Soleh Sohih

Soleh Sohih, mata pena dari Muhamad Soleh, lahir di Tenjo – Bogor, Jawa Barat pada 16 Juli 1994. Dewan Persatuan Penulis Muda & Pemula Indonesia, Waki...

Selengkapnya
Navigasi Web
Nyontek, Budaya Bangsa
http://www.hukumpedia.com

Nyontek, Budaya Bangsa

Oleh: Soleh Sohih

“Anak-anak, silakan diisi soal PTS-nya”

“ Ingat! Jangan pernah ada yang nyontek” sambungnya

“Baik Pak …” serentak

Tak bosan-bosan Pak Ujang memberikan pesan serupa saat Semester tiba, selepas membagian soal PTS ia pun izin ke kantor untuk menyeruput kopi yang telah ia buat lebih dulu.

“Sep, sep, saya tuh aneh sama ibu/ bapak guru kita” bisiknya pada teman sebangku

“Kenapa Din?”

“masa kita gak boleh nyontek? Padahal bangsa ini lahir dari generasi tiru meniru”

“contohnya apa Din?”

“kita sering melihat abah kita nyangkul sawah akhirnya kita tahu dan bisa mencangkul dan ada juga tuh pejabat kecil yang korupsi karena rajin nyontek menteri yang gemar korupsi akhirnya ia jadi koruptor kelas tinggi”

“iya juga ya Din”

“ayo, ah kita ke pak Ujang, minta izin untuk nyontek”

“Ayo!”

Waktu PTS pun terkuras oleh obrolan mereka yang tak jelas. Yang ada dalam benak Si Udin dan Asep jika ia telah mendapatkan izin menyontek ia akan kembali ke kelas dan meminta isi jawaban yang telah diisi teman sekelasnya lebih dulu. Keduanya menghadap Pak Ujang, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sekaligus wali kelas Si Udin.

Si Udin menyurahkan segala pendapatnya tentang mencontek. Ia berkata nyontek itu bagus dan harus, sementara Asep, teman sebangku Si Udin hanya diam dan malu-malu takut. Pak Ujang dengan segala kesalnya terus memberikan ruang untuk pembicaraan muridnya yang agak kacau. Sampai tiba saatnya bel pengumpulan soal usai.

“Udin, Asep. Kalian bapak hukum”

“Loh, kok dihukum Pak?”

“Seharusnya kalian sudah selesai kerjakan soal, ini malah keluar minta izin nyontek dll … hadeuhhhhhhhhh generasii mudaaaa …” Pak Ujang meluapkan segala kesalnya. “Asep, kamu bersihkan WC guru dan WC murid sampai bersih dan kamu Udin, ambil buku tulis kosong milikmu luapkan segala isi otak ngacomu itu, terserah kamu mau nulis apa kamu muntahkan segala isi dalam otakmu” sambung pak Ujang memberi pelajaran pada keduannya

“enak banget Pak, Si Udin suruh nulis doang masa Asep bersih-bersih WC?” sanggah Asep tak terima

“Biarkan temanmu menuliskan semua yang ada dalam otaknya biar besok tidak bertingkah macem-macem lagi, agar otaknya fresh”

“Aduh … Pak, Udin bingung mau nulis apa? gak bisa nulis apa-apa, mending Udin ikut bersih-bersih WC aja sama Asep”

“Sudah cukup Udin, bapak bingung sama kamu coba dewasalah; berubah! Jangan begini terus. Pokonya kamu isi tuh buku …”

“nulis apa Pak?”

“Puisi. Bikin 300 puisi agar kamu bisa naik kelas”

“Eleuhhh Pak, masa Udin gak naik kelas lagi?”

“makannya bikin tuh 300 puisi”

“Tapi Pak?”

“Sudah, bapak mau ngoreksi soal. Kerjakan tugasmu”

Pak Ujang pun meninggalkan murid anehnya menuju ruang kantor, si Asep sudah berangkat menuju WC yang akan dibersihkan, sementara si Udin kebingungan dengan 300 puisi yang diamantkan gurunya. Jangankan 300 puisi satu larik saja ia tak mampu membuatnya. Namun dengan segala prinsipnya agar ia bisa naik kelas si Asep nekat membuat puisi pertamanya.

Mak, Udin di Hukum

Oleh: Udin Tempo Tenjo

Mak, masa nyontek dilarang?

bukanya mak pernah bilang

:

urang kedah nyonto kana kabagusan

ameh bisa ngagawean

hirup teh sesah pisan

teu cukup kudipikiran

bari kudu dilakonan

tapi Mak, pak Ujang ngalarang

sebab yontek teh prilaku buruk pisan

ah, entos mak, Udin lalanjung pisan

Bogor, Oktober 2017

Itulah puisi pertama Si Udin yang campur aduk disela-sela kepusingan, ia bertanya pada bayangan Ibunya yang datang menembus inspirasi kesalnya siang itu. Ia masih bingung harus nulis puisi apa lagi, tinggal 299 lagi naskah puisi yang harus digelutinya, berikut puisi kedua Si Udin yang ia buat sembari menyaksikan si Asep bersilat di wc ala petugas kebersihan bintang lima.

Bagaimana Ini?

Oleh: Udin Tempo Tenjo

Siang ini sesak sekali

Harus menulis ratusan puisi

Jika tak buat, pak Ujang pasti makin mencaci

Yang pasti Udin takan naik kelas lagi

Aduh … bagai mana ini

Masa udin harus bertelur lagi

Di kelas yang sama dengan teman yang beda

Aduh … bagai mana ini

Masa udin jadi siswa abadi

Malu dengan mereka yang sudah di kelas tinggi

Bogor, Oktober 2017

Si Udin ketakutan, ia trauma. Takut tidak naik kelas lagi. Sebagian dewan guru di sekolaanya percaya bahwa Udin otaknya cerdas namun lambat dalam berfikir, perlu pemahaman yang mendalam untuk mencerna setiap pelajaran baru yang datang. Buktinya ia mampu membuat sajak sederhana. Walau agak ngawur. Berikut puisi-puisi si Udin yang lainnya.

Ayo, Kita Pulang!

Oleh: Udin Tempo Tenjo

Sep, mari kita pulang!

untuk apa kita sekolah

abah dan emak kita menunggu di sawah

sudah lah Sep, hentikan goyanganmu itu

cepat kau lempar ember dan gayung jauh-jauh

mereka tak perlu dimanja

biarkan alat itu bekerja sendiri

cukup 10 menit saja kau kerjakan

selebihnya alat-alat itu pasti sudah paham

biarkan gayung mengambil air sendiri

biarkan ember pulang pergi ke sumur dan ke kali

biarkan Sep, biar mereka pahami sendiri

ayo, kita pulang!

kebo dan cangkul menanti di ladang

Bogor, Oktober 2017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post