Sang Pejalan Tengah Malam (Tantangan menulis ke-11)
Sang Pejalan Tengah Malam
Tengah malam dikala semesta sedang tertidur pulas ditemani raja mimpi, aku duduk termenung di sisi tempat tidurku. Hening suasana malam diiringi suara hembusan angin kencang. Aku beranjak dari kamar, berjalan lesu menuju ruang tamu, menyingkap tirai jendela untuk melihat-lihat keadaan kampungku di tengah kegelapan. Malam ini dingin sekali, udara berebut masuk melalui fentilasi jendela menyelinapkan hawa dingin dan membuatku meringkuk kedinginan. Aku masih bertahan diposisiku. Aku lihat suasana di luar rumah semakin gelap. Nampak pula batang pohon-pohon kelapa melengkung ke kiri kanan, saling bergesekan daun karena dipermainkan angin.
Awan hitam pun mulai menguasai langit, saat itu pula rasa kantukku menghampiri. Aku masih tak mau beranjak dari jendela, seperdetik kemudian pandanganku teralihkan kesebuah bayangan dari kiri jalan. Semakin lama, bayangan itu memperlihatkan pemiliknya karena diterpa lampu jalan.
“Sesosok perempuan berkerudung coklat berjalan sendirian di tengah malam begini?” ucapku membatin.
“Ini jam satu dinihari. Ah, mungkin saja perempuan itu dukun beranak yang ingin membantu tetangga melahirkan.” Aku menjauhkan berbagai prasangka negatif dari pikiranku dan mulai berpikir untuk tidur.
Malam berikutnya, insomniaku lagi lagi kambuh. Atau mungkin itu karena efek kafein dari kapucino yang kuminum dua jam sebelumnya?. “nck,nck,nck” suara ocehan cicak terdengar jelas ditelingaku, waktu pun menunjukkan pukul 02.11 wib. Seperti kebiasaan yang kulakukan tiap aku tak bisa tidur, aku akan berdiri di depan jendela ruang tamu.
Aku mengambil handphone memasangkan headset untuk mendengarkan lagu yang mungkin bisa membuat melekku segera pergi. Seperempat jam sudah aku berdiri, kakiku mulai terasa pegal. Ku tarik kursi kayu yang biasa digunakan ibu menjahit untuk melepas pegal di kakiku. Malam ini langit begitu terang, bulan muncul dengan lingkaran sempurnanya.
Saat mataku masih mengagumi keindahan bulan purnama, pandanganku dialihkan olek sosok perempuan dengan kerudung coklat persis seperti yang kulihat tadi malam. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja dia sudah berjalan di depan rumahku. Perempuan itu tak menyadari kerudungnya melorot ke belakang jatuh diatas pundaknya, membuat wajahnya tampak terlihat jelas dimataku. “Tunggu! Aku mengenal siapa dia.”
Nama perempuan itu Salimah, gadis berusia 17 tahun satu tahun lebih muda dariku. Di kampungku siapa yang tak mengenal Salimah, biasanya tetangga-tetanggaku sering meminta bantuan Salimah untuk mengerjakan berbagai pekerjaan dengan imbalan seperti uang, makanan, atau sekedar ucapan terima kasih. Karena sifat ringan tangannya itu dia dikenal banyak orang.
Gadis berkulit kuning langsat dengan rambut ikal yang selalu disanggul bawah itu, tinggal di sebuah rumah semi-permanen yang terlihat lusuh karena tak pernah di cat sejak dibangun belasan tahun yang lalu. Ayahnya berkebun jagung di sepetak tanah yang berukuran 10 x 15 meter di kampung sebelah. Ibunya berjualan sayur-sayuran di pasar yang berasal dari kebun ayahnya. Salimah mempunyai tiga orang abang, dan dia merupakan bungsu dari empat bersaudara. Satu hal yang menggelayut dipikiranku, apa yang dilakukannya ditengah kegelapan malam seperti ini?. Aku memutuskan untuk membuntuti Salimah esok malam.
Keesokan harinya selepas pulang sekolah, waktu aku hendak melangkah memasuki rumah kudapati sendal butut disamping alas kaki. “Sendal siapa ini?” Pikirku dalam hati.
“Aku pulang mak,” ucapku saat memasuki rumah.
“Kau sudah pulang nak,” sambut mamak .
Astaga, aku sedikit kaget, ternyata pemilik sendal butut itu Salimah.
“Perlu apa mamak memanggil Salimah ke rumah?” pikirku dalam hati.
