EPISODE TERAKHIR
EPISODE TERAKHIR
No body is perfect. Kalimat singkat namun sarat makna itu selalu terlontar dari mulut mereka yang mengenalku secara personal. Menurut mereka, aku terlalu selektif dalam memilih pasangan hidup hingga usiaku sudah merambat pada angka 36 masih saja betah dengan status lajang. Awalnya aku menanggapi dan menyikapinya dengan santai saja. Namun, belakangan ini aku mulai merasa resah, gelisah, dan mendesah dengan aroma putus asa atas kelajanganku ini. Aku sama sekali tidak pernah bermimpi jika pada usia yang tidak dapat dikatakan muda lagi ini, aku belum juga melabuhkan hidupku pada biduk yang bernama rumah tangga.
“Belum tidur Yu?” suara ibu yang tiba-tiba berada tepat di belakang pundakku membuyarkan konsentrasiku dalam menulis.
“Belum ngantuk Bu,” jawabku singkat tanpa melihat ke arah pemilik suara lembut yang sangat kukenali itu.
Aku masih menekuri deretan aksara yang tersusun rapi di layar laptop yang ada di depanku. Dengan saksama kubaca kalimat demi kalimat dalam cerpen yang sedang kugarap untuk lomba dalam rangka peringatan Hari Guru yang diselenggarakan Dinas Pendidikan kabupaten yang menaungi tempatku bekerja sebagai abdi negara selama 12 tahun terakhir ini.
“Yu, Ibu mau bicara denganmu,” ucapnya dengan nada lembut namun menyiratkan kekhawatiran seorang ibu.
“Bicara saja Bu,” jawabku singkat tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopku.
“Yu, sampai kapan kau akan bertahan dengan kesendirianmu, Nak?” ucap ibu lirih.
Deg! Jari-jemariku yang awalnya begitu lincah berselancar di atas keyboard laptopku mendadak terhenti seketika. Pertanyaan ibu yang di luar dugaanku itu seolah membangunkanku dari mimpi panjang selama ini. Sejurus aku terdiam untuk beberapa detik. Hening. Tak ada satu kata pun yang terlontar dari bibirku mendapatkan pertanyaan singkat namun sangat monohok buatku.
“Bu, Ibu tak perlu risau dengan kesendirianku saat ini. Bukankah Ibu sendiri yang selalu mengingatkanku kalau hidup, mati, rizki, dan jodoh adalah rahasia Sang Khalik?” ucapku seraya membalikkan tubuhku ke arah ibu sambil berusaha menyelipkan senyum diantara rasa getirku.
“Kau benar Yu. Tapi bukan berarti kita hanya menunggu takdir. Takdir itu akan menjadi milik kita kalau kita sudah berusaha memperjuangkannya. Kita harus berusaha menjemput kebahagiaan hidup lewat usaha dan doa,” urai ibu panjang lebar.
“Yu, selama ini kau terlalu banyak menghabiskan hari-harimu dengan bekerja hingga tanpa kau sadari kalau usia hidup manusia itu ada batasnya. Ibumu ini sudah semakin menua, Nak. Ibu ingin melihatmu bahagia dengan memiliki pasangan hidup yang akan menemani hari tuamu kelak,” seloroh ibu dengan mata menerawang.
Dari manik matanya, aku dapat menangkap ada rasa khawatir yang kentara. Betapa tidak, teman-teman sebaya pada masa kecilku, semuanya sudah berkeluarga. Bahkan, beberapa diantaranya ada yang sudah memiliki menantu. Maklumlah, mereka memutuskan untuk berumah tangga saat usia mereka terbilang sangat belia kala itu.
“Bu, Ayu sangat memahami apa yang ibu khawatirkan. Ibu doakan saja semoga Tuhan dapat menyegerakannya,” ucapku lirih.
“Itu sudah pasti, Nak. Tanpa kau mintapun, ibu selalu berdoa untuk kebaikanmu, termasuk urusan jodohmu. Ibu selalu memohon kepada Tuhan agar kau segera dipertemukan dengan jodohmu. Lelaki yang baik, bertanggung jawab, dan tentu saja yang dapat menjadi imam buatmu dan keluargamu kelak,” seloroh ibu dengan nada penuh harap.
