SO'IM

Navigasi Web

Memudarnya Budaya Malu Menumbuhkan Budaya Suap dan Korupsi

Memudarnya Budaya Malu Menumbuhkan Budaya Suap dan Korupsi

Budaya malu (shame culture) adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh seorang antropolog Amerika Ruth Benedict Pada tahun 1946 dalam bukunya The Chrysanthemum and the Sword (krisan dan pedang). Benedict menyandingkan budaya malu bangsa-bangsa timur dengan budaya salah bangsa-bangsa barat. Budaya Malu adalah sebuah pola fikir bangsa-bangsa Timur yang merasa malu jika berbuat yang tidak pantas atau menyalahi norma. Sedangkan budaya salah adalah pola fikir Barat yang merasa bersalah jika melakukan sesuatu yang salah. Contohnya orang-orang Eropa Barat, naik kereta api dan bis dalam kota selalu membeli tiket. Meskipun tidak ada petugas yang memeriksa, apakah ia punya tiket atau tidak. Mereka tetap membeli tiket sesuai dengan tujuan masing-masing. Karena mereka merasa bersalah kalau naik transportasi umum tidak membayar tiket.

Budaya malu adalah sebuah kebudayaan dimana harga diri, rasa hormat, nama baik, dan status, sangat diperhitungkan. jika seseorang melakukan perbuatan melanggar norma, maka hal ini akan dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan memalukan. Budaya malu lebih mengedepankan kepentingan hubungan antar sesama dan alam dalam suasana yang religius. Sedangkan masyarakat berbudaya salah lebih cenderung individualistis, persamaan derajat, liberal, dan materialistis.

Budaya malu yang mengakar kuat akan melahirkan ketaatan terhadap norma-norma malu. Sehingga kontrol moral tidak hanya datang dari orang lain, tetapi datang juga dari dalam diri sendiri, dan dari hubungan manusia dengan Tuhan.

Umar Bin Ahmad Baraja, dalam kitab Akhlak lil Banin, 1385 H. Mengatakan bahwa malu ada tiga macam. yaitu: 1) Malu kepada Allah SWT. Seseorang yang malu kepada Allah, ia akan taat kepada-NYA dan tidak akan melakukan kemaksiatan terhadap-NYA. Rosulullah SAW. pernah ditanya oleh seorang sahabat, “Bagaimana caranya malu kepada Allah?” Beliau menjawab, “Siapa yang menjaga kepala dan isinya, perut dan makanannya, meninggalkan kesenangan dunia, dan mengingat mati, maka dia sungguh telah memiliki rasa malu kepada Allah SWT.” 2). Malu kepada manusia. Alhakim pernah ditanya tentang perihal orang fasik. Beliau menjawab, “ yaitu orang yang tidak menjaga pandangannya, suka mengintip aurat tetangganya”. Sedangkan orang yang memiliki rasa malu kepada manusia, ia tidak akan berani melakukan kejelekan di hadapan orang lain, apalagi melakukan perbuatan dosa. Orang yang memiliki rasa malu, dirinya akan berharga dan mulia.

3). Malu kepada diri sendiri. Aisyah ra. adalah wanita yang memiliki rasa malu dan menjaga kehormatan dirinya. Suatu saat beliau bercerita ,”Ketika aku masuk ke rumahku yang di dalamnya terdapat makan suamiku (Rosulullah) dan ayahku (Abu Bakar), aku menampakkan sebagian auratku. Dalam hati aku berkata, sesungguhnya aku sedang berada di makam suamiku dan ayahku. Akan tetapi ketika Umar Bin Khottob meninggal, dan dimakamkan di samping suami dan ayahku, aku tidak pernah menampakkan auratku lagi. Karena malu kepada Umar.”

Sifat malu berfungsi sebagai penetapan batasan-batasan yang tepat guna mencegah pelanggaran kehormatan dan integritas seseorang. Sifat malu ibarat rem yang akan menghentikan seseorang dari perbuatan rendah. Semakin besar sifat malu yang dimiliki, maka ibarat mobil semakin pakem remnya. Sehingga menyelamatkan seseorang dari tabrakan dengan perbuatan terlarang, menyelamatkan seseorang dari tindakan suap dan korupsi.

Di dunia Timur, budaya malu berhasil membentuk tata krama yang baik, menumbuhkan rasa saling hormat dan mempercayai secara ajeg. Pentingnya budaya malu akan semakin esensial, dalam suasana keterbatasan lingkungan hidup dan upaya interaksi, serta inter-relasi terhadap sesama. Misalnya, seseorang yang berbudaya malu, tidak akan berbuta hati dengan memberi suap atau bahkan menerima uang pelicin yang termasuk tindak korupsi.

Tidak ada perjuangan yang instan sifatnya, maka para pemimpin politik, bisnis, budayawan, dan masyarakat umum harus berani membangun kembali budaya malu. Bersikap pandang saling mempercayai sebagai tanggung jawab dan kewajiban sosial. Melalui sikap pandang itulah, maka masyarakat yang dilayani merasa dipercayai. Dan sebagai timbal baliknya mempercayai mutu pemimpin yang jauh dari segala manuver tidak terhormat.

BIOGRAFI PENULIS

SOIM, M.Pd Guru Bahasa Arab di MTsN 7 Jember. Lahir di Jember tanggal 10 Nopember 1969 dari ayah Muannam Marjani. Tinggal di Jl. Bagon No. 7 Jambearum kecamatan Puger Kabupaten Jember Jawa Timur bersama seorang istri Chusnul Chotimah, S.Pd.

dan tiga orang anak, yakni Fatimah, Shamil Marjani, dan Iffat Fikriyah. Karir sebagai pendidik diawali sebagai guru bahasa Arab di MA Wahid Hasyim Balung kabupaten Jember tahun 1996-2006. Kemudian bekerja sebagai PNS pada staff seksi Mapenda Kantor Departemen Agama (sekarang Kantor Kementerian Agama) Kabupaten Bondowoso tahun 2006-2009. Mutasi menjadi Guru Bahasa Arab di MTs Negeri 2 Bondowoso tahun 2009-2012. Mutasi ke MTs Negeri 7 Jember sebagai guru bahasa Arab tahun 2012 hingga sekarang.

E-mail: [email protected]

Whatsapp: 082334742479

Penulis

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ulasannya, Pak. Makasih ilmunya. Semoga lolos artikelnya.

10 Dec
Balas

Masya Allah, ulasan yang keren Ustad Soim. Semoga lolos lomba bulan ini.

08 Dec
Balas



search

New Post