Allah...Kau Selalu Mendengar Do'aku
"Umi ke bandara habis ashar aja, sebab pesawat uda mendaratnya kira-kira jam 06.00 WIB besok", suamiku menelpon dari kota Mekah semalam. Aku dan anak-anak sudah siap, ketika Iwan Ponakan uda menjemput kami.
Langit sore itu terlihat gelap, awan hitam menggumpal-gumpal di angkasa.
Kulihat wajah- wajah penuh harap kelima buah hatiku. "Sebentar lagi ayah akan berkumpul lagi dengan kita" aku mengusap kepala si bungsu. Setelah dua bulan lamanya mengemban tugas mulia. Membantu tamu-tamu Allah di tanah suci.
Dua anak balitaku terlihat sangat bahagia. Seringkali mereka berteriak "hore ayah nanti pulang."
Baru menempuh separuh perjalanan kilat dan petir mulai bersahutan. Hujan lebatpun turun mengiringi suara badai.
Perasaanku mulai tak enak. Namun kuterus berdo'a dalam hati. mudah-mudahan di sekitar bandara langit cerah. Semoga perjalanan suamiku lancar tanpa ada gangguan.
Sekitar pukul 05.45 sore mobil kami sampai dibandara. Aku turun dengan si sulung karena hari masih hujan. Kami berdua mulai memasuki ruang tunggu bandara.
"Sepertinya belum ada tanda-tanda" pikirku sambil melihat ramainya orang yang barangkali punya niat sama denganku. Baru saja aku duduk, Iwan datang membawa empat orang anakku. Si kecil langsung berteriak "Umi...mana ayah?". Ku gendong si bungsu dan yang lain kuajak duduk di ruang tunggu.
Magrib hampir masuk. Namun belum juga ada tanda-tanda kedatangan suamiku. Detak jantungku semakin cepat. Kecemasan yang amat sangat melandaku.
Ku lihat sekeliling, semua yang kulihat hanya wajah-wajah tegang, diam. Tak banyak yang bicara. Suasana terasa begitu mencekam. Anak-anakpun sepertinya merasakan kecemasanku. Semuanya diam duduk mengelilingiku. Kudekap si bungsu di dadaku sambil berusaha membuang jauh rasa cemas yang sepertinya mencekat tenggorokanku.
"Ya Allah....jaga dan lindungilah suamiku" tak henti kuberdo'a dalam hati.
Selepas azan magrib kuajak si sulung shalat di mushalla Bandara. Aku tetap saja menemukan wajah-wajah kaku. Tak ada yang bersuara. Semuanya seperti larut dalam pikiran masing-masing
Magrib pun selesai. Aku bergegas keluar mushala. Sekitar pukul 07.00 aku mendengar pengumuman bahwa akan ada pesawat tang mendarat.
Tiba-tiba telpon genggamku berdering. Terdengar suara Suamiku. Ada getaran di nada suaranya. "Aku baru saja mendarat, menunggu bagasi dulu, tunggu saja di depan pintu kedatangan" terangnya.
Tidak cukup lima menit beliau datang. Anak-anak belari berhamburan sambil berteriak "ayaaaaah..." Kami semua larut dalam keharuan.
Satu jam lamanya pesawat itu ternyata dihempas dan diolengkan badai. Semua gelap. Sang pilot tak mampu melihat kode dari bandara. Cuaca buruk memaksa mereka harus bertahan di ketinggian. Putar kemedan, pekan baru, balik ke padang. "Alhamdulillah ya Robb, Engkau selalu mendengarkan do'a ku."
Kinali-Pasaman Barat
18 November 2019
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Nice story sis....
Thank vera
Masya Allah great writing Um. Merinding bacanya
Thanks ra. U re my great inspiration
Kok aku sedih ya membaca tulisan ini. Bahasa itu seperti bahasa ayah dan ibuku Allahi akbar Subahanallah salam sehat selalu pak
Bunda maksudnya
terima kasih pak
Karen Bu
Trims...:)
Wow...keren sekali...jadi terharu
Iya pak. Terima kasih
Mantap buk ad
Mantap buk ad
Haha mengulang nostalgia buk