“Amiin. Ini hanya masalah waktu saja Bu,” pungkasku diplomatis sembari berusaha tersenyum dibalik kegundahan hati.
Mungkin ibuku merasa jengah dengan pertanyaan teman-temannya dan tetangga saat mereka arisan atau menghadiri kenduri di kampungku. Setiap kali ada acara keluarga atau pernikahan di kampungku, ibu selalu mendapatkan pertanyaan kapan anak perawannya ini melepas kelajangannya.
Aku masih ingat, dulu, ibu pernah mengeluhkan kepadaku kalau ia sudah tak mau lagi untuk ikut kegiatan arisan dan pengajian ibu-ibu majelis dengan dalih kesehatannya mulai menurun. Belakangan baru kuketahui alasan ibu yang sebenarnya dari Mak Ijah, janda sepuh yang ditinggalkan suaminya karena tak bisa memberikan keturunan. Ibu berniat mundur dari kegiatan yang didominasi kaum Hawa tersebut dikarenakan banyak sentilan dari ibu-ibu yang tak dapat menjaga lisannya mengenai predikat lajang yang kusandang ini.
Mak Ijalah teman ibu yang paling setia. Selain karena rumah Mak ijah berada persis di sebelah kiri rumah kami yang hanya dipisahakan oleh pohon jambu biji milik Mak ijah, mungkin juga karena merasa senasib sama-sama ditinggalkan suami. Hanya saja, ibuku jauh lebih beruntung daripada Mak Ijah. Ayahku meninggal, bukan meninggalkan seperti yang dilakukan suami Mak Ijah.
Kuakui, sebagai seorang tenaga pendidik di salah satu sekolah menengah di kota kecil ini, aku lebih banyak membenamkan diri dalam rutinitas kerja yang seakan tak pernah ada habis-habisnya. Pergi pagi saat matahari belum juga menampakkan pesonanya secara utuh dan pulang ketika sang surya mulai menjemput senja.
Dialog singkatku dengan ibu malam ini terasa benar-benar menyentak dan menyentuhku sebagai wanita dengan usia matang. Aku selalu melabeli diriku dengan predikat usia matang sebagai sinonim dari dewasa jika tak mau menggunakan kata ‘tua’ yang terkesan memiliki nilai rasa yang negatif. Malam ini aku bak seorang pesakitan yang berada di posisi kalah. Aku senantiasa berjuang membela diri pada mereka yang sudah menghakimi hidupku. Aku merasa jiwa seakan dimana, raga tak punya rasa.
Jarum jam di dinding di kamarku telah menunjukkan pukul 23.30 WIB. Mataku belum menemukan kantuk. Aku masih mencoba menuangkan segenap nalar dan rasa untuk merampungkan karya kreatifku. Lolongan anjing malam di luar sana tak membuatku bergidik. Dari celah jendela kamar, ku lihat bulan sedikit menyembul di balik awan yang samar. Sesekali aku menghentikan pekerjaanku demi menyeruput secangkir kopi yang punya andil besar hingga mataku lebih berenergi kendatipun malam kian larut.
Aku termasuk penggila kopi. Karena kopi banyak mengajarkanku tentang kehidupan. Aku selalu berpegang teguh pada filosofi secangkir kopi dalam menjalani hidup. Bahwa hidup tak selamanya manis, kadang ada rasa pahit yang perlu dihadirkan untuk menambah sensasi rasa. Bukankah rasa kopi itu pahit? Lalu mengapa masih banyak pemujanya dan menikmati pahitnya kopi? Analogiku rasanya tak salah jika kehidupan ini sama halnya ketika mereguk secangkir kopi. Pahit, tapi tetap dapat dinikmati.
Sambil ditemani alunan lembut Dealovanya Once dari laptopku, tanpa kusadari telah melemparkanku pada sebuah narasi di masa silam. Lagu itu mengingatkanku pada sosok yang sangat kukagumi. Ia sering menyanyikan lagu itu diiringi petikan dawai gitarnya. Sosok jangkung yang hitam manis dengan sedikit lesung di pipi kirinya itu pernah menjadi sosok yang paling istimewa dalam hidupku.
