhasil mengaduk-aduk emosiku semalaman karena disinyalir ada praktik yang tak benar di antara jawaban-jawaban benar mereka.

Aku yang biasanya ramah dan menanyakan kabar mereka sesaat sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, kali ini lebih memilih untuk diam. Tak ada lagi sapaan ramah dan senyuman seperti biasanya. Sikapku dingin tak bersahabat. Aksi yang kutampilkan ini memicu munculnya reaksi. Dengan rapi, tangan mereka terlipat di atas meja seolah sangat antusias menerima pelajaran dariku. Puluhan pasang mata itu seakan-akan menaruh perhatian besar atas kehadiranku. Sikap manis dan sopan yang mereka pamerkan justru membuatku makin muak.

“Apa yang kalian rasakan jika keadilan dan kejujuran yang kalian dambakan ternyata diingkari?” tanyaku memecah suasana kelas pagi ini.

Hening. Tak ada satu orang pun yang berani mau mengeluarkan suara menjawab pertanyaan sekaligus pernyataan yang bermuara pada tuduhan, yang mungkin mereka rasakan ditujukan kepada mereka.

“Dengar! Apa kalian tahu mengapa seorang gubernur yang berasal dari keluarga berada dan terhormat bisa tersandung dalam kasus penggelapan uang? Mengapa juga banyak publik figur dan artis yang kalian puja dan elu-elukan justru sering berurusan dengan hukum karena terlibat dalam berbagai kasus? Coba kalian perhatikan, apa yang kurang pada diri mereka? Hartawan, rupawan, berpendidikan tinggi, dan terkenal. Tapi mengapa mereka justru melakukan hal-hal yang tak pantas dan bertentangan dengan norma dan agama? Lalu, apa yang kalian rasakan jika mereka yang melakukan tindakan kriminal itu ternyata orang yang kalian sayangi, bahkan kalian puja?” ucapku memberondong pada sejumlah tanya.

Hening semakin meraja. Mereka membatu dalam diam yang membeku.

“Tak ada yang bisa menjawab di antara kalian?” tanyaku dengan intonasi yang kian meninggi.

“Kecewa Pak,” jawab siswaku yang duduk paling depan di pojok kanan.

“Kamu, Bagus?” tanyaku pada yang lainnya.

“Sama Pak, kecewa dan sakit hati,” ucapnya dengan suara sedikit gugup.

“Sama. Saya pun merasakan apa yang kalian rasakan,” ucapku dengan suara berat menahan sesak.

“Dan kalian tahu, rasa itulah yang kalian berikan pada saya. Kalian sama seperti gubernur yang korupsi itu. Kalian juga sama seperti artis-artis yang kalian idolakan itu, yang tak memiliki rasa malu melakukan perbuatan yang memalukan itu. Demi memenuhi hasrat yang haus akan pengakuan dan decak kagum dari orang-orang, mereka rela merendahkan harga diri hanya untuk mendapatkan tepuk tangan sebagai simbol kehebatan mereka. Sama seperti kalian,” cecarku dengan nada tinggi seraya menatap mereka satu per satu.

Tak ada satupun dari mereka yang berani bersuara apalagi menimpali perkataanku. Aku tidak yakin apakah mereka paham dengan perkataanku. Kendatipun petuahku mungkin tak memberikan tuah bagi mereka, aku tetap merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan kebenaran itu.

“Tak perlu saya sebutkan dari mana saya tahu kalau kalian sudah melakukan kecurangan berjamaah pada ulangan kemarin. Yang saya tahu, nilai yang kalian dapatkan itu adalah nilai palsu. Semua angka-angka itu palsu. Sama halnya dengan sikap kalian terhadap saya yang juga palsu,” hardikku dengan suara menggelegar.

Aku benar-benar sedang dikuasai emosi. Bagaimana darahku tidak mendidih, jika oknum siswaku dengan lancangnya berani mengabadikan soal ulangan lewat ponsel canggih mereka saat suasana kantor lengang. Atas nama solidaritas yang kebablasan, soal-soal itu mereka sebarkan dengan teman-teman sekelas mereka.