“Nak, selepas kau makan dan ganti seragam, nanti tolong carikan seragam sekolahmu yang sudah lama tak kau pakai itu, sekalian sama baju-bajumu yang tak pernah kau pakai lagi. Daripada mubazir, bagus kau kasih Salimah. Mamak tengok masih banyak yang bagus itu”.
Aku memandang Salimah, dia hanya menyungging senyum kepadaku.
Malam ini saat keluargaku bercengkerama di ruang TV, aku berniat membuka pembicaraan mengenai Salimah. Tapi aku mengurungkan niat itu karena aku tak mau mereka berburuk sangka pada Salimah.
Malam ini sudah kusiapkan secangkir kopi putih panas untuk kawan begadangku. Aku menantikan Salimah sepanjang malam, namun ia tak muncul-muncul juga. Sungguh sial malam ini, itu artinya besok aku harus menanggung kantuk selama pelajaran berlangsung di sekolah. Aku kapok tiap malam begadang, kepalaku sering sakit karena kurang tidur. Malam ini malam rabu, tetapi entah mengapa aku tak berselera lagi untuk begadang.
Mungkin karena penantianku tadi malam yang sia-sia. Pukul 08.00 wib aku sudah tertidur pulas, melampiaskan hasrat tidur yang telah terenggut beberapa malam ini. Tetapi tengah malam aku tersentak ingin buang air kecil. Ketika aku hendak memasuki kamar melewati ruang tamu, entah kebetulan atau bagaimana aku melihat dari luar jendela Salimah berjalan terburu-buru dengan setengah berlari. Kali ini ia muncul dari sisi kanan jalan, sepertinya ia baru kembali dari suatu tempat. Ia menenteng kantong plastik hitam besar ditangan kanannya. Ku lihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul 02.58 wib. “Pulang darimana ia selarut ini?” Dan dari situlah aku memutuskan untuk membuntuti Salimah besok malam.
Malam yang kunantikan telah tiba. Tepat jam 01.00 wib. Ku perhatikan ujung jalan sebelah kiri dengan saksama, jika secercah bayangan sudah tampak, aku akan bergegas membuka pintu. Pandanganku tak lepas dari menatap jalan. Yang kutunggu-tunggu sedari tadi akhirnya muncul. Setelah menutup pintu rumah, aku berlari ke arah pohon mangga depan untuk sembunyi. Jantungku berdegup kencang tatkala Salimah berlalu di depanku.
Rasa ingin tahu mengalahkan rasa takutku. Saat aku merasa Salimah sudah lumayan jauh berjalan meninggalkanku, aku keluar dari persembunyian dan mengikutinya sampai ke lapangan dekat kebun salak. Dengan penerangan lampu senter, Salimah berjalan menyusuri jalan setapak masuk ke dalam kebun salak.
Salimah berhenti setelah sampai di sebuah pondok kecil. Ia mengetuk pintu pondok, dan seseorang dari dalam entah siapa itu membukakan pintu. Dari luar pondok aku mencari celah atau lubang dari dinding kayu yang sudah lapuk atau dimakan rayap untuk mengintip ke dalam pondok.
Kutemukan sebuah lubang yang berdiameter sekitar 5 cm, lalu kudekatkan mataku ke arah lubang itu. Aku kaget tak percaya. Dalam temaram lampu cemprong berwarna oranye, Salimah telaten menyuapi seorang pria yang tangannya dibelenggu dengan rantai. Kakinya ditimpa dengan pasungan yang terbuat dari kayu pohon jati. Posisi Salimah membelakangiku, sehingga aku tak bisa melihat siapa pria yang dalam kondisi dipasung itu. Hal yang ku inginkan saat itu ialah agar Salimah cepat selesai menyuapi pria itu.
Beberapa menit kemudian Salimah berdiri untuk mengambil sesuatu dari dalam kantung plastik besar yang ia bawa, itu memberiku kesempatan melihat wajah pria pasungan dari lubang dinding kayu yang lapuk. Ya Tuhan! Aku tak percaya dengan apa yang ku lihat.
Dia adalah Pak Carmin mantan kepala sekolah di salah satu SD dikampungku. Pria yang sudah memasuki usia lanjut ini diusir dari kampung setelah keluar dari penjara sekitar dua tahun yang lalu dikarenakan mencabuli dua orang siswinya. Sejak kejadian pengusiran itu, orang-orang tak tahu dimana pak Carmin berada kecuali istri dan dua orang anaknya yang tetap bertahan di kampung.