Ikhsan Ramadhan, nama itu pernah membuatku seakan melambung sampai langit ke tujuh, nama itu pulalah yang membuatku seakan jatuh sampai ke dasar samudera. Lelaki yang pernah memberikan madu dan empedu dalam hidupku. Hidup memang penuh misteri. Lelaki istimewaku itu menghilang tanpa sedikitpun meninggalkan jejak setelah pertengkaran hebat kami malam itu. Raib, laksana pendaki yang menghilang saat berusaha mencoba menaklukan puncak Gunung Himalaya.
Dealova telah menggiringku untuk mengingat kembali semua kenangan itu. Seperti lorong waktu, ada dorongan yang sangat kuat memaksaku membuka kembali akun sosial mediaku yang sudah lama tak pernah kujamah lagi. Sejak kami memilih memutuskan untuk jalan sendiri-sendiri dengan dalih introspeksi diri, aku menutup rapat semua akses sosmedku. Sampai akhirnya ia benar-benar hilang dari kehidupan nyataku dan keriaan maya. Namun, tidak untuk malam ini. Aku melanggar janji yang sudah kusepakati dengan hatiku sendiri kala itu. Saat ini, aku sudah merasa bisa berdamai dengan hatiku.
“Rasa tak semudah itu diterjemahkan. Kau tahu, puncak rasa itu diam. Karena begitu banyak rasa yang berdesakan, hingga sulit saat ingin dinyatakan. Sebenarnya aku rindu kamu. Tapi aku khawatir itu melebihi kewenanganku. Ada banyak caraku untuk menyampaikan rindu. Menulis dan mendoakanmu adalah cara jitu menenangkan hatiku yang merindu. Andai nanti kau baca dan kau rasa, ku anggap itu bonus Tuhan untukku,”. Aku menuliskan narasi picisan itu dalam akun pribadiku. Slogan yang mengatakan bahwa wanita lebih mengedepankan rasa dibandingkan logika, ternyata memang benar adanya.
Ada ratusan notifikasi dan permintaan pertemanan yang dikirimkan pada akun sosial mediaku dalam kurun waktu sejak aku memilih untuk menonaktifkannya. Aku tak tertarik membaca deretan panjang notifikasi itu. Aku abaikan semuanya. Tak peduli mungkin ada di antara pesan itu memberikan informasi penting untukku kala itu.
Selang beberapa menit setelah aku memproklamasikan curahan hati dari jiwa yang kerdil ini, gawaiku bergetar sebagai isyarat ada pesan yang masuk. Alih-alih aku membaca pesan yang masuk, aku lebih memilih untuk merampungkan tulisanku malam ini. Getar di gawaiku kembali memberikan sinyal, ada pesan lagi yang masuk. Hatiku tergelitik untuk menanggapi godaan dari gawaiku yang sudah mengangguku mencumbu laptop dalam pekat malam.
“Jika kau masih punya waktu dan aku masih ada di hatimu, tolong temui aku besok di rendezvous dekat pohon perdu pukul 3 sore.”
Mataku terbelalak membaca pesan dari nomor yang tak ku kenal. Aku langsung mencoba menghubungi nomor itu. Mati. Senyap. Tak ada suara di ujung sana. Beberapa kali ku coba menghubungi nomor itu, lagi-lagi hanya suara wanita operator yang seakan tak pernah tidur menjalankan tugasnya.
Pikiranku menjelajah jauh ke beberapa tahun silam. Rendezvous dekat pohon perdu adalah tempat yang paling sering kusambangi bersama Ikhsan melewati kepenatan dari rutinitas kerja kami di kantor. Hanya aku dan dia yang menyebut tempat favorit kami itu rendezvous.
Sederet pertanyaan mulai menggelayut dalam benakku. Kemana saja dia selama ini? Apa yang akan dia lakukan terhadapku? Kenapa dia tiba-tiba kembali muncul dalam kehidupanku? Apa dia sudah menyusun rencana busuknya untukku? Ah, rasanya dia tak sepicik dan selicik itu. Aku sangat mengenalnya. Pertanyaan-pertanyaan itu seolah berjibaku dalam pikiranku. Aku merasa waktu berjalan sangat lambat malam ini.