“Saya sudah tahu, pelakunya ada di ruangan ini. Jadi, tolong temui saya pada jam istirahat nanti di lab fisika,” tegasku sebelum meninggalkan kelas mereka.

Insiden pencurian soal ulangan itu telah menunjukkan kalau karakter mereka telah terkontaminasi dengan ambisi. Mereka telah berkaca pada cermin buram. Potret hitam anak negeri ini harus segera kukebiri agar mereka terpatri menjadi pribadi yang mandiri dan berdikari.

***

Tok…tok…tok!!! Suara pintu diketuk dengan hati-hati namun jelas terdengar.

“Masuk saja,” ucapku dari dalam ruangan sambil melipat sajadah selepas melaksanakan salat zuhur.

Dua orang siswaku menyembul di balik pintu dengan wajah cemas dan langkah ragu menghampiriku.

“Ada apa?” tanyaku singkat dengan sikap dingin sambil duduk di kursi.

“Pak, kami…,” suara Rafli tercekat di antara keraguan dan ketakutan.

“Kami minta maaf Pak,” ucap Ikhsan menimpali.

“Minta maaf untuk apa?” tanyaku seolah tak mengerti maksud mereka.

“Kami mengakui Pak kalau yang kami lakukan kemarin adalah perbuatan yang salah dan lancang,” ujar Ikhsan dengan suara sedikit bergetar.

Aku menatapnya tajam tanpa suara. Gesture tubuh dan bahasa wajahku yang sarat letupan dan gejolak dalam dada sengaja tak kusembunyikan. Lahar panas yang kutumpahkan di dalam kelas tadi masih menyisakan hawa yang berasap.

“Saya mau tanya dengan kalian. Kenapa kalian mengendap-endap ke kantor saat jam pelajaran di kelas?” selidikku.

“Mengendap-endap? Maksud Bapak?” tanya Ikhsan dengan nada ragu.

“Kalian berdua kan yang telah memoto soal ulangan yang ada di meja saya?” tanyaku.

“Maaf Pak, sebenarnya kemarin itu kami diminta Bu Yunita untuk mengambil buku absen kelas kami yang terbawa Bu Yun hari Rabu kemarin,” jelas Ikhsan.

“Terus, kenapa kalian bisa mampir ke meja saya untuk memoto soal ulangan itu,” tanyaku.

“Kami tidak sengaja Pak. Saat kami melewati meja Bapak, saya tersenggol buku yang ada di pinggir meja Bapak. Ketika saya mau meletakkan kembali buku itu ke tempatnya, saya melihat ada soal ulangan itu di atas meja Bapak,” urai Ikhsan agak tersendat.

“Apa yang mendorong kalian sampai berani melakukan perbuatan tak terpuji itu?” tanyaku.

Rafli dan Ikhsan hanya mematung di hadapanku dengan wajah tertunduk. Sepertinya otak mereka sedang bekerja keras mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk menyentuh sisi humanisku.

“Apa yang mendorong kalian?” ucapku mengulangi pertanyaan yang belum mereka jawab.

“Kami takut nilai ulangan kami jelek Pak,” ujar Ikhsan dengan mata tetap menunduk tak berani menatapku.

“Kamu, Rafli. Kenapa kamu melakukan itu?” tanyaku.

“Sama Pak. Takut nilai saya anjlok dan mengecewakan orang tua saya,” ucapnya dengan wajah cemas.

“Kalian tahu, justru perbuatan kalian inilah yang mengecewakan orang tua kalian. Saya saja kecewa dengan kalian berdua, apalagi orang tua kalian. Kalian merasakan sendiri kan, selama ini saya sudah menaruh kepercayaan besar pada kalian berdua. Tapi kalian justru tak dapat menjaga kepercayaan itu. Saya benar-benar kecewa dengan kalian berdua,” ucapku dengan nada sesal.

Mata keduanya mulai berkaca mendengar penjelasanku. Rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam tergambar jelas pada wajah keduanya. Aku memandang wajah mereka dengan lekat secara bergantian. Mereka hanya tertunduk, tak berani menatapku meskipun sikapku sudah mulai melunak. Aku diam sesaat lalu berdiri menghampiri mereka.