Malam semakin larut. Badan ringkihku sudah tak tahan lagi menahan dinginnya malam. Aku memutuskan untuk pulang sebelum Salimah mendahului langkahku.
Tiga hari setelah peristiwa membuntuti Salimah ke kebun salak, aku masih tak mau menceritakan kepada siapapun tentang kenyataan yang aku dapati. Aku ingin mengkonfirmasi ke keluarganya terlebih dahulu, agar tak menyebar berita ‘hoax’.
Apalagu untuk bertemu dengan istri dan anak Pak Carmin juga membutuhkan keberanian. Karena secara tidak sengaja aku mengetahui rahasia yang keluarga mereka coba tutupi. Aku yakin, mereka hanya butuh waktu dan sedikit keberanian untuk jujur pada masyarakat kampung tentang pemasungan Pak Carmin.
Aku menduga-duga, pasti ada juga masyarakat kampung yang menyimpan curiga dan menyelidiki kebenaran sama seperti yang aku lakukan. Dan ternyata tepat dugaanku, berita tentang pemasungan pak Carmin dalam sebuah pondok di tengah kebun salak segera menyebar ke seantero kampung, bahkan berita itu sampai ke kampung sebelah.
Sore ini selepas dari kebun, tak biasanya mamak langsung duduk bersama ibu-ibu lain di teras rumah. Ternyata mereka membicarakan tentang pemasungan pak Carmin. Aku yang penasaran, menguping pembicaraan dari balik pintu. Dari perbincangan mamak-mamak itu aku mengetahui kronologi pemasungan pak Carmin.
Jadi seperti ini, saat pengusiran pak Carmin dari kampung kami dua tahun yang lalu dia tinggal di rumah adiknya yang berada jauh di kota. Saat tinggal bersama adiknya, pak Carmin mengalami depresi yang membuat nya mengalami gangguan kejiwaan. Tak lama ia pun gila.
Sang adik akhirnya memasukkan abangnya ini ke sebuah rumah sakit jiwa di kota tersebut lantaran semakin hari kelakuan pak Carmin membahayakan dirinya dan orang lain. Setahun dirawat di rumah sakit jiwa, kondisi kejiwaan pak Carmin tak mengalami perkembangan yang signifikan.
Akhirnya pak Carmin dikembalikan oleh pihak rumah sakit ke keluarga adiknya karena biaya rumah sakit yang tak pernah dibayarkan lagi. Adik pak Carmin pun tak mau mengurus abangnya lagi karena malu pada tetangga dan didesak oleh keluarganya untuk memulangkan pak Carmin kepada istrinya.
Oleh karena itu, pak Carmin secara diam-diam dibawa pulang kembali ke anak istrinya di kampung. Dan tanpa sepengetahuan siapapun dipasung di pondok kebun salak. Keluarga pak Carmin merahasiakan hal ini dari orang-orang kampung karena mereka takut pak Carmin tidak diizinkan tinggal di kampung ini lagi.
Oleh karena itu, tempat pemasungannya terasing di kebun salak dekat tanah lapang yang sudah lama tak diurus oleh pemiliknya. Keluarga Salimah yang merasa banyak berhutang budi karena sering dibantu oleh keluarga pak Carmin dengan senang hati mau membantu.
Abang Salimah beserta dua anak lelaki pak Carmin bergantian tiap malam untuk menjaga pak Carmin. Sedangkan Salimah bertugas untuk membawa makanan, obat-obatan, selimut dan kebutuhan pak Carmin lainnya .
Sungguh tulus gadis yang bernama Salimah ini. Membantu tanpa pamrih, melawan rasa takut demi menolong orang lain. Dia gadis sederhana, yang kusebut “Sang Pejalan Tengah Malam”.
Credit gambar: https://www.kompasiana.com/amp/dewipagi/sang-pejalan-malam_5520c625813311167719f788
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Apakah ini kisah nyata Bu? Luar biasa si Salimah itu
Terimakasih atas kunjungannya Bu Mirdayanti. Salam kenal
Kisah ini fiktif Bu. Tokoh Salimah terinspirasi dari teman kecil saya ketika di kampung.
kisah yang menarik
Terimakasih atas kunjungannya Pak. Salam kenal
kisah yang menarik
kisah yang menarik
kisah yang menarik
kisah yang menarik
kisah yang menarik
Kereen Sonia
Terimakasih Kakak