***
Keesokan harinya, seperti biasa aku menjalankan rutinitas kerjaku. Aku berdandan ala kadarnya dengan sedikit sapuan lipstik, tanpa sentuhan pensil alis layaknya wanita karier yang mati-matian berjuang keras menggempur usia lewat rona merah di pipi mereka.
Tepat pukul 15.00 aku sampai di tempat yang kami --aku dan Ikhsan-- menyebutnya rendezvous dekat pohon perdu. Kuedarkan pandanganku ke segala penjuru taman, namun tak ada orang yang aku kenali. Mataku terus menyapu sudut-sudut taman untuk menemukan sosok yang membuat otak warasku seolah tak lagi berfungsi dengan baik.
Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sosok yang sangat kukenali. Dugaanku tak meleset, si pengirim pesan tadi malam itu adalah Ikhsan Ramadhan. Ia tersenyum dari kejauhan sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku membalasnya dengan senyum kecut. Sikapnya masih seperti yang dulu, hangat dan bersahabat. Hanya tubuhnya terlihat lebih kurus dibandingkan dulu.
Jaraknya denganku kian dekat. Degup jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Tak sepatah katapun yang sanggup kuutarakan saat mata kami bertabrakan dalam diam. Mematung. Itu yang bisa aku lakukan saat ia tepat berada di depanku yang hanya berjarak beberapa jengkal.
“Apa kabar Yu? Maafkan aku,” suaranya tercekat seakan terhimpit batu gunung.
“Baik,” jawabku singkat dengan nada tak bersahabat.
“Yu, aku…,” ucapnya sedikit gugup.
“Cepat katakan, apa maksudmu memintaku menemuimu di sini? Aku tak punya banyak waktu untuk berlama-lama disini,” jawabku ketus.
“Yu, aku mohon maaf padamu. Jika aku tiba-tiba menghilang selama ini, itu semata-mata karena aku tak mau membuatmu menjauh apalagi membenciku,” ucapnya seolah tahu apa yang sedang berkecamuk dalam benakku.
“Apa kau bilang? Omong kosong apa lagi ini? Dengar, ini bukan saat yang tepat untuk bergurau. Apa kau sudah menyusun rencana busukmu lagi untuk menambah daftar kejahatanmu padaku Tuan Ikhsan Ramadhan yang terhormat?” ucapku dengan nada keras dan napas memburu menahan sesak.
Ada rasa penyesalan yang kentara pada wajah itu. Ada sederet kata yang sukar diucapkan.
“Aku yakin, kau akan membenci dan menjauhiku kalau kau mengetahui keadaanku yang sesungguhnya,” lanjutnya dengan tarikan napas yang berat.
“Wanita mana yang mau hidup bersama dengan seorang pecandu sepertiku. Aku tak punya masa depan buatmu,” ia meluapkan perasaannya dengan berapi-api seolah baru saja terlepas dari penyanderaan dan disekap pada ruangan sempit yang pengap tak bercahaya.
“Bagaimana mungkin aku bisa tahu keadaanmu seperti itu, kalau kau menyembunyikan semua itu dariku,” ucapku dengan nada yang tak kalah tingginya.
“Kau tahu, setelah aku berhasil keluar dari lingkaran setan itu dan status sosialku mulai membaik, aku berniat menghubungimu kembali. Tapi kau tak pernah berhasil kutemukan di dunia nyata maupun di dunia maya. Aku mencoba mendatangi rumahmu, ternyata rumahmu sudah ditempati orang lain. Aku kehilangan jejakmu,” ucapnya dengan nada sesal.
“Aku masih bertahan untuk setia waktu itu. Tapi, karena sudah tak punya harapan lagi untuk memilikimu, akhirnya aku mencoba membuka hatiku pada wanita lain, lalu kami menikah…”
Plaaak!!! Belum selesai Ikhsan melanjutkan ceritanya, sebuah tamparan keras melesat di pipi kirinya. Ia terperangah dan kaget mendapatkan tamparan dari wanita yang pernah menduduki singgasana hatinya itu.