“Karena kalian sudah melakukan kesalahan, maka kalian harus menerima sanksi dan tugas dari saya. Kalian bersedia?” tanyaku pada mereka berdua.

“Bersedia Pak,” jawab keduanya cepat hampir bersamaan.

“Sanksi dan tugasnya apa Pak,” tanya Rafli.

“Sanksi dan tugasnya adalah kalian harus bisa belajar menempatkan posisi kalian pada posisi orang lain agar kalian bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Itu saja!” ujarku.

Mendengar pernyataanku itu sontak membuat mereka saling berpandangan di antara kebingungan dan rasa lega yang merebak.

“Bapak berharap kalian tak hanya pandai dalam pelajaran. Tapi lebih dari itu, kalian bisa tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang berkarakter, jujur, menjunjung tinggi sportivitas, dan berjiwa ksatria,” ucapku dengan tegas.

“Serius Pak, tidak ada sanksi dan tugas lain?” tanya Rafli seolah tak percaya kalau sanksi yang kuberikan tak seekstrem yang mereka bayangkan.

Aku hanyak mengangguk pelan dan menyelipkan seulas senyum pada mereka. Aku yakin mereka tak sepicik dan selicik itu. Mereka hanyalah anak-anak yang hidup pada zaman yang lebih mengagumi angka dibandingkan dengan etika.

“Terima kasih Pak, Bapak tidak mempermalukan kami berdua di hadapan teman-teman sekelas. Meskipun Bapak sudah tahu kalau kamilah pelakunya,” ucap Ikhsan dengan mata berkaca.

“Sekali lagi, kami minta maaf Pak. Saya tidak akan mengecewakan Bapak lagi,” sambung Rafli.

“Iya Pak, saya juga. Kami tidak akan mengulanginya lagi,” timpal Ikhsan.

Aku mengangguk pada keduanya sebagai jawaban kalau aku sudah memaafkan mereka dan berdamai dengan hati.

“Ini yang namanya cemeti hati. Karena sejatinya apa yang kita lakukan adalah desakan dari dalam hati. Karena itu, hatilah yang harus dicemeti, tentu dengan menggunakan hati juga,” ucapku dengan senyum mengembang.

Aku merangkul keduanya seraya menepuk pundak mereka dan melangkah pasti untuk melanjutkan tugasku sebagai pendidik. Membidik mereka yang sulit dididik. Tentu, dengan cemeti hati.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kisah yang dekat sekali dengan keseharian kita. Ending-nya manis. Begitulah tantangan pendidik kini, makin hari makin tipis karakter mulia yang tumbuh di hati anak didik. Padahal fasilitas dan akses untuk mendapatkan info dan ilmu secara otodidak sangat luas. Perlu sentuhan lebih dari kita sebagai orangtua dan pendidik. Barakallah. Keren, Pak.

09 May
Balas

waah, bisa jadi cerita ini dalah pengalaman sejatim atau based on true story. Gaya bahasanya mengalir, dimulai dgn kalimat pertanyaan oratoris dan mencari penyebabnya..salut..salam

09 May
Balas

Waw...suatu kehormatan dikunjungi penulis populer sekaliber Mas ini. Trmksh Mas apresiasinya dan sdh berkenan mampir di blog pemula hehe. Ini kolaborasi pengalaman teman dan yg saya rasakan jg meskipun ga sama persis, trs ditambah bumbu penyedap jg hehe. Salam kenal Mas dari Bangka, Babel.

10 May

Waw...suatu kehormatan dikunjungi penulis populer sekaliber Mas ini. Trmksh Mas apresiasinya dan sdh berkenan mampir di blog pemula hehe. Ini kolaborasi pengalaman teman dan yg saya rasakan jg meskipun ga sama persis, trs ditambah bumbu penyedap jg hehe. Salam kenal Mas dari Bangka, Babel.

10 May

Iya, Bu. Ini berdasarkan pengalaman tmn jg meski ga sama persis dan ttp dibumbui unsur fiktifnya hehe. Tp bener mmg, anak2 skrg nih karakternya beda bnr dgn zaman kita dlu. Mksh Bu sdh berkenan mampir. Sukses utk Bu Dian jg n salam utk Kak Syahrial.

09 May
Balas



search

New Post