“Jangan bicara tentang kesetiaan kalau kau tak mampu menjaga hatimu,” cercaku dengan telunjuk keras yang kuarahkan ke wajahnya.
“Apa masih kurang kau menyakiti dan melukai perasaanku? Apa kau sadar kalau cerita yang kau bawa untukku ini tak sekadar mecederai hatiku, tapi juga melukai nurani wanita lain yang sangat kuhormati, ibuku!” hardikku dengan suara tinggi.
“Yu, dengarkan aku dulu,” sergahnya seolah meminta kesempatan untuk membela diri.
“Kau sudah merendahkan martabatku sebagai seorang wanita. Apa kau sudah tak punya harga diri lagi sampai harus menunjukkan kehinaanmu di depanku?” sergahku dengan meletup-letup.
“Kau sudah memilih wanita lain sebagai istrimu, tapi kau masih mencoba mendekati wanita selain istrimu. Dimataku sekarang, kau tak ubahnya lelaki jalang yang rendah!” umpatku dengan nada tinggi laksana gunung meletus yang memuntahkan lahar panasnya.
“Aku tak serendah yang kau pikirkan,” teriaknya dengan nada kesal.
“Aku tak mempersalahkan kau pernah terjerumus dalam obat terlarang. Tapi aku tak terima kalau kau menyakiti hati seorang wanita. Cukuplah aku. Jangan ada lagi Ayu Ayu yang lain yang kau sakiti,” hardikku dengan menatapnya tajam.
“Yu, dengarkan aku dulu,” ucapnya seraya berusaha memegang kedua pergelangan tanganku.
“Tak ada yang perlu ku dengar lagi. Semuanya sudah jelas. Aku tak butuh penjelasan apapun lagi darimu,” ucapku sambil menepis tangannya dengan keras dan bergegas meninggalkannya.
“Istriku sudah meninggal satu tahun yang lalu,” teriaknya sambil terus membuntutiku dari belakang.
Langkahku terhenti. Seberkas cahaya putih mengintip celah sanubariku diantara rasa kecewa dan harap yang menggantung. Aku membalikkan tubuhku ke arahnya. Jarak kami begitu dekat. Kami saling mematung untuk beberapa detik. Aku menatapnya dan mencari kejujuran di bola mata itu. Aku tak menemukan sinar kebohongan pada mata itu. Mata itu dipenuhi dengan penyesalan, ketulusan, dan pengharapan.
“Kau tentu masih ingat kejadian terakhir malam itu. Bukannya aku menolak ajakanmu untuk segera menghalalkan hubungan kita. Bukan berarti aku tak serius menjalani hubungan yang sudah lama kita bina. Di satu sisi, aku ingin menyegerakan hubungan kita dalam ikatan yang sah. Namun, di waktu yang sama aku harus menjalani rehabilitasi untuk kesembuhanku. Aku benar-benar kalut malam itu. Aku tak mau kehilanganmu. Tapi aku juga tak mau mengecewakanmu setelah kau tahu keadaanku yang sesungguhnya,” urainya dengan nada sesal.
“Kau terlalu egois. Kau tak pernah memikirkan perasaanku. Apa kau tahu, betapa tersiksanya aku menjalani hari-hariku setelah kepergianmu. Aku berjuang sendiri untuk menata hatiku yang sudah kau hancurkan,” ucapku dengan suara bergetar.
“Maafkan aku. Aku tak tahu harus bicara apa lagi selain mengharapkan maafmu. Aku tahu ini tak mudah untukmu. Aku hanya berharap masih ada sisa maaf untukku,” ucapnya lirih.
Seketika itu, sekonyong-konyong kutubrukkan tubuhku dan memeluknya dalam isak tangis yang tak berkesudahan. Pertahananku akhirnya runtuh juga. Aku yang sejak awal berusaha untuk tegar dan menahan jangan sampai bulir bening keluar dari netraku, akhirnya pecah juga. Aku tak mampu lagi mengendalikan perasaanku terhadapnya. Ia mendekapku erat. Aku merasakan ada ketenangan dan kerinduan membuncah yang mengalir dalam dekapan itu. Tubuhku berguncang hebat dalam sedu sedan yang beraroma penyesalan.
Setelah emosi kami terkendali, ia kembali menceritakan kalau istrinya meninggal setahun yang lalu karena korban tabrak lari. Padahal usia pernikahannya belum genap satu tahun. Aku melihat ada kesedihan di sudut matanya. Berulang kali permintaan maaf dan penyesalan ia utarakan padaku. Kulihat wajahnya pias sisa airmata. Aku melihat mata yang dipenuhi perasaan bersalah. Hatiku luluh seketika mendengarkan pengakuannya itu.
Mata kami sama-sama basah. Aku tak kuasa menahan sesak dan sesalku. Aku mengutuk diriku sendiri yang selalu bersembunyi dibalik kekerdilan jiwaku. Tuhan pun seolah masih memberikan kesempatan kedua untuk kami bersatu, hingga aku tergerak kembali untuk membuka akun sosial pribadiku semalam, lalu memuntahkan rindu dan harap pada lelaki yang kini sudah berada dalam dekapanku.
Dengan nada penuh harap, ia menyampaikan niatnya ingin menemui ibuku untuk memintaku menjadi istrinya. Ia juga tak menyangka kalau aku masih sendiri dan tetap setia untuknya meskipun harus menunggu dalam batas waktu yang tak berujung. Sampai akhirnya ia membaca tulisanku di akun pribadiku malam itu yang menyiratkan kalau aku masih sendiri. Saat itu juga, ia berusaha mendapatkan nomor kontakku dari salah satu temanku yang ternyata istri teman sekantornya saat ini.
Sore itu langit mulai mendung. Tak lama gerimispun turun perlahan. Titik-titik air membasahi kaca mobil yang dikemudikan Ikhsan bersamaku di sampingnya. Membasahi semua sudut-sudut kota ini. Membasahi semua jalan-jalan. Membasahi rumah dan gedung-gedung. Membasahi pohon-pohon. Membasahi semua yang ada. Dunia bersosok keharuan. Tanpa kusadari dua butiran bening menetes di pipiku. Ada rasa haru dan bahagia memenuhi rongga hatiku yang selama ini tandus dan gersang. Potongan puzzle dalam ruang yang kosong itu sekarang sudah kutemukan dan kuletakkan dengan sepenuh rasa pada tempat yang seharusnya.
Ini kado terindahku untuk ibu yang genap berusia 65 tahun hari ini. Terbayang dalam benakku luapan kebahagiaan ibu manakala mendengar berita bahagia yang kubawa sore ini. Di depan pintu, ibu menyambut kami dengan senyum termanisnya. Senyum yang sudah lama sekali tak pernah kulihat sejak ayah berpulang menghadap sang pemilik raga.
Kau dan aku pernah saling tersesat, lalu menemukan diri yang sudah sekarat. Senja dan angin lautlah yang memungut dan memagut. Hingga kau dan aku lupa, bahwa kita pernah melarikan diri sebelum memilih menetap dan berhenti. Penggalan puisi dari penulis muda sekaliber Boy Candra ini kurasa sangat tepat untuk menjadi episode terakhir dalam penantian panjangku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap, cerita yg lugas ulasannya dan diceritakan dengan gaya bertutur,..enak diikuti ,tulisannya juga bagus, bahasanya pas...hebat pak Sobri..keren habis uiyy..salam
Mksh Mas Eko. Msh proses belajar menuangkan segenap nalar dan rasa dlm sebuah tulisan Mas. Salam hormat.
sama sama pak..ditunggu karya lainnya..salam
Insyaallah Mas. Salam kembali
waah, kapan artikel barunya nih ha..ha., salam
Msh menghimpun kekuatan dan kemampuan Mas hehe.
bagus cerpennya Pak....Saya suka diksinya... keren
Msh proses belajar jg Bu, hehe. Mksh sdh berkenan mampir. Salam.